Saat keluar dari dalam kamar mandi, Bian melihat Stella yang sudah duduk dengan tenang menghadapi hidangan yang diantarkan oleh pelayan. Ibunya pasti yang sudah melakukan semua ini, karena saya tahu Stella hamil ibunya adalah orang yang paling bahagia kedua setelah dia.Tetapi kebahagiaannya tak dilihat oleh Stella sebagai sebuah hal yang wajar. Stella malah berpikir kalau Bian tidak percaya dengan anak yang ada di dalam kandungannya makanya sengaja mengajaknya untuk periksa lagi.Begitulah, pikiran Stella sudah terkontaminasi oleh kata-katanya selama ini. Sulit membuat seseorang yang sudah disakiti percaya pada apa yang dia lakukan."Tuan Muda ..."Bian hanya mengangguk singkat dan membiarkan pelayan itu pergi sebelum berjalan ke arah Stella yang sedang menatap makanan, cemilan, puding serta potongan buah. Bahkan juga ada susu di sana yang membuat Bian tahu kalau ibunya terlalu sigap dalam urusan ini."Mama perhatian sekali," gumamnya membuat Stella menghela napas pelan dan menatapny
"Kepalaku agak sakit."Bian yang sudah terbangun tapi masih memejamkan matanya mendengar ucapan Stella itu dengan jelas. Hal itu membuatnya bangkit dan Stella langsung terperanjat kaget melihatnya.'"Bian ... kau mengigau?"Bian menggeleng lalu mengusap wajahnya dan menatap Stella dengan tatapan serius. "Benar-benar merasa pusing ya? Apakah kau kembali turun darah?"Stella terdiam mendengar pertanyaannya, ternyata Bian mendengar ucapannya barusan kalau dia katakan dengan begitu pelan. Apakah pria ini sudah bangun dari tadi tapi tetap tiduran?"Sejak kapan kau bangun? Ini masih jam berapa, besok kau masih harus bekerja? Kenapa harus menghabiskan waktu di sini." Stella berkata dengan wajah bingung membuat Bian tersenyum pelan."Lupakan saja tentang pekerjaan, aku akan libur total hari ini untuk menjagamu. Biar kuambilkan dulu obat, ya?" ujarnya lalu bergerak turun dan memakai sandal.Stella memperhatikan apa yang dilakukan Bian itu dengan wajah bingung. Kenapa pria itu tiba-tiba aneh d
Stella benar-benar enggan meninggalkan ranjang hari ini, dia hanya duduk seharian sambil membaca buku kehamilan dan segala macam artikel tentang kehamilan yang ada di ponselnya."Menyusui ... tidak, aku tidak harus menyusui bayi ini ketika dia lahir nanti karena aku akan langsung pergi begitu saja. Jadi, aku tidak harus mempelajarinya karena anak ini pasti akan mendapatkan susu formula berkualitas tinggi dan terjamin daripada air susuku." Stella bergumam sambil menatap gambar ibu yang sedang menunggu bayinya sambil menyusui itu.Dia juga ingin menjadi Ibu yang murni, yang benar-benar melakukan semua hal untuk anaknya. Tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk tidak melakukan itu karena memang tidak bisa. Hubungan dia dan Bian terlalu retak dan parah untuk diperbaiki dan dia sama sekali tidak ada niatan untuk memperbaikinya.Sekali seorang pria menjadi brengsek dan jahat seperti ini maka kedepannya di dalam pernikahan yang lebih pasti nanti maka dia besar kemungkinan dia akan melakukan
Stella yang melihat Bian terdiam hanya bisa menelan makanannya sebelum bersuara. "Makanan ini sudah cukup untukku jadi kau tidak perlu merasa harus menegur mereka. menjalankan tugas dari kau tidak perlu melakukan sesuatu kesalahan yang malah membuat mereka merasa takut. Mereka sudah lebih lama menjadi pelayan kalian dibandingkan aku yang menjadi istrimu. Jangan lakukan apapun yang membuat mereka merasa bersalah," balasnya membuat Bian menarik napasnya dalam-dalam.Nyatanya ada banyak hal yang membuat Stella tak mau menerimanya dengan mudah. Dian sudah melakukan banyak kesalahan yang tak termaafkan hanya karena pernikahan itu tadi yang tidak dia inginkan. "Maaf ..." ucapnya lirih membuat Stella menghela napas."Tidak perlu minta maaf. Aku sudah mengalami selama beberapa bulan terakhir saja menjadi istrimu. Sekarang dan dulu juga tidak ada bedanya bagiku, kau tidak perlu khawatir karena aku juga mengerti apa yang kau inginkan hanya untuk kebaikanmu. Tetapi, apakah nanti anak ini akan m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Tidak terasa, seminggu lagi masa pernikahan kontrak ini akan berakhir." Seorang gadis bergumam, seraya menghela napasnya dan menatap piring yang sudah mulai bersih dia cuci.Dia merapikannya ke dalam rak, lalu mengambil sebuah kain lap dan mulai melangkah ke arah meja-meja. Di meja makan seorang pria sedang duduk, terlihat begitu datar dan angkuh."Kenapa? Kau sedih hanya karena akan bercerai dariku?" tanyanya dingin dan angkuh. Stella Danasya Gracia, itu adalah nama dari gadis yang sedang mencuci piring itu. Dia menatap ke arah Bian Dominic, suaminya, alias suami kontraknya yang sedang sarapan di atas kursi makan."Tidak, aku hanya mau mengingatkan.""Tidak perlu kau ingatkan juga, aku tidak akan lupa." Bian berkata datar lalu menatapnya seraya bangkit. "Kau bersiap saja untuk semua rencananya. Jangan membuat ulah di hari perceraian kita."Setelah itu, semua pembicaraan selesai begitu saja karena Bian sudah akan pergi berangkat bekerja ke perusahaan. Tetapi belum sempat dia melangka
Stella mengejar langkah Bian yang sengaja memintanya untuk bicara berdua kala ibunya mulai tenang dan tertidur.Bagaimanapun ini harus diluruskan, bagaimana bisa Bian seenaknya begitu? Dia kira hamil dan melahirkan itu mudah? Setelah melahirkan, dengan sangat santai mereka akan berpisah? Benar-benar tidak punya hati! Seenaknya membuat keputusan dan seenaknya pula mengakhiri semuanya."Bian!"Pria yang sedang duduk di kursi belakang itu tampak acuh saat Stella memanggilnya. Hal yang membuatnya bergerak dan berdiri dihadapan Bian."Bian ... kau harus memikirkan semua ucapan dan janjimu itu. Bagaimana bisa kau malah menyetujui permintaan Mama? Siapa yang akan mengandung anakmu? Aku?" tanyanya dengan wajah yang memerah, tampak hampir marah karena pria ini bertindak sesuka hatinya.Memutuskan sesuka hatinya, memaki sesuka hatinya. Dia kira dia siapa? Stella sudah tidak mau berurusan dengannya lagi dan bagaimana mungkin Bian malah mengatakan hal itu."Aku juga tidak memintamu mengandung ana