Share

WIKU SASODARA

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-18 15:28:47

Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.

Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. 

 Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum. Jadi siapapun yang ingin beribadah dapat melakukannya di tempat ini.

Uposathagara memiliki fungsi hampir sama dengan dhammasala tetapi sifatnya semi privat, hal ini disebabkan karena fungsi dari gedung uposathagara hanya sebagai tempat pentasbisan bhikku dan upacara keagamaan para Bhikku, jadi tidak untuk para umat. 

Kuthi merupakan tempat tinggal para bhikku, kuthi ini bersifat privat maka dari itu jarak kuthi satu dengan yang lain berjauhan. Dalam 1 kuthi tinggal 1 orang bhikku, hal ini disebabkan agar menghindari percakapan sehingga mereka lebih menghayati Dhamma dan latihan meditasi sendiri.

Bangunan vihara yang cukup lengkap ini didukung penuh oleh pendanaan dari istana terutama dari wangsa Syailendra yang menganut agama Budha. Rakai Garung sendiri yang sebenarnya berwangsa Sanjaya lebih memilih memeluk agama Budha seperti istrinya daripada mengikuti agama leluhurnya yang beraliran Siwa.

Hal ini juga yang akhirnya memicu terjadinya perpecahan politik diantara dua wangsa besar ini. Sebagian keturunan Sanjaya yang lain, yang merasa berhak mengklaim takhta menganggap Rakai Garung tidak hanya merebut kekuasaan, namun juga mengkhianati keyakinan leluhurnya Sang Maharaja Sanjaya. Hanya saja di kalangan rakyat biasa, perbedaan keyakinan ini bukanlah masalah besar. 

Wiku Sasodara adalah pimpinan tertinggi vihara ini dan saat sedang duduk di Uposathagara untuk memimpin beberapa upacara, dikejutkan oleh seorang Samanera.

"Maaf guru. Ada beberapa perajurit dari pos penjagaan desa ingin bertemu." Katanya setengah berbisik.

Wiku Sasodara mengangguk dan meminta Samanera itu pergi untuk mempersilahkan tamunya menunggu. Wiku Sasodara kemudian menyerahkan penyelenggaraan upacara kepada wakilnya dan bergegas menemui tamunya.

"Maaf membuat anda menunggu." Sambutnya dengan salam yang lembut.

"Ah, tidak apa-apa, Guru. Kamilah yang seharusnya meminta maaf karena mengganggu kegiatan di vihara ini." Kata salah seorang perajurit yang datang.

"Jadi ada masalah apa sehingga anda berdua datang ke vihara? Adakah sesuatu yang mengganggu?"Tanya Wiku Sasodara dengan halus meskipun ada perasaan tidak nyaman yang terlihat di raut wajahnya.

"Ya, Guru. Kami menemukan medali ini. Katanya ini milik anda, benarkah?"Tanya perajurit yang kedua sambil menyerahkan medali tersebut. Wiku Sasodara menerima medali tersebut dan mengamatinya dengan seksama.

"Benar. Ini milik saya. Tetapi bagaimana medali ini ada pada anda berdua?" Tanya Wiku Sasodara. 

"Seorang remaja mengacau sebuah kedai. Ia berkelahi dengan beberapa anggota Kadewaguruan atau Karesian. Anak muda ini bahkan membuat salah satu dari siswa Kadewaguruan terssebut terluka berat." Jawab perajurit yang pertama.

"Untuk menghindari kerusuhan lebih lanjut kami ingin meringkusnya. Namun ia bersenjata pedang sakti sehingga kami tidak bisa melawannya. Ia berkata bahwa ia mengenal anda dan jika ingin menangkapnya kami harus minta ijin dulu kepada anda. Kemudian melemparkan medali itu. Saat ini hampir semua orang di pos jaga kami mengepungnya agar tidak lari, tapi tak ada yang bisa menangkapnya."Lanjut Perajurit Kedua.

Wiku Sasodara tersenyum kecil. Di dalam hati ia memuji kecerdasan anak yang ditemuinya belum lama ini.

"Baiklah." Jawab Sasodara ringan. Kemudian ia memandang tajam kepada kedua perajurit tersebut.

"Saya akan bantu kalian meringkusnya dengan satu syarat." Lanjut Wiku Sasodara

"Apa syaratnya, Guru? Tolong kami. Jika kami harus menjaga anak ini, kami akan terlalu lama meninggalkan tugas kami." Kata Perajurit itu menghiba.

" Saya boleh membawa anak itu ke vihara kami. Artinya saya meringkusnya bukan untuk dipenjarakan atau ditahan di pos jaga kalian. Bagaimana?" Wiku Sasodara memberikan penawaran.

Kedua perajurit itu saling berpandangan. Mereka berpikir jika menahan anak itu dipos, tentu juga akan menyusahkan mereka.

"Baik, Guru. Kami setuju!" Jawab mereka bersamaan.

Wiku Sasodara-pun kemudian pergi bersama tiga orang itu menuju Kedai. Dan benar saja, ada sepuluh perajurit mengacungkan tombak pada Jentra yang tetap tegar mengacungkan pedangnya. Tidak ada satupun yang berani bergerak maju untuk memulai perkelahian.

"Nak, ayo ikut bersamaku saja. Serahkan pedangnya padaku. Mereka tidak akan menyakitimu." Kata Sasodara yang telah merangsek ke depan melewati para perajurit itu.

"Tidak mau. Kenapa Wiku bersekutu dengan mereka? Jika aku menyerah pada Wiku, pasti Wiku akan menyerahkanku pada mereka. Aku tidak mau." Jawab Jentra sambil mengayunkan pedangnya dan menyabetkannya pada Sasodara.

Sasodara mengelak, namun dengan cepat kilau pedang itu kembali mengincar leher sang Wiku. Untuk seorang anak desa yang tidak terlatih menggunakan senjata, usaha Jentra adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Wiku Sasodara segera melompat ke belakang hingga pedang itu tidak mengenainya. Ia justru kemudian membalikan badan dengan cepat serta gerakan yang cukup sigap menelikung lengan Jentra. 

Pedang Jentra terlepas, namun Jentra tak berputus asa. Ia menendangkan kakinya ke arah dada Sang Wiku yang segera ditepis dengan lengannya. Sang Wiku kemudian membantingnya keras di tanah hingga Jentra tidak sadarkan diri. Semua perajurit itu terbengong-bengong melihat Sasodara hanya dengan beberapa gerakan saja telah berhasil melumpuhkan anak tersebut.

"Saya rasa, dia tidak akan melawan lagi. Saya minta ada dua orang yang bisa membantu saya membawa anak ini ke vihara saya." Kata Sasodara.

"Tapi, Guru??" Perajurit-perajurit itu masih merasa takut jika nanti pada saat digotong, Jentra sadarkan diri dan menyerang mereka lagi. Wiku Sasodara tersenyum

"Aku yang menjamin. Ia takan siuman sampai nanti di vihara." Katanya sambil melangkah pergi. 

Perajurit-perajurit itu terpaksa melakukan perintah Sang Wiku,  daripada  nanti  saat Jentra sadar dan wiku Sasodara tidak ada, ia mengamuk lagi. Mereka semua pasti kewalahan menghadapinya.

"Guru. Tunggu!" Teriak mereka.

Sasodara tersenyum sambil memegang pedang milik Jentra. Ia mengernyitkan dahinya saat membuka sarung pedang itu.

"Hhhmmm.....ini pedang sakti yang hilang dari penyimpanan pusaka sitaan. Tawurupas. Bagaimana anak ini bisa mendapatkannya? Apakah dia putra seorang pencuri atau dia menemukan tempat pencurinya menyimpan barang curian?" Tanya Sasodara di dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   Perpisahan di Bawah Cahaya Fajar: Janji untuk Seorang Chakrawartin

    Fajar merekah di ufuk timur, menyinari tanah Medang dengan sinar keemasan yang lembut. Angin pagi berhembus perlahan, seakan ikut merasakan beban yang menggantung di hati mereka yang berkumpul di halaman istana. Hari ini adalah hari perpisahan, dan tak ada yang bisa menghindari kepedihannya.Di gerbang utama, rombongan kecil telah siap berangkat menuju pelabuhan. Pangeran Balaputeradewa berdiri gagah dengan jubah perjalanannya, sementara di sisinya, Ganika menggenggam tangan anak-anak mereka erat, seolah tak ingin kehilangan satu detik pun bersama mereka. Jentra dan Candrakanti berdiri sedikit di belakang, mata mereka dipenuhi emosi yang tak terucapkan. Amasu dan Wiku Sasodara juga telah bersiap, wajah mereka menyiratkan keteguhan untuk menemani perjalanan menuju Swarnabhumi.Namun di antara mereka, ada satu sosok yang memilih tetap tinggal—Rukma.Ia berdiri tegak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan perasaan yang mendesak keluar. Di sampingnya, Gaurika, istrinya, me

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   SEBUAH HUKUMAN

    Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk me

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   RUNTUHNYA SANG BALAPUTERADEWA

    Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PUPUTAN

    "Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PERMATA WANGSA SYAILENDRA

    Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PERLAWANAN TERAKHIR SANG PANGERAN

    Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status