"Maksud Bapak apa?" tanya Aluna. Dia berpura-pura tidak tahu saja, karena gadis itu tidak mau membuat masalah. Kalau misalkan sekarang Aluna terus terang tentang apa yang terjadi sebelumnya, pasti Darren akan semakin marah juga gadis itu yakin, Darren marah sebab pria itu berpikir kalau dia punya hubungan dengan Amar, sementara lamaran Darren ditolak oleh sang gadis dengan mentah-mentah. "Jangan berpura-pura bodoh, Aluna! Aku mendengar semuanya. Aku melihat kalian berbicara di koridor itu. Iya, kan?"Aluna langsung tersentak. Dia sampai meneguk saliva dengan susah payah, sebab mendengar pernyataan dari bosnya. Jadi, pernyataan cinta Amar kepadanya itu didengar langsung oleh Darren? Gadis itu mengaduh dalam hati. Sekarang dia benar-benar terpojokkan dengan semua keadaan ini. Kalau misalkan mungkin Darren yang kesal pada Amar atau bisa jadi pria itu melakukan hal yang aneh-aneh kepada Amar. Pemikiran buruk itu terus saja berdatangan kepada sang gadis, hingga Darren pun kembali berseru
Aluna menautkan jari-jarinya karena merasa malu jika membicarakan nominal uang yang harus dipinjam, serta utang almarhum ayahnya. Hanya saja, kalau misalkan dia tidak jujur, Darren pasti akan melakukan sesuatu, entah marah atau berujung dia dihukum dengan segudang pekerjaan yang tidak akan pernah selesai hari itu juga. "Begini, Pak. Sebenarnya utang Ini bukan utang saya." Pria itu menaikkan setelah alis penasaran. Apa yang sebenarnya Aluna katakan? Kalau memang bukan utangnya, kenapa gadis itu malah meminta pinjaman kepada Darren? Karena pria itu tahu Aluna bukanlah seorang yang matre. Itu terlihat jelas dari sang gadis jika menanggapi semua hal yang berkaitan dengan materi. "Kalau sudah tahu itu bukan utangmu, kenapa kamu minjam kepada saya? Kamu tidak malu, hah?! Apalagi kamu sudah menolakku," sindir Darren akhirnya mengungkapkan itu juga. Padahal dari tadi Aluna berdoa semoga saja pria itu tidak pernah menyinggung masalah kemarin, tetapi dengan terang-terangan Darren malah mengu
"Jadi, maksud Bapak, Bapak tidak akan memberi saya pinjaman 100 juta?" tanya Aluna dengan wajah sedih dan ketakutan.Darren terdiam sejenak, meneliti ekspresi gadis itu. Entah kenapa dia merasa iba. Tetapi berusaha untuk menahan diri. Ini kali pertama Darren melihat Aluna yang berbeda dari biasanya. Setiap hari Aluna itu selalu cuek, jutek dan susah sekali tersenyum. Sekarang untuk pertama kalinya dari melihat gadis itu hampir saja menangis, tampak sekali ada linangan air mata. Hanya saja Darren juga butuh feedback yang besar dari Aluna. Kalau memang dia ingin meminjam darinya, maka Aluna harus mau menikah dengan Darren. Pria itu terkesiap sembari menegakkan punggung saat terlintas ide gila yang mungkin saja bisa membuat rencananya berhasil. Darren tidak mau terus-terusan ditanya kapan menikah oleh Danita. Bukan hanya itu saja, akan ada dua hal lain yang membuat Darren benar-benar harus melancarkan aksinya agar aksinya sukses. Kalau misalkan Darren tidak membawa gadis ini ke depan
"Perjanjian pranikah?" tanya Aluna kebingungan. Dia memang sering mendengar tentang perjanjian pranikah, tapi tidak tahu bagaimana sistemnya. Darren semakin antusias dengan semua ucapan dari Aluna. Pria itu pun menyuruh Aluna untuk duduk. Mereka harus membicarakan masalah ini dengan matang, agar Darren bisa meyakinkan Aluna kalau semuanya akan baik-baik saja.Dengan agak ragu Aluna pun akhirnya duduk. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Entah apa yang dipikirkannya, tiba-tiba saja merasa tergerak saat Darren mengatakan tidak perlu bersentuhan walaupun mereka menikah. Ya, ini mungkin terdengar gila, karena bagaimanapun pernikahan tetaplah sebuah hal yang sakral, tidak boleh dipermainkan begitu saja. Namun demikian, kalau bukan Darren, siapa lagi yang akan menolong Aluna? Ini benar-benar membuat gadis itu serba salah. Kalau saja tidak ada utang yang menumpuk, tentu saja gadis itu akan tetap pada pendiriannya, dengan perjanjian pranikah atau tidak. "Begini, sebelum aku ijab kab
"Bisakah beri saya sedikit waktu, Pak?" pinta Aluna, karena baginya semua ini tidaklah mudah. Meskipun setengah hatinya sudah menyetujui semua perjanjian itu, tetapi tetap saja ada sesuatu yang mengganjal, membuat gadis itu akhirnya meminta waktu untuk berpikir jernih. Karena bagaimanapun, ini masalah pernikahan. Sebuah ikatan yang sakral dan tidak boleh dipermainkan begitu saja. Selain itu juga, dia harus memberitahukan kepada ibunya tentang semua ini. Mungkin saja ibunya langsung setuju, tapi yang ditakutkan adalah Aluna tidak bisa menjalani semua hubungan ini bersama Darren, mengingat kalau pria itu juga mempunyai aturan tersendiri dalam keluarganya. Pria itu pernah mengatakan, kalau Aluna harus menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang suami dan juga nama baik keluarga. Ini begitu berat baginya, karena Aluna berasal dari latar belakang keluarga yang biasa saja. Dia dari kalangan menengah, bukan dari orang-orang kaya dan terpandang. Ini akan menjadi beban psikologis untukny
"Aluna?" tanya Darren membuat gadis itu terkesiap. Sebab dari tadi Aluna hanya diam saja."Iya, Pak?" tanya Aluna dengan terbata-bata. "Kenapa kamu diam saja? Aku mengatakan, setelah pulang kerja aku akan menemui orang tuamu." Aluna langsung menggelengkan kepada dengan cepat. "Tidak, tidak. Bapak tidak boleh menemui Ibu saya." "Kenapa?""Saya kan sudah bilang ,beri saya waktu 2 hari. Saya akan berbicara dari hati ke hati dengan Ibu saya. Semuanya serba mendadak, Pak. Nanti Ibu saya pikir, kalau saya itu menjual diri kepada Bapak karena tiba-tiba saja dilamar dan menggelar pernikahan." Aluna berusaha untuk memaparkan apa alasan dia tidak mempertemukan Darren dengan Amalia terlebih dahulu. Karena bagaimanapun dia juga harus menyiapkan hati untuk menerima semua keputusan Amalia. Ya, kemungkinan besar ibunya itu pasti akan setuju, tetapi pasti ada pertanyaan juga yang keluar dari sang Ibu. Mungkin saja Amalia berpikir kalau dirinya itu menjual diri, jadi dia harus meyakinkan dulu Ama
Tempat pukul 5 sore, akhirnya Aruna pun memilih untuk pulang ke rumah. Sebenarnya dia belum membuat jadwal untuk besok bagi bosnya, itu dikarenakan Aluna tidak mau berlama-lama di kantor. Sebab dari kaca ruangan Darren terus-terusan saja memperhatikannya. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Satu hal yang pasti, Aluna benar-benar tidak nyaman dengan tatapan pria itu. Ingin sekali berbicara kasar, tetapi ingat kalau dia itu adalah bawahannya, apalagi sang gadis punya rencana untuk mendapatkan uang demi melunasi utang-utang almarhum sang ayah, dia pun mengurungkan niatnya.Saat dibukakan pintu, Amalia menautkan kedua alis melihat anaknya yang begitu lemah dan lesu. "Kenapa kamu letih seperti itu? Apa pekerjaannya banyak?" tanya Amalia karena biasanya memang Aluna tidak seletih ini jika pulang kerja. Ya, benar. Wajahnya tampak capek, tetapi sekarang berbeda sekali. Seperti ada sebuah beban yang sedang ditanggung oleh gadis itu.Amalia jadi terdiam, tentu saja anaknya mendap
"Tapi, Bu--""Sudahlah, kamu jangan terus berpikiran buruk. Katanya kamu bilang sendiri, Ibu harus berpikiran baik agar semuanya baik. Sekarang, kamu sendiri yang berpikiran buruk. Sulit mencari pria seperti itu, ke mana lagi? Sudah tampan, baik, kaya. Sudah paket lengkap." Aluna terperangah mendengar perkataan ibunya yang memuji Darren. Mungkin karena dia pikir kalau Darren itu baik, mau memberikan uang dan mahar sebesar itu. Padahal itu adalah timbal balik karena Aluna mau menjadi istri bayaran sang pria. "Apa Ibu bilang? Baik? Baik dari mananya, Bu? Setiap hari dia itu kerjanya cuma marah-marah, merintah dan pemaksa. Dari sebelah mananya yang baik?" Aluna mengajukan protes karena semua perkata ibunya itu tidak ada yang benar. Ya, kalau memang tampan itu fakta, tapi untuk sifat beserta sikap Darren jauh dari kata baik. "Ya, ampun. Dia melakukan itu karena seorang bos, karena pemilik perusahaan. Namanya tegas, Aluna, bukan galak. Coba kalau misalkan dia itu lembek, pastinya semu