Bajing*n!" Devon mengangkat kepalanya. "Kubilang hentikan, brengs*k!!!" Umpat Shilla dengan tatapan tajam. Devon tertegun, selama ini tidak pernah sekalipun mendengar gadis yang dicintainya itu berkata kasar apalagi mengumpat. Shilla memang dingin dan jarang bicara tapi tidak pernah kasar. Dia juga sangat lembut dan sabar. "Memang seharusnya kamu itu mat*. Jadi mat*lah!!!" Shilla mendorong dan menendang Devon sekuat tenaga sampai pria itu terjermbab jatuh. Devon merasakan sakit di punggung dan pantatnya yang mencium lantai. Pria itu masih berusaha bangun ketika Shilla sudah berdiri di depannya. Gadis yang selama ini Devon kenal sebagai pribadi yang lembut itu memiringkan kepalanya dengan tatapan tajam dan senyum sinis. "Kamu sudah mat* jadi kamu harus mat*." Katanya lalu berjalan menuju meja belajar yang ada di pojok ruangan itu. "Shilla kamu mau apa?" tanya Devon ketika Shilla berjalan ke arahnya dengan memegangi gunting yang sudah diangkatnya setinggi kepala. Shilla kembali
"Aku khawatir dengan kondisi mental Shilla setelah kejadian ini." Ungkap Mirnada setelah selesai mengganti pakaian Shilla dengan piyama bersih. "Aku akan membawanya kembali ke Jepang. Rahasiakan alamat kita di Jepang dari semua teman Shilla." "Sepertinya itu yang terbaik. Aku akan bantu membujuk Shilla." Miranda menyetujui keputusan Nathan. "Tapi bagaimana jika pria itu melaporkan masalah ini ke polisi. Pasti akan ada pencekalan terhadap Shilla." Akhirnya Miranda mengutarakan kekhawatiran yang di rasakanya sejak tadi. "Tenang saja, aku sudah mengambil foto Shilla Sebelumya. Itu bisa dijadikan bukti. Jika Shilla hanya membela diri." "apa perlu melakukan visum?" "Tidak perlu. Aku yakin pria itu tidak akan melakukannya." "Mungkin dia tidak bagaimana dengan keluarganya. Akan lebih bijak jika kita mempersatukan ssmuanya." "Iya, kamu benar. Akan aku hubungi pengacara dan berkonsultasi." ****Setelah dua jam Shilla akhirnya sadar. Gadis itu awalnya bingung dan sedikit melupakan keja
Sampai pukul dua belas malam Shilla masih sibuk dengan laptop di depannya. Setelah selesai dengan teman lamanya, saat ini Shilla sedang berkirim email dengan psikiaternya yang sedang berada di Mesir dan baru akan kembali ke Jepang bulan depan. Diabaikannya ponsel yang sejak tadi berdering. Fokusnya masih pada email yang ada layar laptop. Dirinya sedang berkonsultasi dengan Psikiater yang selama ini merawatnya.Lama-lama Shilla merasa terganggu dengan suara nada dering dari ponselnya. Dengan sedikit malas diambilnya benda pintar itu. "Elgar," gumamnya ragu untuk menerima panggil video dari pria itu. Dari pantulan cermin nampak wajah sembab dengan mata bengkak. Shila mendengus, "Nampak sekali jika habis nangis," gumamnya. Elgar pasti akan bereaksi berlebihan jika melihat dirinya seperti ini. Shilla masih belum lupa seperti kepanikan Elgar saat melihat dirinya terluka karena Olivia. [Terima VC dariku atau aku akan menerobos masuk ke dalam rumah.] Sebuah pesan masuk dari sang pria. [
"Siapa yang melakukannya? Pria itu?" tanya Elgar dengan wajah memerah. Shilla semakin menunduk dengan tangis yang kembali pecah. "Katakan, siapa yang melakukanya? Aku suamimu jawab aku! Apa laki-laki bernama Devon itu yang melakukanya?" Shilla mengangkat wajahnya, terkejut. 'Dari mana Elgar tahu? Jangan-jangan...' batin Shilla. "Kenapa kamu menemuinya seorang diri? Kemana Nathan dan Ardi yang biasanya sangat protect sama kamu?" Elgar tak sabar dan terus mencecar Shilla dengan banyak pertanyaan. "Apaang kamu sengaja ingin bertemu berdua dengan mantan kekasihmu itu?" Shilla menggeleng cepat. "Kamu masih mencintainya?" Pertanyaan yang sama sekali tak ingin Elgar ajukan namun pada akhirnya terucap juga karena kebisuan Shilla. "A-aku menemuinya untuk menegaskan semuanya. Ada janji yang belum selesai dan aku ingin mengakhirinya. A-ku juga mengembalikan cincin pertunangan kami dulu." Tak mau Elgar salah faham, Shilla pun berusaha menjelaskan sambil sesegukan. Entah kenapa Shilla me
"Sudah bangun?" Begitu Shilla membuka mata, nampak wajah tampan suaminya. Hidung mancung dengan rahang dan tatapan tajam. yang memepesona. Untuk beberapa detik gadis berkulit putih itu terpaku. . "Good morning, Baby." Elgar mengecup pipi Shilla. Shilla mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Mau langsung sarapan apa mandi dulu?" tanya Elgar. "Mandi dulu," jawab Shilla, turun dari ranjang lalu menuju kamar mandi. Hanya butuh waktu setengah jam dan Shilla sudah terlihat lebih segar seapas mandi. Sebuah dress berwarna putih bermotif bunga membuat Shilla nampak seperti peri tanpa sayap. "Cantik," puji Elgar menatap kagum. Pria berwajah bule itu sangat puas saat melihat dress yang dibelinya ketikan berada di Singapore terlihat sangat cocok dan pas di tubuh Shilla. "Duduklah, ayo sarapan." Shilla duduk berhadapan dengan Elgar. Dipilihnya sadwizd isi tuna untuk sarapannya pagi ini. Berbeda dengan Shilla, Elgar memilih sepiring nasi goreng. Dia b
Elgar segera memindahkan tubuhnya untuk memberi jalan. Tanpa ragu Shilla membuka pintu dan berjalan keluar. Elgar mengalah bukan karena cemburu atau kecewa dengan pengakuan Shilla yang masih mencintai mantan kekasihnya. Elgar hanya tak ingin membuat Shilla marah. Dia tidak akan lupa dengan nasihat Derrick, sahabat yang seorang psikolog. Derrick berpesan agar tidak membuat Shilla emosi. Elgar tahu gadis yang sudah menjadi istrinya itu sedang mendorongnya pergi. Dan Elgar tidak akan mengikuti keinginan gadis itu. Sah tidak sah pernikahan mereka Elgar takkan pernah melepaskan Shilla sampai kapan pun. Elgar menghela nafas berat sambil terus menatap tubuh ramping itu menghilang di balik pintu lift. Masih sempat Elgar melihat tatapan sendu wanita yang begitu dicintainya itu sebelum pintu Lift tertutup rapat. "Suruh orang mengikuti istri saya. Ingat jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi. Atau kamu juga akan menanggung akibatnya." Elgar memberi perintah pada Putra melalui sambu
Devon terkekeh. "Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin terjadi." Shilla menghela nafas berat, mengerti jika akan sulit menyakinkan pria di hadapannya itu. Namun dirinya juga tidak mau memberi harapan kosong. Devon harus bisa menerima kenyataan jika mereka sudah tidak bisa bersama lagi seperti dulu. Jangan sampai mantan kekasihnya itu kembali berbuat nekat dan memancing amarah Elgar. Maka dari itu Shilla harus membuat Devon sadar status baru Shilla sebelum Elgar turun tangan. Shilla tahu betul seperti apa seorang Elgar Dimitri Romanov. Pendendam dan sulit memaafkan. Seratus persen Shilla yakin, suaminya itu tidak akan tinggal diam setelah tahu apa yang sudah Devon lakukan padanya. Cepat atau lambat Elgar pasti akan melakukan sesuatu untuk membalas Devon. "Apa kamu pikir aku percaya? Sama sekali tidak." Devon kembali membuka mulutnya. Kali ini wajahnya menampilkan ekspresi serius dan beberapa kali terlihat menahan sakit dengan menggigit bibir bawahnya. Lukanya terasa nyeri
"Tidak," jawab Shilla masih asyik menikmati pemandangan sore hari dari kaca apartemen. "Aku akan pergi sendiri. Jadi rahasiakan ini dari siapapun." Matahari mulai terbenam dan langit berwarna keemasan. Indah sekali. "Kenapa? Kalian tidak cocok? Emang seperti apa dia?" Banyak pertanyaan Raisa ajukan. Gadis itu sangat penasaran dengan suami dari sahabatnya. Shilla menganggukkan kepalanya. "Dia sangat arrogant dan semaunya sendiri. Kejam, dingin dan kadang tak berbelas kasih. Dia juga sangat percaya diri." "Kenapa aku merasa kamu menyukainya. Kamu berbicara dengan mata berbinar." Raisa memicingkan matanya. Menatap penuh selidik pada temannya yang terkenal tertutup itu. Shilla pun terseyum, tak ingin memungkiri jika dirinya sudah jatuh hati pada Elgar. Entah karena sikap peduli dan perhatian pria itu atau karena rasa kecewanya terhadap Devon yang tega membohonginya selama hampir tiga tahun. "Tuh.... kan. Lihat ekspresi wajahmu, Kamu benar-benar menyukainya kan?" Raisa me