Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (2)
Perjanjian itu akhirnya benar-benar dibuat di kantor notaris, dengan disaksikan kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya. Kutahan omongan miring dan cibiran mereka, yang mengatakan aku gila harta, sementara aku sendiri mandul. Ya, meski tak satupun tahu hasil lab yang kusembunyikan itu, satu tahun pernikahan tanpa tanda-tanda kehamilan, telah membuat keluarga Mas Ivan mengecapku mandul."Nggak masalah kalau Cahaya mandul, aku akan tetap mencintainya," Ujar Mas Ivan waktu itu.Tentu saja tak apa-apa. Perempuan mana yang mau menerima dan mengurus anak hasil hubungan gelapnya dengan perempuan lain? Sementara Mama mertua dan ipar-iparku, justru memandang bayi itu dengan pandangan ngeri."Sembarangan sekali Ivan cari perempuan. Harusnya kalau dia ingin anak dan Aya tak bisa memberi, dia bilang Mama. Lira belum menikah sampai sekarang, dan Mama yakin dia bersedia mengandung benih Ivan."Sungguh, Mama mertuaku menganggap anaknya seumpama hewan, yang boleh-boleh saja menanam benih pada wanita selain istrinya.Maka sejak saat itu, Lucia Fidalia, menjadi putriku satu-satunya. Aku yang awalnya membenci, berubah jatuh hati. Bagaimanapun, bayi ini tak bersalah. Tak ada dosa yang diturunkan orang tua pada anaknya.Setelah lima tahun menjalani hidup tenang tanpa gelombang, aku tak pernah menyangka kalau kapal itu telah lelah bersandar. Dia kembali bertualang, menyinggahi pelabuhan-pelabuhan yang berbeda warna, yang penuh gairah, sehingga membuatnya alpa, bahwa wanita, tak akan pernah lupa moment menyakitkan dalam hidupnya. Maka, ketika pagi itu, Angga sahabatku memberi informasi kalau dia melihat Mas Ivan masuk ke dalam kamar hotel tempatnya meeting bersama seorang wanita, aku mulai mempersiapkan hati. Sepanjang pagi, aku memikirkan cara memergokinya tanpa perlu membuat keributan. Dan Tuhan seakan mendengar doaku saat itu juga."Aya? Bisa minta tolong antarkan tas Mas yang ketinggalan? Mas open room, tanya saja sama resepsionis. Nanti Mas tunggu di pintu ya. Tak usah masuk karena banyak bahan kerja bertebaran. Kamu tak akan suka melihatnya.""Sekarang?""Iya Sayang, sekarang. Dua jam lagi meeting dimulai. Tas itu sudah harus ada sebelum itu.""Oke."Entah apa yang ada di pikiran Mas Ivan, hingga dia memintaku datang ke kamarnya, disaat dia baru saja selesai menuntaskan hasrat terlarangnya itu. Oh, padahal semalam, kami baru saja menuntaskan permainan yang menggebu, apa yang kurang dariku?"Selingkuh itu penyakit, Aya. Suatu saat nanti, dia akan mengulanginya lagi. Kalau kamu tak bisa terima, pulanglah. Rumah Ayah dan Ibu selalu terbuka untukmu," ujar Ayah waktu itu."Aku akan memberinya satu kesempatan, Ayah. Hanya satu kesempatan."Dan kini, dia telah menyalahgunakan kesempatan yang kuberi. Mungkin dia berpikir, lima tahun menjadi istrinya yang pengabdi, penurut, dan tanpa mengeluh mau mengurus Lucia dengan baik, aku telah melupakan peristiwa itu. Dia salah, karena seorang wanita tak akan pernah melupakan setiap moment penting dalam hidupnya, meski itu menyakitkan.***Aku bergerak cepat, meminta pengacara mengurus semua atas namaku, berbekal surat perjanjian yang kami buat lima tahun lalu. Semua kusuruh pengacara yang melakukan, karena aku tengah mempersiapkan hukuman untuk suamiku.Hukuman, yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup.Setelah menempuh tiga jam perjalanan, kami akhirnya tiba di rumah itu. Rumah kecil dengan ayunan dari kayu, yang menghadap langsung ke bibir pantai. Aku menghabiskan banyak uang untuk mewujudkan rumah impianku ini, menyembunyikannya dari Mas Ivan, karena sesungguhnya, hati kecilku tak mau percaya semudah itu dia berubah."Yeaayy, sampai!"Cia berseru riang ketika kakinya menyentuh tanah yang bercampur pasir. Angin sore menerbangkan rambutnya yang ikal kecoklatan, membentuk per dan menggantung di atas bahunya. Tubuh mungil berbalut celana pendek sebatas dengkul dan kaus merah muda itu, melompat-lompat, sebelum akhirnya mendarat di atas ayunan.Aku tersenyum. Dulu, dia adalah makhluk kecil yang paling kubenci. Nyaris setiap malam kuhabiskan dalam tangis mengingat betapa teganya Mas Ivan mengkhianatiku hingga anak itu hadir dan menjadi pengganggu. Tapi semakin hari, semakin aku jatuh hati pada wajah cantiknya, pada manis budinya, dan pada suaranya yang lembut dan kerap memanggil Mama dengan nada manja. Sesuatu, yang mungkin tak akan bisa kudapatkan selain dari dirinya. Maka, kuputuskan melupakan dari mana dia berasal. Kutanamkan dalam diri, bahwa Lucia adalah putriku. Anakku, yang lahir dari rahim bernama cinta dan kasih sayang.Maka, jangan coba-coba mengajariku bagaimana caranya bersabar. Aku telah melewati lima tahun yang berat, melawan keinginan membekap mulut mungil itu dengan bantal, melawan hasrat memasukkan ra-cun ke dalam makanan suamiku. Sampai akhirnya berdamai dengan keadaan, menerima kenyataan bahwa inilah yang telah ditakdirkan Tuhan untukku."Non Aya, kamar sudah saya rapikam. Makanan yang Non pesan juga sudah siap."Mbak Atik, pengurus rumah yang selama ini merawat rumah ini, menghampiri kami. Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia salah satu orang yang sangat mengenalku, tahu sedalam apa lukaku dulu, dan bagaimanan kerasnya usahaku berdamai dengan takdir.Kami sama-sama menatap pemandangan indah itu. Seorang bidadari kecil yang cantik, bermain ayunan, sementara angin laut yang lembab dan beraroma garam, meniup rambutnya.Mas, kamu akan menyesal karena sudah mengkhianatiku untuk kedua kalinya. Mulai hari ini, jangan pernah bermimpi bertemu lagi dengan Lucia!***"Apa-apaan ini, Aya? Rumah, mobil, dan perhiasan, juga tabungan bersama kita, semuanya jadi milikmu?"Suara Mas Ivan yang menjerit di ujung sana, terdengar memekakkan telinga, sampai-sampai, aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku."Bukankah itu sesuai dengan perjanjian kita, Mas?""Tapi bukan ini maksudku…""Jadi maksudmu apa? Berharap aku tak serius dengan perjanjian itu? Lalu dengan mudah melupakan perselingkuhanmu seperti dulu lagi?"Terdengar suaranya menghela napas di seberang telepon."Aya, tolong jangan begini. Ayo kita bicarakan baik-baik."Aku menggelengkan kepala, meski tahu dia tak akan bisa melihatnya."Tidak, Mas. Kamu sudah mendapatkan kesempatan itu satu kali. Aku tidak percaya kamu akan berhenti bertualang."Hening. Dia tak menjawab lagi, membuatku yakin bahwa apa yang kukatakan benar adanya."Kalau begitu, kembalikan Cia. Dia bukan anakmu."Suaranya yang pelan terasa tajam di telinga. Aku meradang. Selama lima tahun dia memohon agar aku menganggap Cia anakku sendiri. Tapi kini, tiba-tiba saja dia mengatakan hal itu : kembalikan Cia, dia bukan anakmu!Sungguh menggelikan, sekaligus mengundang kemarahan."Bukankah kamu bisa membaca dengan baik? Di surat perjanjian kita, semua milikmu akan menjadi milikku, dan itu… termasuk Lucia.""Kamu gila Aya!""Selamat tinggal, Mas!"Klik.Kumatikan ponsel, menarik slot penyimpanan kartu sim dan mengeluarkannya dari sana. Kutatap benda itu sebelum membuangnya ke laut lepas.Selamat tinggal masa lalu.***Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t
Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny