Harum selalu merasa seperti pengemis ketika meminta nafkah dari suaminya. Itu sebab Adam yang selalu memprioritaskan memberikan nafkah untuk ibu dan saudara-saudaranya. Sampai ketika anak semata wayang mereka jatuh sakit, Adam malah menelantarkan istri dan anaknya demi mengobati keponakannya yang juga sedang sakit.. Harum yang terluka tak sudi lagi menerima nafkah dari suaminya ini.. tapi, bagaimana cara Harum mencukupi kebutuhan diri dan anaknya? Sementara ia hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.
더 보기"Mas.. kamu udah gajian?" Tanya Harum hati-hati.
Adam baru saja selesai sarapan dan akan berangkat bekerja. Pekerjaannya sebagai pegawai kontrak di sebuah kedinasan membuatnya harus selalu masuk pagi. Adam menoleh. "Kenapa?" "Mau beli susu Shanum." Hati-hati sekali Harum mengatakannya. Entah kenapa setiap berurusan soal nafkah, Harum merasa suaminya sensitif. Wajahnya jadi berubah bak cermin yang pecah seribu. Adam lalu mengeluarkan uang 20 ribu dan 10 ribu masing-masing satu lembar dari dalam dompetnya, lalu memberikan itu pada istrinya. "Uang belanja?" Tanya Harum lagi. Adam menghela. "Sudah kuberikan semua pada ibu. Nggak usah mikirin itu." "Oh.." Harum menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sudah setahun ini, Adam memboyong anak istrinya pindah ke rumah ibunya. Itu sebab Farida, ibu kandung Adam tinggal seorang diri. Sebelumnya ada Zulfa yang menemani ibunya tinggal di rumah kecil ini, tapi semenjak dia menikah. Zulfa diboyong suaminya tinggal di rumah mertuanya. Jadilah, Adam pindah kemari. Selain untuk menjaga ibu, Adam juga bisa berhemat karena selama ini mereka tinggal di kontrakan. Adam berdeham. "Anakmu itu sudah besar, sudah sekolah. Nggak usah dikasih susu lagi." "Anak kita, mas.." Harum mengkoreksi ucapan suaminya. "Ya.. ya. Anak kita!" Potong Adam cepat. "Mau kamu buat sebesar apa lagi badannya? Baru kelas 1 SD tapi badannya menjulang seperti itu." Harum hanya menggeleng. Bukannya senang karena melihat anaknya tumbuh sehat, suaminya malah menggerutu. "Mas.. aku boleh minta uang lagi?" "Buat apa?" Masam sekali wajah suaminya ini. "Mau beli skincare. 50 ribu lagi aja, mas. Aku beli yang murah kok." Harum memelas. Adam menggeleng. "Aku nggak punya uang. Sisa duit di dompet buat beli rokok. Kamu minta sama ibu aja sana.." Harum tertunduk menelan rasa kecewa. Tidak banyak yang ia minta, hanya 50 ribu saja. Itupun dia beli skincare murah yang bisa habis dalam tiga bulan. Di hemat-hematkan sekali memakainya. "Ya sudah.." jawab Harum pahit. Adam lalu berpamitan kepada istri dan anaknya. "Ayah, anter Shanum dong.." Rengek Shanum. Adam melirik jam. Sudah menunjukkan pukul 06.45. Belum macet di jalan. Jam berapa lagi dia sampai ke kantor kalau dia mengantar putrinya dulu. "Sama ibu aja berangkatnya. Ayah sudah telat." Adam main pergi setelah mengatakan itu. "Ibu.." Shanum jadi cemberut. "Ayah udah telat, nak. Sama ibu aja perginya." Sahut Harum. "Jalan kaki lagi?" "Memang mau naik apa lagi?" Harum jadi tertawa mendengar pertanyaan putrinya. "Sekolah kamu kan dekat, sayang.." Shanum hanya mengangguk pasrah. Sekolahnya memang tak jauh dari sini. Tapi kalau bolak balik jalan kaki ya pegal juga.. Tak lama Farida muncul, pagi sekali wanita paruh baya ini sudah rapi. "Ibu mau ke pasar. Belanja bulanan. Ada yang mau dititip?" Tanya Farida ke menantunya. Harum menggeleng. "Nggak ada, bu." "Ya sudah, ibu pergi dulu.." Selepas kepergian mertuanya, Harum menghela nafas panjang. Sudah satu tahun, Harum tak pernah ke pasar lagi. Bagaimana mau ke pasar? Diberi uang belanja saja tidak! Mau merengek pun percuma. Adam tetap kekeuh akan pendiriannya. Uang gaji sudah diberikan dan diatur oleh mertuanya. Harum hanya mendapatkan sisa remahan saja. Itu pun kalau ada. Sementara Adam, dia memang memegang uang untuk membeli rokok. Sebenarnya bisa saja Adam berhemat dengan menekan biaya rokok yang mencapai 30 ribu/ hari itu. Tapi namanya kebiasaan, sulit pasti untuk dihilangkan. Sepulangnya mengantar Shanum sekolah. Harum membersihkan rumah dan juga mencuci pakaian. Tak lama mertuanya pulang dari pasar dengan membawa macam kantong belanjaan. Untuk bahan pokok, mertuanya menyetok bulanan. Kecuali sayur segar yang selalu dibeli tiga hari sekali. "Barang-barang pada naik semua.." Gerutu Farida kelelahan. Sebagai menantu yang baik, Harum memberikan air minum kepada ibunya yang tampak lelah. Setelah itu, dia membereskan barang belanjaan dan menyusunnya di lemari. "Masak ikan asin peda aja. Suamimu request itu tadi." Seru Farida dari ruang keluarga. "Ya, bu." Jawab Harum. "Minyak gorengnya jangan banyak-banyak dipakai! Minyak mahal!" Seru mertuanya lagi. Harum menghela nafas. "Iya, bu." Karena mertuanya kelelahan, jadilah Harum yang memasak. Selesai berperang di dapur. Barulah Harum menjemput putrinya pulang sekolah. Sesampainya di rumah, Adam sudah siap di meja makan. Seperti biasa, Adam selalu pulang ketika makan siang. Biar hemat katanya. "Ibu yang masak ikan asinnya?" Tanya Adam sambil mengunyah makanannya. Sementara Harum menuangkan air dalam gelas suaminya. "Bukan. Aku, mas." Jawab Harum tersendat. Adam melirik ke arah istrinya. "Kenapa kamu yang masak?" "Ibu kecapekan tadi dari pasar. Kasihan.." Harum melunak. Dia tahu ujungnya. Adam akan menyela masakannya. Semenjak pindah ke rumah ini, Adam lebih suka makan masakan ibunya. Masakan istrinya ini selalu saja ada kurangnya. Kurang asin, lah. Kurang pas. Kurang enak. Ada saja. Adam tak mau menjawab. Selesai makan siang, dia menuju kamar ibunya yang tengah beristirahat. "Masih ada sisa uang belanja nggak, bu?" Farida bangkit dari tidurnya. "Ada. Tapi dikitt banget.. buat jaga-jaga untuk kebutuhan yang nggak terduga." Jawab Farida. "Tenang aja. Listrik sama air sudah dibayar. Bahan pokok udah dibeli untuk satu bulan." "Aku minta dong. 50 ribu aja." Adam mengulurkan tangannya. Tak bisa ditolak. Farida mengeluarkan uang dari dompetnya. "Buat beli rokok?" Tanya Farida. "Buat beli bensin motor!" Baru saja Adam ingin pergi tapi dia berbalik lagi. "Besok, ibu aja yang masak. Jangan suruh Harum lagi." Mendengar ucapan anaknya, Farida jadi tersenyum. Harum bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu dari luar. Suara yang tadinya terdengar menjadi bisik-bisik, lalu tertawa. Hati Harum jadi sakit walau tak bisa menangkap jelas obrolan itu. Namun yang pasti, Harum merasa dia sedang diolok-olok oleh ibu dan anak itu. "Bu.. kok ikan asin, sih?" Protes Shanum. Perutnya yang lapar jadi tidak berselera melihat lauk di meja makan. "Memang Shanum mau makan apa?" "Ayam goreng, bu.." Harum tersenyum pahit. "Hari ini ikan asin dulu, ya. Besok baru masak ayam gorengnya." Sekali lagi, Shanum harus menelan pil pahit. Setiap hari dia harus menyesuaikan menu makanannya dengan menu makanan orang dewasa. Apalagi neneknya ini suka sekali memasak ikan asin. Besoknya, menu ikan asin lagi yang tertampil di meja makan. Membuat Shanum langsung protes ke Neneknya. "Minta beliin ibumu aja. Ada yang jual ayam goreng tuh di depan lorong." Shanum berlari menuju ibunya. Dia merengek meminta dibelikan ayam goreng. "Telur dadar aja, ya.." Harum memberikan pilihan. Masalahnya dia sudah tak punya uang. 30 ribu yang diberikan suaminya kemarin sudah habis dibelikan susu untuk anaknya. "Nggak mau.. maunya ayam goreng, aja!" Shanum jadi menangis. Pas sekali, Adam pulang untuk makan siang. Mendengar rengekan putrinya membuat Adam sakit telinga. "Mau apa sih dia?" Tanya Adam kesal. "Mau makan ayam goreng." Jawab Farida. "Ikan asin ini kan ada." "Nggak mau katanya. Anakmu itu pemilih banget!" Gerutu Farida. "Harum!" Panggil Adam. Yang namanya dipanggil jadi datang mendekat. Jelas dengan Shanum yang menempel ingin dibelikan ayam goreng. "Ya, mas?" "Layani aku makan." Tanpa memperdulikan Shanum yang merengek. Harum melayani suaminya di meja makan. Menuangkan nasi dan lauk ke dalam piring. "Ibu!" Shanum terus merengek. "Shanum!" Bentak Adam. "Mas..." Harum mendelik tak senang atas bentakan suaminya. Mendengar suara menggelegar ayahnya, Shanum pun terdiam. "Dia cuma mau makan ayam goreng.." ucap Harum sabar. "Cuma??" Adam jadi kesal. "Kalau aja kamu nggak manjain dia, dia pasti nggak akan merengek seperti ini. Makan aja apa yang ada!" "Shanum bosen makan ikan asin terus, yah.." mata Shanum memerah karena menangis. Adam tak perduli dan memulai makan siangnya. "Mas.. aku minta uang aja kalau begitu. 10 ribu aja.. untuk beli ayam goreng di depan." Pinta Harum. Dia jadi tak tega melihat Shanum yang menangis. "Nggak ada! Kamu ini kerjaannya minta uang terus! Ajarin aja anakmu itu!" Ketus Adam yang membuat hati Harum tersayat-sayat.Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.Tapi tetap saja Shanum memprotes."Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.Shanum hanya bisa cemberut."Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya."Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.Tapi, bagaimana caranya? Sedangk
Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya."Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan b
Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak."Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas."Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya."Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok."Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi.Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur."Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan.""Iya, bu
Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel."Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida."Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu.""Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk."Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung."Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam liha
Adam baru saja memantik nikotinnya di teras depan. Lalu datanglah tamu yang tak terduga di siang hari ini. Siapa lagi kalau bukan Zulfa dan anaknya, Gibran."Mbak Zulfa... Gibran!" Sapa Adam. Dia jadi senang kedatangan kakak sulung serta keponakan lucunya.Gibran menghambur dalam pelukan Omnya ini. "Kamu nggak kerja?" Tanya Zulfa heran karena Adam masih memakai seragam pegawai."Istirahat makan siang. Mbak sudah makan? Masuklah dulu." Ajak Adam. Dia lalu mematikan api rokoknya dan menggandeng tangan mungil Gibran yang berusia 2 tahun.Sesampainya di dalam rumah, Farida bukan main senangnya menerima kedatangan anak dan cucunya."Aku nggak mau pulang kesana lagi, bu."Farida dan Adam terkejut akan ucapan Zulfa."Kenapa? Kamu ribut sama suamimu?" Tanya Farida.Zulfa mengangguk. "Setiap hari kami ribut.. aku capek, bu.""Ribut soal apa?" Giliran Adam yang be
"Mas.. kamu udah gajian?" Tanya Harum hati-hati.Adam baru saja selesai sarapan dan akan berangkat bekerja. Pekerjaannya sebagai pegawai kontrak di sebuah kedinasan membuatnya harus selalu masuk pagi.Adam menoleh. "Kenapa?""Mau beli susu Shanum." Hati-hati sekali Harum mengatakannya. Entah kenapa setiap berurusan soal nafkah, Harum merasa suaminya sensitif. Wajahnya jadi berubah bak cermin yang pecah seribu.Adam lalu mengeluarkan uang 20 ribu dan 10 ribu masing-masing satu lembar dari dalam dompetnya, lalu memberikan itu pada istrinya."Uang belanja?" Tanya Harum lagi.Adam menghela. "Sudah kuberikan semua pada ibu. Nggak usah mikirin itu.""Oh.." Harum menggaruk tengkuknya yang tak gatal.Sudah setahun ini, Adam memboyong anak istrinya pindah ke rumah ibunya. Itu sebab Farida, ibu kandung Adam tinggal seorang diri. Sebelumnya ada Zulfa yang menemani ibunya tinggal di rumah kecil ini, tapi semenjak dia m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글