"Kau lihat itu! Itu adalah senjata andalan kami yang dibuat oleh rakyatku!" tunjuk Sande Braja mengarah ke sebilah pedang dalam genggaman tangan prajuritnya. Prajurit itu pun langsung menyerahkan pedang tersebut kepada Sande Braja. "Ini, Gusti Prabu!" kata prajurit itu bersikap ramah. Sande Braja meraih pedang tersebut, dan menyerahkannya kepada Wanara. "Coba kau lihat dan perhatikan bentuk dan kekuatannya!" kata Sande Braja lirih. "Baiklah, akan kuamati terlebih dahulu," jawab Wanara meraih pedang itu dari tangan Sande Braja. Namun, ketika Wanara baru saja memegang dan memeriksa pedang yang berukuran panjang itu, Wanara langsung geleng-geleng kepala. Tampak jelas rasa tidak puasnya terhadap senjata yang ia pegang. *** Wanara, pendekar muda yang memiliki keinginan tinggi menjadi seorang raja, tumbuh besar dalam asuhan seorang abdi dalem bernama Bayu Gatra, dia juga seorang yatim piatu. Sudah sejak usia 6 tahun dia ditinggal orang tuanya. Namun, penderitaan seolah tak cukup di situ saja, Bayu Gatra pun tewas dalam peristiwa kebakaran istana kerajaan Rawamerta. Seorang bernama Ki Ageng Jayamena yang merasa iba padanya pun mengajak Wanara untuk tinggal bersama dia. Wanara yang sebatang kara pun menerima tawaran itu. Wanara mendapat perlakuan yang baik, kasih sayang layaknya seorang anak. Menerima banyak ilmu, termasuk ilmu kanuragan. Akan tetapi, belum sempat Ki Ageng Jayamena menumpahkan semua ilmu kesaktiannya kepada Wanara. Pemuda itu sudah pergi meninggalkan Ki Ageng Jayamena dengan maksud ingin meraih mimpinya, ia nekat pergi berkelana walaupun tidak mendapat restu dari sang guru. Wanara pergi ke utara pulau Jowaraka dan menyebrangi lautan luas demi mendapatkan kitab kuno yang mengandung banyak misteri dan kekuatan bagi pengamalnya.
view moreDi pulau Jowaraka, tepatnya di wilayah kerajaan Rawamerta. Setiap malam pergantian musim Siak, para penduduk di wilayah kerajaan tersebut, selalu menyambutnya dengan menabuh kentongan. Mereka bergembira ria menyongsong datangnya waktu pergantian musim tersebut, Siak yang berarti sebuah keberuntungan.
"Ayo, keluarlah!" teriak seorang pemuda sambil menabuh kentongan diikuti oleh pemuda-pemuda desa lainnya. Sehingga para penduduk yang sudah terlelap tidur pun menjadi terbangun, ikut berbaur dan bergembira ria merayakan pertanda akan datangnya musim Siak.
Menurut kitab kuno dari kerajaan Rawamerta, musim Siak ditandai dengan munculnya awan hitam di angkasa, yang berbentuk seperti seekor naga raksasa sedang menelan bulan purnama, sehingga bumi akan berubah gelap gulita, karena bulan terhalang awan yang dipercaya sebagai jelmaan naga raksasa.
Seketika bintang Sangkuti akan muncul dari arah timur. Oleh karena itu, maka penduduk pun percaya kalau pergantian musim sudah tiba, dan wilayah mereka akan segera mengalami musim Siak–musim penghujan di ujung tahun.
"Guru, bangunlah! Lihat di langit sana, ada bintang Sangkuti sudah muncul!" ucap seorang pemuda tampak riang menyambut kemunculan bintang Sangkuti yang menandakan akan datangnya musim Siak yang konon selalu membawa keberkahan bagi penduduk di pelosok wilayah kerajaan tersebut.
Orang tua itu pun terbangun dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. Lalu, ia pun menjawab lirih, "Ya, aku sudah melihatnya di jendela kamarku," jawabnya sambil berdiri di balik jendela kamar, dua bola matanya terus mengamati kemunculan bintang Sangkuti yang memancar terang di arah timur langit wilayah kerajaan Rawamerta.
Masa kemunculan bintang Sangkuti itu bisa dijadikan patokan pula akan datangnya permulaan musim hujan, dan menjadi waktu yang sangat tepat untuk bercocok tanam bagi para petani di wilayah kerajaan tersebut.
Pemuda itu adalah Wanara dan orang tua yang ada di dalam kamar adalah Ki Ageng Jayamena yang merupakan seorang tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa tersebut.
Wanara segera melangkah ke arah kamar Ki Ageng Jayamena. Kemudian, Wanara mengetuk pintu tersebut, 'Tok! Tok! Tok!'
Ki Ageng pun menyahut dari dalam kamarnya, "Masuklah!" perintahnya lirih.
"Guru saja yang keluar! Aku tidak berani masuk ke dalam kamarmu!" jawab Wanara kembali melangkah dan duduk di sebuah kursi yang ada di ruang tengah rumah tersebut.
"Buatkan aku kopi, nanti aku segera keluar!" pinta Ki Ageng.
"Iya, Guru." Pemuda berwajah tampan itu bangkit dan segera melangkah menuju ruang dapur.
Setelah berada di ruang dapur, ia segera meraih kantung yang biasa dijadikan tempat penyimpanan kopi dan gula. Setelah kantung itu dibuka, tak ada sedikitpun kopi atau gula yang tersimpan di dalamnya.
Berteriaklah Wanara, "Guru! Tidak ada kopi ataupun gula di sini! Di mana Guru menyimpannya?" tanya Wanara bersuara keras.
Kemudian, Ki Ageng pun keluar dari dalam kamar dan segera menyahut, "Pejamkan matamu dan tarik napas dalam-dalam!" perintah Ki Ageng balas berteriak. "Setelah itu, kau buka matamu!" tambahnya sambil melangkah keluar menuju beranda rumah.
"Yang aku tanyakan tentang kopi dan gula. Kenapa, malah disuruh menarik napas dan menutup mata," umpat Wanara bingung.
Meskipun demikian, Wanara tetap mematuhi perintah gurunya, karena sudah merasa percaya dan yakin akan kelinuhungan ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Jayamena. Maka, Wanara pun segera melaksanakan perintah tersebut. Perlahan, ia mulai merapatkan kedua bola matanya dan menarik napas dalam-dalam.
Beberapa menit kemudian, Wanara kembali membuka matanya. Ia sungguh terkejut ketika melihat bubuk kopi dan gula ganting sudah tersedia di atas meja yang ada di hadapannya.
"Ya, Dewata agung! Kenapa bukan emas yang muncul?" gumam Wanara tersenyum-senyum sendiri.
Lantas ia pun segera meraih kopi bubuk dan gula ganting itu, Wanara segera menyeduh kopi tersebut. Kemudian menumbuk gula ganting secara halus dan dilebur menjadi satu, lalu dimasukan ke dalam gelas keramik. Setelah diaduk rata terciptalah aroma wangi khas dari kopi tersebut.
"Guruku pasti suka dengan kopi racikanku ini," desis Wanara meraih gelas yang sudah berisi kopi panas, dan langsung membawanya keluar.
Setibanya di hadapan sang guru, Wanara langsung meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan gurunya.
"Ini kopinya, Guru!" kata Wanara lirih.
Ki Ageng tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu, memerintahkan Wanara untuk duduk, "Duduklah!" pinta Ki Ageng tersenyum-senyum memandang wajah muridnya.
Tanpa banyak bicara, Wanara langsung duduk di hadapan gurunya. Berkatalah Ki Ageng sembari menatap wajah sang murid, "Kau tentu belum tahu, apa makna di balik kemunculan bintang Sangkuti dan datangnya musim Siak?" tanya Ki Ageng meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.
"Aku tidak paham akan hal itu, yang aku tahu hanya pertanda musim hujan saja, Guru," jawab Wanara tidak berani memandang lama wajah gurunya. "Apa ada yang lain selain itu, Guru?" sambung Wanara sedikit mengangkat wajah.
"Kitab kuno Jowaraka telah menerangkan berdasarkan dari sejarah ribuan tahun silam. Di dalam kitab tersebut dijelaskan kejadian sebagai berikut, hawa dari atas turun ke bawah, sebaliknya yang di bawah naik ke atas. Sehingga kedua hawa tersebut bersatu dan menciptakan kegelapan karena gumpalan awan tebal yang dipercaya oleh nenek moyang kita sebagai jelmaan seekor naga," tutur Ki Ageng menjelaskan.
Wanara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, "Apakah itu benar-benar jelmaan naga raksasa, Guru?"
"Sebenarnya itu bukanlah jelmaan naga. Menurut Ki Buyut Sarmi, bahwa itu merupakan sekumpulan air laut yang dibawa oleh tiupan angin menuju angkasa raya, dan hinggap di sebuah gumpalan awan sehingga dapat merubah bentuk dan warna awan tersebut, menjadi hitam dan menyerupai bentuk naga raksasa," jawab Ki Ageng menjelaskan.
Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Lantas, ia pun kembali bertanya, "Maaf, Guru. Kalau yang dinamakan bintang Sangkuti itu apa, yah?"
Ki Ageng tersenyum-senyum dan langsung menjawab pertanyaan dari muridnya itu, "Makna dari kalimat Sangkuti ialah, sebuah keberkahan. Jika diartikan dalam bahasa Merta bermakna pertolongan Dewa, atau limpahan rezeki. Itu berdasarkan keterangan dalam kitab kuno Jowaraka."
Wanara menyimak dengan baik penuturan dari gurunya, ia pun baru paham ternyata apa yang sudah diceritakan oleh gurunya itu. Memang benar adanya, sesuai yang dirasakan oleh penduduk kerajaan Rawamerta, bahwa kemunculan bintang Sangkuti merupakan kabar baik yang akan membawa harapan untuk rakyat.
Beberapa saat kemudian, langit menjadi terang kembali, bumi menjadi terasa sejuk dan tenang. Gumpalan awan hitam yang bergelayut tebal di angkasa hilang tertiup angin.
Pada saat itulah, Ki Ageng segera mengajak Wanara untuk berangkat ke sebuah lembah yang berada di tengah hutan tidak jauh dari desa tersebut.
Ketika mereka sudah tiba di lembah itu. Berkatalah Ki Ageng kepada Wanara, "Tahukah kau dengan nama lembah ini?"
Wanara mengerutkan kening dan bergeleng-geleng, ia sungguh tidak mengenal nama lembah tersebut. Bahkan, kala itu ia baru pertama kali datang ke tempat tersebut.
"Aku tidak tahu, Guru. Ini adalah awal aku menginjakkan kaki di tempat ini."
Ki Ageng tersenyum, kemudian menjelaskan tentang nama dan seluk-beluk tentang lembah tersebut, "Ini adalah Lembah Kober, yang artinya sebuah lembah kuburan. Pada saat terciptanya lembah ini, banyak hewan berkaki empat dan hewan berkaki dua, segala macam makhluk hidup di alam dunia, termasuk manusia yang mempunyai kesempurnaan telah tewas oleh segerombolan harimau buas. Ini terjadi puluhan abad silam," terang Ki Ageng menuturkan.
"Harimau buas?!" kata Wanara menatap wajah gurunya sambil mengerenyitkan kening.
"Iya, harimau dengan jumlah yang sangat banyak, yang tiba-tiba datang dan menyerang manusia dan hewan lainnya," terang Ki Ageng.
Kemudian, Wanara bertanya lagi dengan penuh rasa penasaran, "Lantas siapakah yang membasmi sekelompok harimau buas tersebut, sehingga bumi kembali damai?"
"Yang menciptakan kedamaian itu adalah Raden Merta Jaya, ia seorang pendekar sakti pada zaman dahulu. Konon menurut sejarah peradaban pulau Jowaraka, Raden Merta Jaya merupakan titisan Dewa Petir," jawab Ki Ageng lirih.
Demikianlah, apa yang dituturkan oleh Ki Ageng Jayamena semua berdasarkan apa yang tertulis di sebuah kitab kuno yang menjadi kepercayaannya.
Penduduk pulau Jowaraka sangat bersyukur terhadap usaha yang sudah dilakukan oleh Raden Merta Jaya yang telah membuka kedamaian, sehingga terbentuklah sebuah kerajaan besar yang dinamakan kerajaan Rawamerta yang hingga kini tetap berdiri kokoh dan menguasai seluruh wilayah pulau Jowaraka.
Nama dari kerajaan tersebut, sengaja diambil dari nama Raden Merta Jaya sebagai bentuk penghormatan terhadapnya, yang merupakan tokoh utama kedamaian di bumi Jowaraka.
*****
Note:
Cerita ini hanya fiktif belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah dan kejadian nyata.
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments