Mpu Pugat Liwung murka ketika mendengar lontar milik leluhurnya tergadai oleh brahmana yang dipercaya menyimpannya. Bertahun-tahun keluarga Rakai Walaing menjaganya sebagai warisan rahasia yang kelak akan diberikan pada penguasa Medang yang sah dari keturunan Sanjaya, Rakai Panaraban. "Ranuhmaya bagaimana kita bisa kebobolan? Kau tahu betapa berharganya lontar itu bagi kebesaran Medang dan wangsa kita? Sekarang kita harus diam dan menahan diri diperintah oleh Rakai Garung, keturunan tidak sah wangsa Sanjaya. Sekarang dengan segala tipu daya, mereka mengambil milik kita yang paling berharga yaitu Lontar Anarghya." Kata Pugat Liwung. "Maafkan keteledoran saya, ayahanda. Karena tidak setiap kali saya memeriksa keadaan lontar itu. Saya pikir semuanya beres dan tertata seperti lontar-lontar lainnya." Jawab Ranuhmaya dengan wajah tegang dan sedih. "Kakek, apa isi lontar Anarghya itu? Mengapa semua orang begitu panik?" Tanya Mpu Kumbhayoni yang sedikit tidak terima ketika kakeknya memarah
Kerajaan Pengging memiliki Raja muda yang tampan dan adik perempuan yang sangat cantik. Raja Pengging bernama Basundra Naranata, seorang Raja yang adil dan sangat bijaksana. Sedikit berbeda dengan Raja Medang yang pemarah dan ambisius. Perang yang kadang terjadi diantara kedua negara ini dipicu banyak hal, dari masalah batas wilayah, agama dan yang terakhir adalah pernikahan. Rakai Garung merasa marah ketika akhirnya Basundra lebih memilih menikahkan adik cantiknya yang bernama Meitala Padmi dengan Rakai Panaraban dengan alasan seagama, daripada menerima keinginannya untuk menikahkan adik Raja Pengging itu dengan Pangeran Balaputeradewa. Basundra sendiri mencium keserakahan Rakai Garung atas tanah perbatasan Pengging yang akan dijadikannya sebagai perluasan ibu kota baru yang tengah digagasnya. Oleh karena itu perang-perang kecil sering terjadi di wilayah mereka. "Bagaimana hasilnya Cayapata? Adakah berita yang kau dengar dari Kanjuruhan mengenai Mustika itu?"Tanya Basundra. "Belu
Amasu memandangi batu Mustika dihadapannya. Sebuah batu yang bahkan tidak memiliki warna yang indah atau pendar tertentu. Berbeda dengan Jentera milik Jentra yang memang berfungsi dan memiliki energitas yang membantu pemiliknya memiliki kesaktian atau daya linuwih. "Jadi sebenarnya kau ini apa? Dan mengapa kau masuk tubuhku?" Tanya Amasu saat sendirian. Jentra kadang merasa kasihan kepada Amasu mengenai anugerah berbeda yang mereka terima di perut Sadara. Jentra bahkan sering merasa seharusnya Amasu-lah yang lebih berhak atas Jenteranya, namun takdir memang menentukan dengan caranya sendiri. "Amasu." Panggil Wiku Sasodara "Iya, Guru." Jawabnya kurang bersemangat "Masih bertanya mengenai batu gunung yang kau temukan? Amasu....Amasu, bertahun-tahun kau belajar di bawah bimbinganku, masihkah kau melekat pada benda-benda seperti itu? Kita bahkan dilarang melekat dengan tubuh, energi spiritual atau yang sering disebut kesaktian oleh orang-orang dan juga kepandaian kita. Mengapa kau
Jentra membuka gulungan lontar keramat yang katanya berasal dari tanah Walaing. Ia begitu gelisah karena memegang sebuah benda, yang saat ini begitu dibutuhkan orang. Peta yang menuju Mustika di puncak Udarati. Namun ketika gulungan itu dibuka, tidak ada satupun tulisan atau tanda yang menunjukan sebuah wilayah atau hal-hal yang berkaitan dengan petunjuk menuju Mustika itu selain garis panjang dan pendek seperti rumput."Peta seperti ini, bagaimana membacanya? Seorang jendral hebat seperti Nagarjuna saja, belum tentu bisa mencapai puncak Udarati jika petanya seperti ini. Garis panjang pendek.....apa maksudnya?"Kata Jentra sambil menjatuhkan dirinya di tempat tidur."Kau bicara dengan siapa, Kakang Jentra?"Tanya Rukma dari luar sambil membuka pintu.Jentra sedikit terkejut. Namun karena pintunya dikunci, pintu itu tidak terbuka. Ia segera memasukan gulungan lontar itu ke bawah ranjangnya dan menutupinya dengan sebuah peti. Jentra kemudian membuka pintu."Wow...apa-apaan ini, Rukma? Kau
Jentra membawa Amasu ke kamar pribadinya. Bermacam-macam hadiah yang diberikan Maharaja Rakai Garung sebagai upaya halus membujuk Jentra memihak kepadanya, banyak tergeletak di meja dan lantai. Namun Jentra belum menyentuh satu-pun. "Wah banyak sekali hadiah yang diberikan tuanku Maharaja kepadamu. Sepertinya kau sudah menjadi kesayangannya yang baru." Komentar Amasu "Justru itu yang membuatku terbebani saat ini, Amasu. Aku merasa tidak enak karena bagaimana-pun secara hirarki, Pangeran Balaputeradewa adalah atasanku secara langsung. Semua perintah langsung dari beliau adalah hukum yang tidak bisa kuingkari atau kutolak. Namun Maharaja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, mana berani aku menentangnya juga." Kata Jentra. "Yah. Aku mengerti posisimu saat ini, Jentra. Memang serba sulit jika para penguasa mulai berselisih paham dan cita-cita. Mau di bawa kemana negara ini? Lalu kita yang rakyat jelata harus mengikuti yang mana?" Amasu menjawab sedih. "Mana tuanku Maharaja mengirimkan
Pasukan Sanditaraparan yang sebenarnya beranggotakan pria saja. Namun atas bujukan Pangeran Aswangga dan Ghek Sang, Rakai Garung membentuk devisi wanita, dan tidak di bawah Mahamentri I Halu melainkan di bawah Sri Kahulunan langsung sebagai pengawal permaisuri dan Mahamenteri I Hino atau putri mahkota. Bagi para Sanditaraparan pria, keberadaan para wanita ini lebih menjadi pengganggu tugas mereka daripada membantu apa yang seharusnya dilakukan. Pendapat ini tidak salah karena perekrutan yang tergesa-gesa. Pelatihan yang tidak intensif dan prilaku manja dari para anggotanya yang sebagian terdiri dari dayang istana dan putri-putri pejabat rendahan yang tidak terlatih. Ketahanan mereka-pun buruk apalagi jika berkaitan dengan tugas-tugas di alam liar. Mereka takut serangga, binatang melata dan hal-hal menjijikan lainnya.Dari banyaknya Sanditaraparan yang direkrut hanya enam orang saja yang sebenarnya memiliki kualifikasi untuk dapat benar-benar dilatih menjadi pasukan khusus mata-mata i
Wiku Sasodara dan Amasu tiba di tempat latihan menjelang tengah hari. Namun yang mengagetkan adalah Wiku Sasodara membawa juga Jentra Kenanga, Kawindra, Gananendra dan Rukma. Keempatnya diminta khusus dari Pangeran Balaputeradewa untuk membagikan kemampuannya di dalam seni beladiri yang dimiliki para Sanditaraparan pria. Harapannya agar kemampuan para wanita anggota pasukan khusus ini tidak berbeda terlalu jauh, mengingat memang devisi khusus ini terdiri dari banyak wanita dengan latar belakang yang berbeda dan juga kemampuan menangkap pelajaran yang tidak sama. Wiku Sasodara ingin memberikan beberapa perbandingan meskipun mereka tetap akan menjadi devisi terpisah yang memiliki aturan masing-masing. Para Sanditaraparan wanita ini seolah memang kehilangan fokusnya, bukan hanya karena sebagian dari mereka memang kurang tertarik pada olah kanuragan dan keperajuritan namun juga karena mereka terpesona oleh pemandangan pada para Sanditaraparan pria yang memiliki tubuh bagus dan wajah tam
Usai berlatih, Candrakanti berusaha untuk menghindar dari Jentra, namun ia tidak kuasa untuk pergi begitu saja. Bukan saja karena ia adalah pemimpin pasukan yang harus memberikan contoh disiplin, namun juga karena Amasu dan para anggota Sanditaraparan pria seolah mendorong Jentra untuk dekat dengannya. "Datanglah malam ini di hutan Ganggeya." Kata Jentra sambil memegang lembut siku Candrakanti dan berbisik di telinganya. "Untuk apa?" Tanya Candrakanti dingin. "Kau adalah pemimpin pasukan. Kemampuanmu masih di bawah rata-rata dari pasukan sandi yang seharusnya. Untuk melindungi dirimu saja kau akan kesulitan. Apalagi melindungi Yang Mulia Sri Kahulunan dan Mahamentri I Hino. Dengar! Ini bukan hanya masalah bahaya yang mengancam junjungan kita. Tetapi ada permainan politik yang tidak kau mengerti, dimana ada kemungkinan para Sanditaraparan akan saling berhadapan melawan anggota mereka sendiri."Bisik Jentra. "Mengapa kau memberitahuku?"Tanya Candrakanti lagi "Karena aku tidak ingin