BRAKK!!Pintu ruangan terhempas keras. Seorang pria dengan aura dingin dan tatapan membunuh masuk ke dalam, menghentikan seluruh aktivitas di ruangan itu. Musik seolah tak lagi terdengar, dan semua pria di dalam sontak menoleh.Alvano, sosok yang selama ini hanya dikenal lewat berita dan dunia bisnis, kini berdiri di hadapan mereka, membawa badai dalam tatapannya.“Marvel!” Suaranya bergemuruh seperti petir.Marvel yang semula santai langsung pucat pasi. “T-Tuan Alvano.”Tanpa banyak bicara, Alvano melayangkan pukulan keras ke rahang Marvel, membuat pria itu terjengkang menabrak sofa.“Beraninya kamu menjebaknya ke tempat seperti ini!” geram Alvano, dadanya naik turun menahan amarah.“Tunggu! Ini semua hanya kesalahpahaman, aku hanya menjalankan perintah—”BUGH!Pukulan telak mendarat lagi. Marvel memuntahkan darah dari mulutnya.“Aku tidak peduli siapa yang menyuruhmu. Kamu tahu siapa Nayara, dan tetap memperlakukannya seperti—sampah?” desis Alvano dengan sorot tajam yang bisa membak
“Shh!”Nayara terus meringis sepanjang Anik mengobati luka-luka di sekujur tubuhnya karena pukulan dari Clarissa.“Kalau Bibi boleh bertanya, untuk apa Nona melakukan semua ini?” Anik membereskan semua peralatan yang dia gunakan untuk mengobati luka Nayara tadi.Nayara pun memakai kembali bajunya dengan benar setelah tadi kancingnya sempat dia buka beberapa agar Anik lebih leluasa mengobatinya.“Bi, apa pun akan aku lakukan untuk menyelamatkan putraku. Luka ini tidak seberapa bagiku,” jawab Nayara.“Hah.” Anik menghela napas kasar sambil mengambil sesuatu di bawah bantal. Benda itu adalah sebuah amplop cokelat yang lumayan tebal.“Ini adalah uang tabunganku selama bertahun-tahun, jumlahnya memang tidak seberapa. Semoga saja ini bisa membantumu sedikit.” Anik memberikan amplop itu pada Nayara.“Ini tidak perlu, Bi.” Tentu saja Nayara langsung menolak karena tahu Anik juga sangat membutuhkan uang itu.“Nona, aku telah merawatmu selama bertahun-tahun. Jangan sungkan padaku, aku sudah men
“Shh!” Nayara terus meringis sepanjang Anik mengobati luka-luka di sekujur tubuhnya karena pukulan dari Clarissa. “Kalau Bibi boleh bertanya, untuk apa Nona melakukan semua ini?” Anik membereskan semua peralatan yang dia gunakan untuk mengobati luka Nayara tadi. Nayara pun memakai kembali bajunya dengan benar setelah tadi kancingnya sempat dia buka beberapa agar Anik lebih leluasa mengobatinya. “Bi, apa pun akan aku lakukan untuk menyelamatkan putraku. Luka ini tidak seberapa bagiku,” jawab Nayara. “Hah.” Anik menghela napas kasar sambil mengambil sesuatu di bawah bantal. Benda itu adalah sebuah amplop cokelat yang lumayan tebal. “Ini adalah uang tabunganku selama bertahun-tahun, jumlahnya memang tidak seberapa. Semoga saja ini bisa membantumu sedikit.” Anik memberikan amplop itu pada Nayara. “Ini tidak perlu, Bi.” Tentu saja Nayara langsung menolak karena tahu Anik juga sangat membutuhkan uang itu. “Nona, aku telah merawatmu selama bertahun-tahun. Jangan sungkan padaku
Lama menunggu, namun tidak ada juga satupun orang yang keluar dari rumah itu. Nayara pun mulai nekat. “Pa, aku mohon bantulah aku. Sekarang putraku sedang sakit, perlu biaya operasi 6 miliar. Kau sudah tidak punya jalan keluar lain lagi, dia adalah cucu Papa juga.”Suara Nayara yang lumayan keras terdengar sampai ke dalam rumah.Dimas terlihat gelisah, sementara Clarissa terlihat biasa saja.“Kenapa? Kamu kasihan? Dimas, kamu tetap saja tidak bisa berubah. Dulu dengan ibunya kamu juga kasihan, sekarang anaknya. Apa kamu tidak kasihan dengan putri kita Vanya?” cecar Clarissa.Dimas diam, dia tau harus bereaksi seperti apa.“Pa, Papa harus ingat. Nayara dan Kak Alvano belum cerai, jika keluarga Kak Alvano tau tentang anak haram itu mereka akan menyalahkan mama dan papa tidak bisa mendidik anak. Kalau anak Nayara mati itu demi menjaga nama baik keluarga Widjaya,” hasut Vanya.“Dasar anak itu, belum bercerai sudah berani mencari pria lain. Sungguh keturunan pelakor, sungguh mirip dengan
“Maafkan aku, Nyonya. Aku salah, aku akan menampar diriku sendiri.”Pelayan itu benar-benar menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai wajahnya membengkak dan memerah.“Sudah cukup, sekarang kamu boleh pergi dan katakan kepada Kak Nara kalau Mama dan Papa tidak mau menemuinya,” titah Vanya.“Kenapa kamu masih membela anak itu? Apa jangan-jangan dia sudah memberimu jampi-jampi agar tetap simpati padanya?” Clarissa jadi semakin berpikiran buruk tentang Nayara. “Padahal Vanya sudah tinggal selama 5 tahun dengan kita, tapi kamu masih saja tidak bisa melupakan anak itu.” Clarissa benar-benar marah pada suaminya.“Bukan begitu maksudku.” Dimas begitu dilema sekarang.Di satu sisi dia ingin bertemu dengan Nayara, tapi di sisi lain dia takut pada Clarissa kalau dia berani menemui Nayara.“Pa, aku tidak tahu seperti apa kedekatanmu dengan Kak Nara. Kalian sudah hidup bersama selama dua puluh tahun lamanya, tapi Papa tidak pantas berlaku seperti itu pada Kak Nara.” Vanya tidak terima melihat
“Selamat pagi, Dokter Ardian.” Nayara tersenyum ramah pada seorang dokter paruh baya yang Nayara kira sudah menghubunginya.“Terima kasih banyak sudah menyisakan satu kamar untuk Rayhan,” ujar Nayara.“Kamar apa?” Dokter Ardian terlihat bingung menanggapi pertanyaan Nayara.“Kamar untuk Rayhan, bukankah Anda yang membantuku?” Nayara terlihat begitu bahagia.Sepertinya Dokter Ardian tidak tahu apa-apa tapi juga tidak berani mengatakan apa pun. Tentu saja, kamar itu disediakan oleh Alvano, jelas Dokter Ardian tidak akan tahu apa-apa.“Sudahlah, berhubung Anda ada di sini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” Dokter Ardian memberikan sebuah kertas. “Ini laporan kesehatan Rayhan, kondisinya semakin menurun. Hal ini sangat tidak baik, tidak bisa kalau hanya memakan obat-obatan saja.”Nayara memejamkan mata, sebelumnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi.“Dokter, tolong bantu selamatkan putraku. Dia baru berusia lima tahun, tolong, Dok,” pinta Nayara.“Segera urus semua biayanya, Nyon
“Uhuk!” Rayhan batuk-batuk sampai hidungnya mengeluarkan darah.Tapi anak itu tidak mengatakan apa pun, dia cuma fokus bermain dengan Ultraman baru yang dibekali oleh ibunya.“Astaga, kamu mimisan lagi?” Nayara mengambil selembar tisu. “Sini biar Mama lap darahnya.” Nayara menghapus darah dari hidung Rayhan.“Ray, waktunya minum obat. Kamu mau sembuh kan, Sayang?” Nayara mengeluarkan obat-obatan yang begitu banyak yang harus dikonsumsi anak sekecil Rayhan.“Ray tidak mau, Mama. Obatnya sangat pahit,” tolak Rayhan sambil menutup mulutnya.“Kamu ingin mendengar sebuah cerita?” Nayara mencari akal untuk membujuk Rayhan agar mau meminum obat.“Cerita apa, Mama?” Mata polos Rayhan berkedip-kedip lucu menatap Nayara.“Dulu Ultraman ini juga sakit, dia baru sembuh setelah minum obat.” Nayara mengarang cerita yang menarik untuk anak-anak.“Benarkah?” Dan sesuai dengan harapan Nayara, Rayhan tertarik dan percaya dengan a
Setelah semua masakannya selesai, Nayara menata semuanya di atas meja makan yang di sana sudah dihuni oleh Alvano dan Vanya.Nayara menyiapkan semuanya dengan hati-hati, jangan sampai dia membuat kesalahan yang berakhir dirinya menerima kekerasan lagi dari Alvano ataupun Vanya yang licik.Gadis itu manipulatif, jadi Nayara harus berhati-hati dengan gadis yang saat ini bersama suaminya.“Tuan Alvano, Nona Vanya, silakan menikmati hidangannya!” Nayara benar-benar sangat profesional dan sadar diri dengan statusnya di tempat ini.Alvano terdiam dan tampak begitu murung, hati kecilnya sangat tidak rela melihat Nayara berada di posisi seperti ini. Sementara itu, egonya mengatakan bahwa wanita itu pantas menerima perlakuan seperti ini.Alvano mulai makan, mata terpejam menikmati sensasi makanan khas buatan Nayara yang sudah lama tidak ia makan.Jujur saja, Alvano merindukan masakan ini. Tapi bahasa bancinya pada Nayara mengalahkan segal
Nayara memberikan surat-surat yang sudah dia tandatangani pada Alvano.“Selesai, Tuan. Apalagi yang harus saya lakukan?” Nayara begitu sabar dan pasrah menghadapi Alvano.Alvano menerima surat itu lalu berkata, “Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di sini, harus tepat waktu tidak boleh terlambat.” Kali ini Alvano berbicara baik-baik pada Nayara.“Baiklah, Tuan.” Nayara membungkuk hormat layaknya para pelayan pada umumnya. “Kalau begitu saya izin pamit dulu.”Alvano mengangguk sehingga Nayara bisa pergi dari tempat itu.Alvano menatap surat-surat di tangannya cukup lama, raut wajah pria itu begitu sulit untuk dijelaskan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Alvano saat ini....“Mama, rumah ini sangat besar.” Mata Rayhan berbinar menatap rumah mewah yang dia pijaki sekarang.Nayara hanya tersenyum mendengar itu, Nayara tidak tega jika harus meninggalkan Rayhan yang sedang sakit sendiria