Share

WIKU SASODARA

Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.

Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. 

 Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum. Jadi siapapun yang ingin beribadah dapat melakukannya di tempat ini.

Uposathagara memiliki fungsi hampir sama dengan dhammasala tetapi sifatnya semi privat, hal ini disebabkan karena fungsi dari gedung uposathagara hanya sebagai tempat pentasbisan bhikku dan upacara keagamaan para Bhikku, jadi tidak untuk para umat. 

Kuthi merupakan tempat tinggal para bhikku, kuthi ini bersifat privat maka dari itu jarak kuthi satu dengan yang lain berjauhan. Dalam 1 kuthi tinggal 1 orang bhikku, hal ini disebabkan agar menghindari percakapan sehingga mereka lebih menghayati Dhamma dan latihan meditasi sendiri.

Bangunan vihara yang cukup lengkap ini didukung penuh oleh pendanaan dari istana terutama dari wangsa Syailendra yang menganut agama Budha. Rakai Garung sendiri yang sebenarnya berwangsa Sanjaya lebih memilih memeluk agama Budha seperti istrinya daripada mengikuti agama leluhurnya yang beraliran Siwa.

Hal ini juga yang akhirnya memicu terjadinya perpecahan politik diantara dua wangsa besar ini. Sebagian keturunan Sanjaya yang lain, yang merasa berhak mengklaim takhta menganggap Rakai Garung tidak hanya merebut kekuasaan, namun juga mengkhianati keyakinan leluhurnya Sang Maharaja Sanjaya. Hanya saja di kalangan rakyat biasa, perbedaan keyakinan ini bukanlah masalah besar. 

Wiku Sasodara adalah pimpinan tertinggi vihara ini dan saat sedang duduk di Uposathagara untuk memimpin beberapa upacara, dikejutkan oleh seorang Samanera.

"Maaf guru. Ada beberapa perajurit dari pos penjagaan desa ingin bertemu." Katanya setengah berbisik.

Wiku Sasodara mengangguk dan meminta Samanera itu pergi untuk mempersilahkan tamunya menunggu. Wiku Sasodara kemudian menyerahkan penyelenggaraan upacara kepada wakilnya dan bergegas menemui tamunya.

"Maaf membuat anda menunggu." Sambutnya dengan salam yang lembut.

"Ah, tidak apa-apa, Guru. Kamilah yang seharusnya meminta maaf karena mengganggu kegiatan di vihara ini." Kata salah seorang perajurit yang datang.

"Jadi ada masalah apa sehingga anda berdua datang ke vihara? Adakah sesuatu yang mengganggu?"Tanya Wiku Sasodara dengan halus meskipun ada perasaan tidak nyaman yang terlihat di raut wajahnya.

"Ya, Guru. Kami menemukan medali ini. Katanya ini milik anda, benarkah?"Tanya perajurit yang kedua sambil menyerahkan medali tersebut. Wiku Sasodara menerima medali tersebut dan mengamatinya dengan seksama.

"Benar. Ini milik saya. Tetapi bagaimana medali ini ada pada anda berdua?" Tanya Wiku Sasodara. 

"Seorang remaja mengacau sebuah kedai. Ia berkelahi dengan beberapa anggota Kadewaguruan atau Karesian. Anak muda ini bahkan membuat salah satu dari siswa Kadewaguruan terssebut terluka berat." Jawab perajurit yang pertama.

"Untuk menghindari kerusuhan lebih lanjut kami ingin meringkusnya. Namun ia bersenjata pedang sakti sehingga kami tidak bisa melawannya. Ia berkata bahwa ia mengenal anda dan jika ingin menangkapnya kami harus minta ijin dulu kepada anda. Kemudian melemparkan medali itu. Saat ini hampir semua orang di pos jaga kami mengepungnya agar tidak lari, tapi tak ada yang bisa menangkapnya."Lanjut Perajurit Kedua.

Wiku Sasodara tersenyum kecil. Di dalam hati ia memuji kecerdasan anak yang ditemuinya belum lama ini.

"Baiklah." Jawab Sasodara ringan. Kemudian ia memandang tajam kepada kedua perajurit tersebut.

"Saya akan bantu kalian meringkusnya dengan satu syarat." Lanjut Wiku Sasodara

"Apa syaratnya, Guru? Tolong kami. Jika kami harus menjaga anak ini, kami akan terlalu lama meninggalkan tugas kami." Kata Perajurit itu menghiba.

" Saya boleh membawa anak itu ke vihara kami. Artinya saya meringkusnya bukan untuk dipenjarakan atau ditahan di pos jaga kalian. Bagaimana?" Wiku Sasodara memberikan penawaran.

Kedua perajurit itu saling berpandangan. Mereka berpikir jika menahan anak itu dipos, tentu juga akan menyusahkan mereka.

"Baik, Guru. Kami setuju!" Jawab mereka bersamaan.

Wiku Sasodara-pun kemudian pergi bersama tiga orang itu menuju Kedai. Dan benar saja, ada sepuluh perajurit mengacungkan tombak pada Jentra yang tetap tegar mengacungkan pedangnya. Tidak ada satupun yang berani bergerak maju untuk memulai perkelahian.

"Nak, ayo ikut bersamaku saja. Serahkan pedangnya padaku. Mereka tidak akan menyakitimu." Kata Sasodara yang telah merangsek ke depan melewati para perajurit itu.

"Tidak mau. Kenapa Wiku bersekutu dengan mereka? Jika aku menyerah pada Wiku, pasti Wiku akan menyerahkanku pada mereka. Aku tidak mau." Jawab Jentra sambil mengayunkan pedangnya dan menyabetkannya pada Sasodara.

Sasodara mengelak, namun dengan cepat kilau pedang itu kembali mengincar leher sang Wiku. Untuk seorang anak desa yang tidak terlatih menggunakan senjata, usaha Jentra adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Wiku Sasodara segera melompat ke belakang hingga pedang itu tidak mengenainya. Ia justru kemudian membalikan badan dengan cepat serta gerakan yang cukup sigap menelikung lengan Jentra. 

Pedang Jentra terlepas, namun Jentra tak berputus asa. Ia menendangkan kakinya ke arah dada Sang Wiku yang segera ditepis dengan lengannya. Sang Wiku kemudian membantingnya keras di tanah hingga Jentra tidak sadarkan diri. Semua perajurit itu terbengong-bengong melihat Sasodara hanya dengan beberapa gerakan saja telah berhasil melumpuhkan anak tersebut.

"Saya rasa, dia tidak akan melawan lagi. Saya minta ada dua orang yang bisa membantu saya membawa anak ini ke vihara saya." Kata Sasodara.

"Tapi, Guru??" Perajurit-perajurit itu masih merasa takut jika nanti pada saat digotong, Jentra sadarkan diri dan menyerang mereka lagi. Wiku Sasodara tersenyum

"Aku yang menjamin. Ia takan siuman sampai nanti di vihara." Katanya sambil melangkah pergi. 

Perajurit-perajurit itu terpaksa melakukan perintah Sang Wiku,  daripada  nanti  saat Jentra sadar dan wiku Sasodara tidak ada, ia mengamuk lagi. Mereka semua pasti kewalahan menghadapinya.

"Guru. Tunggu!" Teriak mereka.

Sasodara tersenyum sambil memegang pedang milik Jentra. Ia mengernyitkan dahinya saat membuka sarung pedang itu.

"Hhhmmm.....ini pedang sakti yang hilang dari penyimpanan pusaka sitaan. Tawurupas. Bagaimana anak ini bisa mendapatkannya? Apakah dia putra seorang pencuri atau dia menemukan tempat pencurinya menyimpan barang curian?" Tanya Sasodara di dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status