"Ma ... Stella tak mencintaiku, aku juga tidak pernah bisa mencintainya. Kami tidak akan bisa bersama." Bian Dominic. "Kalau begitu, berikan Mama cucu yang berasal oleh kalian berdua!" Calista Dominic. Stella Danasya Gracia harus menekan rasa sakit di hatinya demi menuruti permintaan ibu mertuanya yang menginginkan cucu. Pernikahan tanpa cinta yang dilakukannya dengan Bian Dominic, sudah berlangsung lima bulan dan itupun karena permintaan ibu mertuanya juga. Bian adalah anak tunggal, sekaligus CEO dan juga pewaris tahta kekayaan keluarganya. Dia sudah pernah menetapkan takkan pernah menghabiskan waktu layaknya suami istri dengan Stella. Namun, akibat permintaan ibunya, dia menuruti permintaan istrinya dan mulai melakukan percintaan itu. Mampukah dia menghadapi suaminya yang perlahan-lahan mulai terasa posesif tanpa dia pahami apa sebabnya?
Lihat lebih banyak"Tidak terasa, seminggu lagi masa pernikahan kontrak ini akan berakhir." Seorang gadis bergumam, seraya menghela napasnya dan menatap piring yang sudah mulai bersih dia cuci.
Dia merapikannya ke dalam rak, lalu mengambil sebuah kain lap dan mulai melangkah ke arah meja-meja. Di meja makan seorang pria sedang duduk, terlihat begitu datar dan angkuh."Kenapa? Kau sedih hanya karena akan bercerai dariku?" tanyanya dingin dan angkuh.Stella Danasya Gracia, itu adalah nama dari gadis yang sedang mencuci piring itu. Dia menatap ke arah Bian Dominic, suaminya, alias suami kontraknya yang sedang sarapan di atas kursi makan."Tidak, aku hanya mau mengingatkan.""Tidak perlu kau ingatkan juga, aku tidak akan lupa." Bian berkata datar lalu menatapnya seraya bangkit. "Kau bersiap saja untuk semua rencananya. Jangan membuat ulah di hari perceraian kita."Setelah itu, semua pembicaraan selesai begitu saja karena Bian sudah akan pergi berangkat bekerja ke perusahaan. Tetapi belum sempat dia melangkah, ponselnya berdering dan tatapannya langsung melihat layar panggilan.Dokter Pribadi Mama, itu nama dilayar ponselnya yang membuat Bian mulai merasa khawatir."Halo? Ada apa menghubungiku?""Tuan Muda, Nyonya sakit tiba-tiba. Setelah pusing, tubuhnya lemas sekali. Bisakah Tuan datang dengan Nona Stella kesini?"Wajah Bian berubah panik, Stella bisa melihatnya bicara lagi dengan wajah tergesa sebelum mematikan panggilan."Cepat bersiap, kita ke rumah!""Bian? Ada apa?" Stella bergegas mendekatinya, wajah Bian yang panik membuatnya juga ikutan."Dokter Pribadi Mama menghubungi, meminta kita datang ke rumah karena tiba-tiba saja Mama pusing," ucap Bian, wajahnya khawatir walau terlihat dingin.Stella mengernyit. "Mama sakit lagi?""Iya, cepatlah! Aku tunggu di depan.""Baiklah ..." gugup sebentar karena agak panik, Stella melepaskan celemek di tubuhnya. "Aku ambil tasku dulu. Sebentar!"Bian tak menjawab, dia sudah berjalan lebih dulu ke arah depan dan meninggalkan Stella. Wajahnya yang tampan dan dingin itu terlihat sangat cemas, setiap hal yang menyangkut ibunya maka dia tidak akan pernah tenang sampai melihatnya.***Dimobil, Stella hanya diam saja karena tak ada pembahasan yang harus dia dan Bian lakukan. Biasanya juga pria ini takkan mendengarkan ucapannya, karena Bian takkan pernah tertarik pada gadis sepertinya. Stella sudah terbiasa akan hal itu. Dia memandang jalanan kota, dengan wajah yang tampak agak cemas.Ada yang Stella pikirkan saat ini, tentang Ibu mertuanya yang sudah sangat baik padanya itu. Kabarnya yang kembali jatuh sakit adalah hal yang tak pernah ingin Stella dengar. Walaupun penyakit jantung ibu dari suaminya ini adalah hal yang tidak akan pernah sembuh lagi karena sudah bawaan dari lahir."Bian ... aku agak khawatir dengan perceraian yang akan kita lakukan. Lihatlah Mama sakit, apakah hal itu tidak akan membuatnya menjadi lebih sakit nanti?" tanya Stella, terpaksa membuka pembicaraan walaupun Bian tak pernah suka."Bersama denganmu, memangnya Mamaku akan sembuh?" tanyanya datar, membuat Stella terdiam. "Kau hanya gadis yang membuatku tidak bisa bebas. Ibumu adalah orang yang sok bijak dengan menjodohkan kita dulu. Padahal kau jauh berada di bawahku, sangat tidak sesuai untukku."Stella menghela napas pelan, terdiam mendengar ucapannya yang kasar dan sarkas. Hatinya? Sakit, tapi mau bagaimana lagi? Bian tak mencintainya, bahkan memandangnya saja tidak pernah. Entah apa yang menjadi jiwa suaminya ini, hingga menjadi pribadi yang tak tersentuh."Emm, kau benar. Tetapi, jangan sebut Mamaku lagi, Mamaku sudah tidak ada. Kau uruslah mulai sekarang perceraian kita, agar kalau tiba saatnya sudah mudah dan aku tinggal menandatanganinya.""Sudah kukatakan jangan mengajari atau mengingatkanku, aku sudah melakukan semuanya."Stella mengangguk pelan tak berdaya."Jangan pernah mencari perhatian dari Mama nanti. Seminggu lagi kita akan bercerai dan aku tidak mau berhubungan denganmu lagi."Stella mengangguk kembali pelan. "Aku sudah punya cara untuk membuat Mama membenciku. Aku sudah punya pacar dan dia akan menikahiku setelah ini. Jadi, aku dan dia sudah setuju untuk membantumu. Kau bisa membuatku ketahuan berselingkuh untuk membuat Mama membenciku."Bian tak menjawab, tanda dia setuju. Mereka akhirnya tiba di rumah keluarga Biantara Dominic. Stella keluar dari mobil begitu kendaraan roda empat itu berhenti, lalu berjalan bersama Bian yang melangkah cepat tanpa mempedulikannya.Calista Dominic, ibu Bian, nyatanya sudah melihat kedatangan anak dan menantunya itu dari balik tirai kamar, lalu tersenyum kecut melihat anaknya yang meninggalkan Stella dibelakangnya. Dia kembali ke tempat tidur, lalu berbaring dengan seorang dokter keluarga yang sudah tahu apa tugasnya."Mereka hampir sampai."Dokter itu mengangguk, lalu memasangkan infus kepunggung tangan majikannya dan menatap wajah Calista."Nyonya ... keadaan Anda memang tidak baik. Apakah Anda benar-benar akan melakukannya?" tanya dokter wanita itu dengan cemas."Aku tidak akan pernah sembuh, kau tahu sendiri," ujar Calista seraya menarik napasnya yang sesak. "Saat aku mati aku akan bertemu dengan Nesya di alam sana. Dia akan bertanya tentang keadaan anak dan menantunya. Aku akan malu kalau mengatakan hal buruk padanya tentang mereka, sedangkan dia sudah memberikan kesempatan padaku untuk merasakan bagaimana rasanya melihat. Anakku Bian yang tidak tahu diri makanya memperlakukan Stella begitu," ujarnya seraya menyeka air mata.Dokter wanita itu menunduk, tahu bagaimana perjuangan ibu dari Stella dulu. Hanya saja Calista merahasiakannya dari semua orang, hanya dia dan adik perempuan Calista yang tahu."Mama ..."Bian menerobos masuk, melihat ibunya yang terbaring di atas ranjang. Wajah ibunya itu tampak memucat, juga kehilangan semangat hidup sejak penyakitnya semakin parah."Bian ..." Calista menatap wajah putranya yang sudah duduk di pinggiran ranjang dan menatapnya cemas."Mama ... Mama pasti banyak pikiran, 'kan? Makanya sakit Mama kambuh lagi? Kenapa tidak pernah ikuti kata dokter? Kenapa Mama malah melakukan apa yang dilarang dokter?"Calista tersenyum pahit, lalu melihat Stella yang berdiri tak jauh darinya. "Mama tidak melakukan apa-apa pun memang sudah setiap hari sakit, 'kan? Mama memang sudah tidak bisa disembuhkan. Kamu tahu itu," ucap Calista pelan yang membuat Bian menghela napas.Bian menggenggam tangan ibunya dengan erat dan menatapnya khawatir. "Mama ... kenapa tidak ada pendonor jantung yang sama seperti jantung Mama? Bagaimana ini? Apakah Mama akan meninggalkanku? Apakah Mama akan pergi? Aku bahkan belum membuat Mama bahagia ..." ujar Bian dengan wajah sedih, tapi Calista malah tertawa kecil melihatnya."Anak bodoh! Mama sudah bahagia sejak kau dan Stella menikah. Apalagi yang kurang?" Calista terbatuk pelan, tak melihat wajah Stella yang agak muram mendengarnya sedangkan Bian tampak menyembunyikan kekesalannya. "Yang Mama sedihkan adalah, hubungan kalian yang tak juga membaik, kau yang tidak juga menerimanya. Hanya tinggal satu lagi permintaan Mama, terimalah Stella menjadi istrimu yang seutuhnya, Bian."Bian tak langsung bicara, dia memalingkan wajah dan tak menatap ibunya selama beberapa saat."Bian ..."Bian menatapnya lalu menggeleng dan menarik napas. "Ma ... Stella tak mencintaiku, aku juga tidak pernah bisa mencintainya. Kami tidak akan bisa bersama.""Itu omong kosong!" Calista menggeleng tak percaya. "Kau tahu, cinta tidak akan muncul tanpa kau inginkan. Cobalah untuk mencintainya, dia juga akan mencintaimu.""Mama ... aku tidak bisa," ucap Bian menolak dengan cepat. "Dia bukan tipeku! Aku tidak mau jatuh cinta padanya."Tak hanya Stella yang merasakan dadanya sesak, tapi juga Calista yang tampak memejamkan mata dengan wajahnya yang mulai memucat.Melihat itu, Bian tampak panik dan menggenggam tangan ibunya dengan erat. "Mama ... Ma ... Mama ... jangan begini. Mama ingin apa, akan kuturuti! Asalkan bukan jatuh cinta pada Stella."Calista menggeleng pelan. "Kalau begitu, baiklah ... Berikan saja Mama cucu yang berasal dari kalian, mungkin itu akan menjadi sebuah tanda kalau kau dan Stella akan tetap bersama walau Mama sudah tidak ada," ujar Calista patah-patah."Ma ..." Stella bersuara, seraya mendekat dan menatap wajah ibu mertuanya. "Mama tahu kalau kami tidak akan pernah saling mencintai, Bian tidak akan pernah membuka hati untukku. Keberadaan anak adalah hal yang mungkin akan membuatku semakin tidak bisa leluasa. Mama ... jangan minta itu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak siap, Ma ..."Calista menarik napasnya satu-satu, penyakitnya bukan main-main, dia sungguhan sakit jantung koroner akut yang sudah tak dapat disembuhkan."Kalian memang menginginkan kematian Mama," ujar Calista bertambah pelan. "Baiklah ... kalian pergilah dari sini! Jangan temui Mama sampai kalian mendengar kabar kalau Mama sudah mati.""Mama ..." Bian yang ditepis tangannya oleh Calista dengan kalap langsung kembali memegang tangan ibunya. "Mama ... minta apapun yang lain, aku akan memberikannya. Namun, soal ini aku benar-benar tidak bisa-""Pergi ... pergi! Pergilah kau!" Dada Calista naik turun akibat sesak napas. "Pergi kalian semua! Jangan pernah datang-""Mama ..." Bian dan Stella sama-sama menyela."Mama tolong, jangan begini ..." Stella terisak sendiri. "Bukan aku yang tidak mau, tapi Bian tak mencintaiku. Untuk apa aku yang-""Mama hanya ingin cucu untuk memperkuat hubungan kalian. Kalau kalian tidak mau merawatnya, Mama yang akan merawatnya. Agar kalau Mama mati, Mama tidak malu bertemu dengan ibumu di alam sana. Kamu paham?"Stella menyeka air matanya, hatinya sakit. Andai saja Bian mau membuka hati sejak awal untuknya, semua ini takkan terjadi. Dia melihat Bian yang tampak diam, berharap Bian mau mengatakan sesuatu yang bisa dijadikan cara keluar dari masalah ini, hingga tak lama kemudian pria itu buka suara."Baiklah ... demi Mama, aku akan lakukan."Bian yang mendengar pertanyaan Stella, menoleh dengan alis terangkat. "Sejak kapan kau peduli aku marah atau tidak?" tanyanya membuat Stella merengut pelan dan berjalan mendekatinya. "Sikapku menyebalkan di matamu?" tanya Stella, begitu tiba di depan mejanya sampai Bian harus mengangkat kepala demi menatap wajahnya. "Aku berulang kali membuatmu emosi, aku sadar sudah salah. Tiba-tiba saja aku berpikir, kenapa aku harus sensitif padahal tidak ada sesuatu yang berlebihan yang kau lakukan? Mengingat semua itu, aku jadi tidak nyaman lama-lama di cafe, makanya aku pulang." Bian menghela napas, lalu bangkit setelah mematikan laptopnya dan berjalan menghampiri Stella yang diam menunggunya. "Kesalahan yang kulakukan memang pantas membuatmu benci padaku, aku akhirnya merasakan bagaimana perasaanmu saat kata-kataku dulu selalu menyakitimu." Bian meraih tangannya, menatap wajah Stella dengan lembut lalu kembali berkata. "Masih ada banyak waktu bagiku untuk mengubah semua itu dari dalam pik
Sampai di cafe, Stella turun sambil berpikir. Kemungkinan tadi dia terlalu sensitif, kehamilan membuatnya makin sulit dan sering memikirkan hal-hal yang menyakiti hatinya sendiri. Padahal Bian sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya dan berubah, tapi apa yang Stella lakukan tentu saja bisa membuat pria itu muak dengan sikapnya. "Harusnya aku tidak membuatnya emosi tiap hari." Menghela napasnya, Stella berjalan memasuki cafe. Suasana tidak begitu ramai pagi ini tapi dia tetap berusaha untuk bekerja, merapikan meja dan menyapu lalu duduk di kasir sementara Lyra menyiapkan makanan yang dipesan oleh pelanggan. Mereka bekerja sama dengan bakery dan cake yang tidak jauh dari tempat ini. Toko bakery and cake itu akan mendistribusikan hasil-hasil kue buatan mereka pada Stella yang membuka cafe lalu bekerja sama dengan sistem harga reseller. Jadi, kalau ada pelanggan yang ingin duduk-duduk dengan santai maka pihak bakery and cake langsung mempromosikan supaya mereka ke cafe
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hamil
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen