Share

Bab 3

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-09 10:26:50

Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (3)

—--

"Rumah sudah ada pembeli, tapi Ivan tidak mau keluar, Ay. Bahkan kini, dia mengajak Ibu dan calon istri barunya tinggal disana."

Aku nyaris tertawa. Satu bulan sudah berlalu sejak hari aku meninggalkan rumah itu. Trisha sahabatku yang lain selain Angga, yang juga seorang pengacara memberi laporan. Aku memang menyerahkan semua pada Trisha. Salah satunya karena, aku tak ingin bertemu lagi dengan dia. Dan dia, juga tak boleh lagi bertemu dengan Lucia.

"Kalau begitu, rubuhkan saja!"

Trisha terbelalak.

"Aya', kamu serius? Rumah itu kalian bangun bersama. Aku yang jadi saksi bagaimana kamu bekerja keras mencari uang membantu Ivan, juga berhemat demi bisa membangun rumah itu."

"Dan karena itu, aku tidak rela Mas Ivan mendiaminya bersama calon istri barunya."

"Kalau dirubuhkan, kerugianmu cukup besar, sekitar delapan ratus juta."

"Mungkin aku perlu tiga tahun untuk mengumpulkannya lagi. Tapi tak apa. Aku ingin tahu, apa calon istrinya masih mau jika tahu bahkan untuk tinggal pun mereka harus mencari tempat."

Trisha menatapku serius.

"Astaga. Memang betul, jangan coba-coba menyakiti hati wanita. Balas dendamnya mengerikan."

Aku tertawa, lalu merangkulnya.

"Tapi, nggak semua lelaki seperti Mas Ivan, Tris. Kuharap kamu merubah keputusanmu untuk tidak menikah seumur hidup."

Trisha menggelengkan kepala.

"Entahlah. Membaca berita-berita perselingkuhan membuatku ngeri. Setiap hari ada saja artis yang bercerai. Kamu tahu yang viral itu kan? Secantik itu saja masih diselingkuhi, padahal lakiknya buluk."

Tawaku makin kencang. Trisha memang seperti itu, kadang bicaranya asal ceplos. Tapi aku berani bertaruh, hatinya baik sekali.

"Aku senang kamu masih bisa tertawa."

Trisha meneguk minumannya, memandang keluar rumah. Beberapa ratus meter di depan kami, dihalangi jalan beraspal selebar dua meter, bibir pantai tampak jelas. Pantai itu baru akan dibuka untuk umum bulan depan. Tapi, warung-warung dan gazebo dari bambu sudah bermunculan bak jamur di musim hujan. Di halaman rumah yang berpasir, gadis kecilku asyik bermain bersama Mbak Atik. Pagi masih muda.

"Dia, yang menjagaku untuk tetap waras."

Kami sama-sama menatap Lucia. Gadis kecil itu sedang tertawa-tawa, entah bercerita apa dengan pengasuh kesayangannya. Aku membutuhkan Mbak Atik untuk menjaga Cia, karena nyaris setengah dari waktuku kuhabiskan di depan laptop. Aku mencari uang dengan cara menulis novel untuk aplikasi online. Tak ada yang tahu bahwa penulis bernama pena Cahya Bintang adalah aku. Bahkan Mas Ivan sekalipun. Dia pikir, aku hanya seorang pedagang online, hingga dia menganggapku remeh. Menganggapku tak bisa hidup tanpa dirinya. Padahal, uang puluhan juta mengalir ke rekeningku setiap bulan. Mas Ivan memang tahu orang tuaku cukup kaya, tapi, dia juga tahu bahwa Ayah dan Ibu bukan tipe orang tua yang memanjakan anaknya. Meski semua milik mereka akhirnya akan menjadi milikku, tetap saja, aku harus punya sesuatu yang bisa kuandalkan untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Hidup tak pernah ada yang tahu.

"Kapan sidang pembacaan talak? Aku sudah nggak sabar menyandang status baru yang seksi itu."

Trisha tertawa, lalu tiba-tiba diam dan menatapku serius.

"Ay', kamu bener-bener udah sembuh?"

"Aku nggak sakit."

"Fisikmu nggak. Tapi disini," Dia menunjuk dadaku. "Aku yakin lukamu masih basah."

Aku menghela napas panjang, tiba-tiba merasa sakit. Ya. Siapa bilang aku tak sakit? Rasanya sungguh luar biasa. Tapi, tak ada yang bisa aku lakukan selain menyembuhkan sendiri luka itu, kan?

"Karenanya, menyandang status baru sangat penting buatku. Aku bisa kembali ke dunia luar, dan bertemu dia dan keluarganya dengan kepala tegak."

Trisha berdiri, "Jadi, kamu yakin tentang merubuhkan rumah itu?"

"Emm… setelah kupikir-pikir, bagaimana kalau kamu tawarkan uang sepuluh juta supaya dia mau angkat kaki? Itung-itung, aku membantunya ngontrak rumah."

"Kalau dia menolak?"

"Rubuhkan. Dia tak mungkin mau tidur di atas tanah."

Trisha menghela napas.

"Baikah. Sidang pembacaan ikrat talakmu dua minggu lagi. Mungkin kamu mau datang."

"Akan kupikirkan."

Trisha kemudian pergi setelah menyapa Lucia dan Mbak Atik di halaman rumah. Ketika mobilnya sudah berlalu, aku melambaikan tangan, memanggil mereka berdua. Matahari mulai tinggi. Disini, aku harus benar-benar menjaga kulit dan kondisi tubuh Lucia karena udara panas dan lembab.

"Mama, jadi, kita benar-benar nggak akan pulang ke rumah Papa?" tanya Cia setelah selesai mencuci tangan dan duduk di depan meja menghadapi snack paginya.

Aku tertegun sejenak. Sejak pergi waktu itu, baru kali ini putriku bertanya tentang Papanya. Kemarin-kemarin, dia terlalu asyik bermain dan mengexplore lingkungan hingga melupakan sang Papa. Atau mungkin, perhatian Mas Ivan yang berkurang selama ini, yang membuatnya lupa bahwa kami hanya berdua.

"Nggak, Sayang. Cia… apa Mama bisa bicara?"

Kuputuskan untuk bicara jujur. Rasanya, aku tak akan tahan jika besok-besok, dia menanyakan Mas Ivan lagi. Dari sudut mata, dapat kurasakan Mbak Atik menatapku cemas.

"Bicara apa?"

Aku terdiam sejenak, memilah kata agar dapat dimengerti oleh anak seusianya, sekaligus, meminamilisir luka yang mungkin dia rasakan.

Tapi, adalah perceraian yang tak menimbulkan luka?

"Cia, Mama dan Papa, akan berpisah. Jadi, Cia akan tinggal hanya sama Mama."

Mata bulatnya melebar sejenak, pertanda bahwa dia terkejut. Mungkin dia pikir, kemarin kami hanya liburan.

"Papa akan tinggal sama siapa?"

Aku menggigit bibir keras-keras sebelum bicara.

"Papa… akan tinggal bersama Oma, dan mungkin, istri barunya."

Dia terkejut sempurna kini.

"Istri baru? Jadi, Cia mau punya Ibu lagi?"

Aku buru-buru menggeleng.

"Nggak, sayang. Makanya kita pindah kesini, karena Mama nggak mau Cia punya Ibu baru. Ibu Cia hanya Mama. Benar kan? Cia sayang Mama kan?"

Oh, mungkin tak bijak bicara seperti itu pada anak lima tahun. Aku telah mulai mendoktrinnya agar membenci Ayahnya. Aku akui, aku memang jahat. Tapi, siapa yang lebih jahat disini? Dia yang mengkhianati kami, atau aku, yang membawa lari putrinya?

Cia langsung menelusup masuk dalam pelukanku.

"Cia sayang Mama, sayaaang banget, nomor satu!" serunya dengan kepolosan seorang anak.

Sayang Mama nomor satu. Itu kata-kata yang selalu dia ucapkan. Mama nomor satu, dan Papa nomor empat, tanpa pernah dia sebutkan siapa yang nomor dua dan tiga.

Aku menatapnya dengan mata mengembun. Dia adalah hidup dan matiku. Tak akan kubiarkan siapapun merenggutnya dariku. Bahkan tidak Ayahnya!

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 55 (ENDING)

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (55) Ayara mengeluarkan alat tes kehamilan itu sambil memejamkan mata. Bagaimanapun dia mencoba pasrah, tetap saja hatinya berdebar setiap kali mencoba. Haidnya sudah telat tiga hari, dan seharusnya, sudah terlihat garis dua yang amat dia rindukan itu.Perlahan, dia membuka mata, menghela napas panjang dan memasukkan benda itu lagi ke dalam kotak, bergabung bersama sembilan benda yang sama.Sepuluh bulan sudah dia menjadi istri Banyu, dan dimiliki kali dia mencoba, tapi rupanya Tuhan belum berkenan menitipkan satu saja anugerah yang diinginkan setiap wanita itu padanya.Ayara menyimpan kotak berisi sepuluh tespect itu ke dalam hodie bag, bermaksud membuangnya saja. Dia sudah berjanji dalam hati, bahwa inilah yang terakhir kalinya dia memakai alat itu. Kecuali memang dia telat haid sebulan lamanya, baru dia akan mencoba lagi. Dia sudah lelah berharap dan kemudian kecewa.Membuka pintu kamar mandi, Ayara terkejut karena dua buah tangan menariknya ke dalam p

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 54

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (54)"Ayara, bagaimana kalau kau melihat kematian penuh darah dari ART yang kau sayangi ini?"Mbok Iroh dan Mbak Sumi langsung menjerit-jerit histeris. Tapi meski begitu, mereka berdua tak mau meninggalkanku sendirian. Kupaksa keduanya agar mundur, menjauh dariku. Bagaimanapun, keselamatan mereka bertiga adalah tanggung jawabku."Mama?"Mama tertawa panjang. Sebuah tawa yang mendirikan bulu kuduk. Dapat kulihat dengan jelas bahwa Mama sadar, tidak lagi seperti orang gila saat terakhir kali aku menjenguknya di rumah sakit. Hebat, Mama berhasil mengelabui semua orang. Aktingnya sebagai orang yang sakit mentalnya sungguh meyakinkan. Tapi, aku tak boleh kalah olehnya. Kulihat Mbak Atik sudah pucat pasi. Tubuhnya terus mundur karena didesak oleh langkah kaki Mama hingga tiba di tembok pembatas ruang tengah dan ruang tamu."Apa kabar, Mama? Maaf, Aya belum menjenguk Mama lagi. Aya sedang sibuk.""Ah, ba-cot! Aku kesini bukan untuk berbasa basi denganmu, Aya. Men

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 53

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (53)"Diska meninggal dunia. Kami ingin memakamkannya hari ini juga.""Oh, silakan. Maaf, saya tak lagi mengenal keluarga mereka. Anggaplah kami ini bukan siapa-siapa mereka lagi, Aya."Aku menutup telepon dengan hati sedih. Ini adalah telepon pada orang ketiga dari kerabat Mama. Ternyata, tak satupun dari mereka bersedia melihat jenazah Diska, apalagi membantu menyelenggarakan pemakamannya. Diska dan keluarganya, telah terbuang oleh keluarga besar mereka."Kalau begitu, kita saja yang melakukannya. Minta bantuan pihak rumah sakit," ujar Ibu. Ayah dan Ibu ikut datang ke rumah sakit untuk melihat gadis itu terakhir kalinya. Diska, yang aku sangat yakin bahwa dia pergi dalam keadaan bertaubat. Pukul tujuh pagi, setelah menginap semalam di kamar mayat, jenazah Diska akhirnya diberangkatkan ke pemakaman setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan di rumah sakit. Pemakaman terdekat, dimana disana, juga di makamkan jenazah kakaknya. Air mataku menetes, melihat

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 52

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (52)Ruanganku langsung ramai. Orang-orang berdesakan ingin masuk, sementara perawat yang tadi masuk ke kamar mandi dan menemukan mayat Suster Dea, terkulai pingsan. Dengungan orang berguman, teriakan histeris, suara orang menelepon polisi … semuanya campur baur di benakku. Kepalaku terasa benar-benar meledak kini, hancur dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di atas lantai.Lalu, suara hening yang aneh itu muncul. Keheningan yang kemudian dipecahkan oleh suara langkah kaki bersepatu tergopoh-gopoh menghampiriku."Apakah mungkin dia yang melakukannya?""Mana mungkin? Untuk sekedar pergi ke kamar mandi saja, dia harus dibantu.""Tapi tak ada orang masuk kesini selain Suster Dea.""Apa sudah periksa CCTV di lorong?""Sudah, tak ada yang masuk sebelum Suster Dea."Dalam keadaan yang entah, antara sadar dan tidak, otakku sempat berpikir, bagaimana cara Mama menghindari CCTV? Lalu aku teringat, Mama bahkan sanggup mengelabui semua orang saat dia m

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 51

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (51)PoV DISKA"Mama … "Sosok yang berdiri di depanku adalah seseorang yang memang layak disebut orang gila. Dengan pakaian compang-camping dan berwarna kecoklatan, juga badan yang menebarkan aroma orang yang tak mandi berminggu-minggu lamanya. Wajahnya coreng moreng oleh kotoran entah apa. Rambutnya awut-awutan, kusut masai melingkar-lingkar di sekeliling wajah. Tapi, meski begitu, bagaimana mungkin aku tak mengenali dirinya."Mama … " Mama meletakkan jari telunjuknya di bibir, melangkah ke pintu dan mengintip keluar dari kendela kaca."Jangan keras-keras, Diska. Tak ada yang boleh tahu Mama ada disini."Aku terpana sejenak. Yang kutahu selama ini, Mama depresi karena kematian Papa dan Mas Ivan yang terjadi secara beruntun. Dua kematian yang tak wajar dan mengerikan. Ph tahukah Mama, bahwa Mas Ivan lah yang membunuh Papa di mobil waktu itu? Dan kenapa suara dan tingkah laku Mama nampak seperti orang normal? Apakah Mama hanya pura-pura gila?"Apa yang t

  • JANGAN AJARI AKU KATA SABAR!   Bab 50

    Jangan Ajari Aku Kata Sabar! (50)"Mama!"Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang, tapi jelas aku tak salah melihat. Meski wajah tirus itu tampak jauh mengerikan, tapi aku telah mengenalnya selama enam tahun. Lagipula, jalan yang kami lalui memang tak jauh lagi dari rumah sakit jiwa.Aku membuka safety belt dan keluar dari mobil. Di luar, orang-orang sudah ramai berkumpul. Sebagian mereka sibuk menanyakan apakah aku tak apa-apa. Aku mengangguk, rasanya aku baik-baik saja meski dahiku berdarah. Kuedarkan pandangan berkeliling, mencari keberadaan sosok Mama tadi. Tapi nihil."Pak, apa Bapak lihat tadi ada ibu-ibu di depan mobil saya? Yang menyebrang tiba-tiba?""Oh, pasti orang gila kabur lagi itu. Emang sering kejadian kayak gini, Mbak. Bikin celaka aja. Tapi saya nggak lihat, Mbak.""Mbak, ayo ke rumah saya, diobati dulu."…"Aya!"Aku menoleh. Di antara kerumunan orang-orang yang melihatku dan kondisi mobil sedan merah yang sebelah rodanya terperosok ke dalam parit itu, Banyu meny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status