Farah
Hallo, apa apa?Buka pintunya, Mas. Aku tahu kamu di dalam bersama tukang peyek itu.Aku tidak di apartemen.Bohong kamu, Mas!Ya sudah kalau tidak percaya, gedor aja terus sampai pagi. Paling kamu diusir security.TuutTuutEmir meletakkan ponselnya kembali di atas nakas. Ssbelumnya, ia sudah mematikannya terlebih dahulu, agar Farah tidak terus-terusan meneleponnya. Suara ketukan pintu yang tadi begitu heboh, sekarang tak terdengar lagi. Emir mengulum senyum, lalu kembali melanjutkan aktifitas memeluk Aminarsih kemudian memejamkan matanya.Benar saja, Farah akhirnya pergi dari sana, setelah ditegur oleh salah seorang penghuni unit di sebelah unit Emir. Dengan meradang dan menghentakkan kakinya, Farah turun ke lobi apartemen. Menuju anjungan tunai mandiri, hendak melakukan penarikan uang, karena uang di dom"Gak, Ma! Farah tidak mau cerai. Mas, apa gak bisa diperbaiki semuanya? Aku benar-benar menyesal, Mas," rengek Farah di depan Emir."Aku gak mau cerai, pokoknya!" Farah berdiri dari duduknya, lalu berjalan melewati Emir yang masih diam membisu. Mama Farah pun tak banyak bicara, ia tahu kesalahan puterinya sangatlah fatal. Berselingkuh di luaran sana, ditambah hendak meracun wanita yang dekat dengan keluarga suaminya. Tentu saja tak tak ada yang berani memaafkan Farah."Nak Emir, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Bu Sinta memelas."Maaf, Ma. Keputusan saya sudah bulat, saya tidak bisa bersama Farah. Sudah tidak baik bagi hubungan kami.""T-tapi bagaimana nanti dengan karir Farah?""Bukan urusan saya, Ma. Cukup saya dibuat hampir kena serangan jantung saat mengetahui sifat Farah dan apa yang telah ia lakukan pada saudara saya. Semoga Mama mengerti. Akan lebih panjang urusannya, jika semua video itu sampai di meja poli
Aminarsih masih setia menunggu Emir yang pulang hari ini. Sudah pukul delapan malam, Emir belum juga nampak membuka pintu apartemen. Ami gelisah, begitu pun juga Amira yang sudah tak sabar. Sambil bermain, Amira terus saja melihat ke arah pintu, berharap lelaki yang ia panggil dengan sebutan Papa Emil, segera membuka pintu."Lama ih," rengek Amira pada ibunya."Sabar, Nak. Papa Emir katanya langsung ke kantor, karena banyak pekerjaan. Siapa tahu sebentar lagi pulang," ujar Ami menenangkan kegelisan puterinya. Ia pun ingin menelepon Emir dari telepon apartemen, tetapi ia tidak tahu nomornnya.Hingga jarum jam bergeser ke angka sembilan, kemudian sepuluh, Emir tak kunjung pulang. Amira sudah tidur kelelahan menunggu Emir. Sedangkan Ami juga tak tenang. Ia pun dengan sabar menunggu Emir pulang sambil menonton acar televisi. Acara yang bertemakan mistis.PukSuara benda jatuh dari arah dapur. Tak mungkin kucing
Ami dan Emir, kini sedang dalam perjalanan menuju rumah Bu Farida. Pagi-pagi sekali, Emir membawa Aminarsih dan Amira pulang ke rumah orangtuanya. Karena permintaan mamanya. Bu Farida rindu dengan Amira, selain itu, rumah juga terasa sepi bilam tak ada Amira di rumahnya.Tentu saja, Emir yang kini merasa horor dengan apartemennya, memilih setuju untuk untuk membawa Amira.dan Ami ke rumahnya. Apartemen itu akan ia jual saja, dari pada menyeramkan seperti itu."Kamu gak papa, Mi?""Gak papa, Mas. Emangnya kenapa?" tanya Ami keheranan."Setelah tadi malam, apa kamu merasa baik-baik saja?""Iya, saya tidak apa-apa. Mas yang takut ya? Hayo ... Ngaku, hi hi hi ...." Ami menertawakan Emir."Ketawanya jangan ngikik, Mi. Jadi mirip kunti," ujar Emir sambil menelan salivanya."Ha ha ha ... Mas lucu deh!" Ami mencubit pipi Emir."Sakit," ujar Emir manja."Uluh, lebay. Ha ha ha ...."
Ami masih bingung dengan pengakuan dari Bu Farida. Benarkah Bu Farida teman dari umi dan abinya? Bu Farida masih saja menangis memeluk dirinya. Bahkan pelukan itu sangat erat, membuat Ami hampir kehabisan nafas."Ya Allah, puluhan tahun saya selalu berharap berjumpa dengan Narti, ternyata dia sudah tidak ada. Ya Allah, saya rasanya tak percaya, Mi. Terakhir bertemu, saat saya menjenguk kamu lahir usia empat puluh hari dan Narti memberi tahukan tanda lahir di leher kamu. Ya Allah ...." Bu Farida memeluk kembali Ami dengan erat.Amira yang asik bermain boneka, akhirnya menoleh pada ibu dan omanya. Amira bangum dari duduknya, lalu menghampiri keduanya. Amira bergelayut di tubuh Ami, sambil memandang heran keduanya."Ibu, Oma, tenapa nanis?""Ya Allah, kalian ini benar-benar bagian dari keluargaku. Alhamdulillah ya Allah, telah mempertemukan kami di sini." Bu Farida kini memanggku Amira. Jemari gadis kecil itu terangkat menghapus a
Emir sudah mengajukan gugatan perceraian pada Farah. Tak perlu memakai jasa pengacara, karena ia memiliki bukti cukup kuat untuk majelis hakim meloloskan gugatannya. Baru tahap pendaftaran, untuk jadwal masih antre dan akan dihubungi satu bulan yang akan datang. Tentu saja, banyak rencana di kepalanya setelah perceraiannya dengan Farah sah. Salah satunya adalah segera melamar Ami untuk ia jadikan istri. Rasa tak sabar begitu kuat di dadanya, tapi ia ingat akan perkataan sang mama, bahwa ia harus lebih dahulu membereskan semua masalah dengan Farah. Bahkan Emir sudah bercita-cita, akan membawa Aminarsih berbulan madu ke Mekkah, tepatnya melaksanakan umroh, tak lupa membawa Amira turut serta.DrrtDrrtEmir melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.Jin CantikEmir terkekeh sendiri membaca nama kontak Ami yang ia buat. Kenapa harus 'Jin Cantik'? Karena Ami mampu melihat hal goib yang tidak bisa semua
Amira sudah terlelap di pangkuan Emir. Lelaki itu bersikeras mengajak Ami bicara baik-baik. Sungguh ia pun tak menyangka akan kabar yang diberikan Farah tadi. Kini, keduanya masih senyap tanpa suara, hingga pukul sepuluh malam. Ami duduk menunduk sambil memilin ujung bajunya, dengan air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Emir memandang sendu wanita yang ia cintai. Perjuangan untuk memilikinya sepertinya akan panjang, tetapi ia tidak akan menyerah."Waktu itu, saat Farah pertama kali berangkat ke Malaysia, saya menemukan pil KB di kamar. Pil yang sudah hilang sebanyak tujuh pil. Jujur saya kecewa, karena saya tidak menyangka akan mendapati istri saya begitu enggan untuk punya anak," terang Emir dengan suara parau. Ia yang tadinya duduk berhadapan dengan Ami, kini memilih pindah, untuk kemudian duduk di samping Ami."Sini lihat saya!" Emir mengusap rambut Ami dengan lembut, namun Ami mengelak. Ia masih saja sesegukan menahan tangis agar tak tumpah
"Jadi menurut kalian, siapa ayah bayi itu? Katakan!""Mas Emir." Farah seketika bangun dari duduknya. Dadanya berdegub sangat kencang, saat sosok yang ia belum ingin lihat, sudah ada di hadapannya dengan wajah memerah menahan marah. Daniel pun hanya bisa menelan saliva tanpa mampu berkata-kata. Saat Emir berjalan mendekat, kemudian meremas kerah bajunya, nyali Daniel semakin menciut."Apa kamu ayah bayi yang dikandung istriku? Jawab!" Emir tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya, lelaki terus saja berteriak sampai urat leher dan wajahnya ikut memerah padam. Semua kru yang ada di sana mengelilingi Emir dengan tatapan bingung. Ada yang menarik tubuh Emir agar menjauh dari Daniel, namun ia tepis."Katakan siapa ayah bayi yang sebenarnya? Katakan Daniel! Sebelum aku membawa kalian berdua ke kantor polisi," bisik Emir sinis begitu dekat dengan wajah Daniel."Kamu ayah bayi itu, Emir. Kamu ayah bayinya. Jika tidak percaya, kamu sil
Dengan jemari gemetar dan dada berdebar, Bu Farida mencoba menghubungi nomor Emir, namun tak diangkat. Berkali-kali tiada lelah Bu Farida melakukannya, bahkan air mata ikut menetes tatkala melihat semua pakaian yang dia berikan pada Ami dan Amira tidak ada yang dibawa. Lemari kecil yang digunakan untuk menyimpan baju-baju yang ia berikan masih terisi dengan penuh. Berati Ami dan Amira pergi hanya mengenakan baju yang melekat pada tubuh mereka saja. Betapa sedih dan hancurnya hati wanita paruh baya itu ketika mendapati Ami yang benar-benar pergi dari kehidupannya."Ami, kamu ke mana?" gumam Bu Farida dengan lemah. Ia duduk di ranjang Emir, yang kurang lebih sepuluh hari ini ditiduri oleh Ami dan juga Amira. Kasur sudah rapi, bersih, seprei juga tampaknya baru diganti oleh Ami."Kontrakan? Nah, iya, kontrakan." Cepat Bu Farida keluar dari kamar, lalu memakai gamis di dalam kamarnya serta kerudung instan cukup lebar. Setelahnya Bu Farida menyambar kunci mobil.&nbs