“A-apa?” Aliya terhenyak. “Aa Bisma akan Bapak suruh menikah lagi?”
“Ya! Kenapa? Kamu tidak terima?”
“Bagaimana Aliya bisa terima, Pak?” sahut Aliya. Dadanya kini berdebar cepat, namun terasa sakit.
“Soal anak, sudah diatur Tuhan, Pak. Lagipula bukan Aliya tidak menginginkan kehadiran anak. Tapi aa Bisma yang…”
“Cukup!” potong pak Sutarna. “Kamu mau menyalahkan putraku, Bisma?!”
“Memang aa Bisma yang…”
“Aliya!!” Suara menggelegar pak Sutarna menghentikan lagi kalimat pembelaan Aliya.
“Dasar menantu tak tahu diri!” Pak Sutarna bangun dari duduknya. “Ayo Bu, kita pulang saja! Percuma jauh-jauh datang ke sini. Anak ini sama sekali tidak mengerti maksud baik orangtua! Betul-betul sial saya mengijinkan mereka menikah!”
Bu Neneng ikut berdiri. Ia melirik sebentar ke arah Aliya yang te
“Aku hamil tanpa aa menghamiliku?” tanya Aliya mengulang perkataan Bisma.“Ya,” angguk Bisma mantap.“Maksud aa, kita ikut program bayi tabung?”Bisma mendecih. “Bayi tabung bagaimana? Kamu tahu berapa biaya untuk melakukan itu? Puluhan juta. Untuk apa kita buang-buang uang seperti itu! Lagian uang dari mana?”“Lantas maksud aa bagaimana dengan aku hamil tanpa kau melakukannya padaku?”Bisma berdehem. “Begini, kau hanya perlu benih aja kan? Ga masalah itu dariku, milikku atau bukan.”“Maksud aa?”“Ya… Kau paham lah maksudku. Tidak mesti aku yang membuatmu hamil. Yang penting benih itu ada dalam dirimu, lalu kita akui itu anak kita.”“Ma-maksud aa… Aku…” Aliya tergagap. “A-aku ti-tidur dengan laki-laki lain?”“Iya, benar. Yang penting nanti kita…”“Aa!
Semula, Aliya bertekad untuk tetap bertahan.Berjuang itu bukan hanya terletak pada mengakhiri segalanya segera, tapi juga pada mempertahankan apa yang dipilih dan diyakini di awal.Aliya bisa saja memutuskan untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini, namun kembali lagi, Aliya tidak ingin menyerah terlalu dini di masa pernikahan mereka yang memang baru seumur jagung.Belum lagi Aliya memikirkan kedua orangtuanya. Betapa dirinya akan mengecewakan kedua orangtuanya untuk kedua kalinya.Pertama, karena tidak mendengarkan mereka. Kedua, karena menyerah begitu saja atas pilihannya sendiri, sebelum berjuang hingga titik darah penghabisan.Namun Aliya bukanlah seorang wanita yang lemah yang akan diam dan pasrah begitu saja ketika diinjak.Seperti janjinya dulu kepada papa, bahwa Aliya akan memutuskan apa yang baik untuk dirinya dan akan keluar dari suatu keburukan dan kebaikan yang tidak bisa diperjuangkan. Kalimat janji itulah yang akhirnya membua
CCKIIIIIIIITTTTTTT.BRRUUUAAAAAAAAAGGGGGG.Benturan keras dan suara rem mobil berdecit memekakkan seluruh telinga orang-orang yang berada di sana.Seluruh tubuh Aliya gemetar. Kakinya lemas, namun kedua tangannya masih mencengkeram stang motor dengan kuat.Napasnya tersengal.Setelah beberapa detik tak terjadi apa-apa pada dirinya, ia memberanikan diri membuka matanya. Suara ramai yang terdengar berasal dari orang-orang di pinggir jalan.Kepala Aliya menoleh ke kiri belakang, mengikuti arah orang-orang berlarian.Napas Aliya tercekat.Terlihat olehnya CRV berwarna hitam, melintang tak jauh di kirinya dan minibus yang tadi kehilangan kendali, telah berhenti dengan posisi berputar 180°.Aliya mengerjapkan matanya. Otaknya serasa membeku, tak dapat berpikir apa-apa. Sementara orang-orang mulai ramai mendekati kedua mobil tersebut, untuk melihat kondisi para penumpangnya.Aliya terpaku. Ketika tiba-tiba ia seperti
Aliya hanya menarik sebelah bibirnya. Ia tak menggubris pancingan Milah. Hari ini ia cukup bersyukur bisa selamat dari kecelakaan yang nyaris mengancam jiwanya tadi.“Kok diem aja, Miss? Duuh.. jangan jealous yaah… Tiap orang rejekinya beda-beda,” Milah menyindir lalu terkekeh lagi.“Ga bakal jealous lah,” Diani kini menyahut santai. Ia lalu berdiri menuju rak silabus. “Miss Aliya kemarin baru dikasih hadiah kalung emas, sih.”Milah membesarkan matanya. “Apaa?!”“Yoi,” jawab Diani singkat. Tangannya telah mengambil satu silabus, lalu ia kembali duduk di kursinya masih dengan santai.“Bohong ah. Paling dia ngaku-ngaku aja…” Milah mendengkus.“Ngga lah. Kan gue yang dititipin bingkisannya sama mbak Tri. Pas dibuka sama Miss Aliya, gue juga lihat tu kalung. Gede banget. Ada ukiran namanya. Bagus banget,” Diani menjelaskan. Sudut bibirnya tertarik m
[Teh Aliya baik-baik saja kan?] Akun Einhard menulis lagi di kolom komentar.Agak ragu sejenak, namun akhirnya Aliya tetap memberikan respon.[Ya, saya baik.]Beberapa detik Aliya menantikan respon balik dari kalimat terakhirnya.[Eh iya, maaf. Belum kenalan yah. Saya teman pemilik akun ini]Aliya, “oh?” Jarinya kemudian segera mengetikkan beberapa kata.[Maksudnya, kau bukan pemilik akun ini?][Bukan. Nama saya Ridwan, teh. Salam kenal.][Salam kenal juga.] jawab Aliya. Ia lalu mengetik lagi.[Kemana pemilik akun ini? Apa akun ini akan di non aktifkan?][Oh tidak, teh. Akun ini pasti akan aktif terus. Susah-susah menemukan teh Aliya. Hehehe] Lalu emotikon tertawa terkirim.Aliya mengerutkan kening. [Menemukan saya? Maksudnya?][Oh ngga. Gapapa teh. Biar nanti yang bersangkutan saja yang jelasinnya.]Aliya semakin merasa bingung. Jemarinya kembali mengetik. [Lalu kemana pemilik akun ini?]Kali ini pihak seberang tidak langsung merespon. Aliya menunggu hingga berpuluh detik.[Ehm… Lagi
Aliya tak memutuskan pandangannya pada layar ponselnya. Dadanya berdegup tak beraturan menanti jawaban dari teman si pemilik akun.[Ridwan. Apakah mobilnya adalah CRV hitam?] Tak sabar, hingga Aliya mengirimkan pertanyaan lagi.Sekitar lima belas detik kemudian.[Ya, benar. CRV berwarna hitam]“Ya Tuhan… .” Jantung Aliya serasa berhenti berdetak beberapa saat.[Benar-benar CRV hitam? Di jalan raya Cibinong dekat ruko dan dealer?] Aliya melemparkan lagi pertanyaan yang dijawab cepat oleh lawan chat-nya.[Benar. Jalan raya Cibinong dekat ruko laksa Cibinong dan dealer Toyota]‘Ya Tuhan. Dia benar! Lokasi kejadian memang dekat ruko yang menjual laksa dan dealer mobil T*yota!’ sahut Aliya dalam hati.Aliya terduduk lemas di pinggir ranjangnya. Pikirannya melayang. Kejadian kecelakaan itu kembali membayang dalam benaknya.[Namamu Ridwan, kan? Apakah ini benar kamu orang yang berbeda dengan pemil
Aliya tengah duduk di satu meja di food court sebuah plaza. Plaza yang tidak terlalu besar di miliki kota kecamatan di Cibinong ini. Tahun 2013 memang telah mulai banyak berdiri pusat perbelanjaan di Cibinong, meskipun masih tidak seramai atau semegah yang ada di Bandung. Di antara beberapa pusat perbelanjaan yang ada, Aliya memilih yang berlokasi dekat dengan terminal Cibinong. Seperti kata Diani, jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, ia akan mudah mencari pertolongan. Ingatan Aliya lalu melayang ke percakapan semalam melalui medsos berwarna biru yang akhir-akhir ini sering ia gunakan. Seperti yang sudah Aliya duga sebelumnya, Ridwan-lah yang masih membalas chat yang Aliya kirim melalui kolom komentar. [Jadi, bagaimana menurutmu? Atau kau ada usul lain untuk membuktikan bahwa akun ini asli dan kalian adalah orang-orang asli?] [Kalau teh Aliya mau ketemu saya, sekarang pun saya bisa. Tapi untuk Einhard, saya harus liat situasinya lagi] [Saya ga minta mesti ketemu pemilik
Aliya menelan ludah. Seorang pria jangkung kini berdiri di sisi kanannya. Dengan kemeja lengan panjang polos berwarna biru muda tanpa kerah dan celana jeans berwarna navy. “Kau Aliya, kan?” tanya pria itu lagi. Aliya mengangguk bingung. Ia berusaha menenangkan degup jantungnya yang sedikit berpacu. “Euh… Rid..wan?” Pria itu menggeleng. “Bukan. Saya Einhard.” Aliya terkesima. ‘Oh… My… God…!’ ‘Mbak Tri sialan! Apanya yang ga tinggi-tinggi amat! Apanya yang tembem, bulat dan sawo matang?!’ rutuk Aliya dalam hati. Bukan apa-apa. Ia tahu, ini bukan salah mbak Tri. Tapi Aliya hanya sangat kaget, ketika dalam bayangannya mengikuti deskripsi dari mbak Tri, namun di hadapannya kemudian muncul sosok yang jauh berbeda dari gambaran itu. Kedua mata Aliya mengerjap. Begitu jelas dalam pandangan matanya, tubuh jangkung atletis dengan kulit putih bersih yang berdiri di dekatnya itu. Rahang tegas dan tinggi serta hidung mancung dan bibir yang melekuk indah. Seperti perpaduan lokal dan timur te