Wirota Wiragati anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Jayendra seorang Maling dan penjudi. Sesuai didikan Jayendra, sebagian hasil maling dan judi disumbangkan kepada orang miskin. Sehingga dia dikenal sebagai seorang maling yang dermawan. Perjumpaannya dengan Banyak Wide seorang Brahmana yang melihat potensi kecerdasannya, telah mengubah hidupnya.
View MoreMalam itu di padepokan Macan Kumbang Lamajang, Wirota seorang bocah yatim piatu berumur 10 tahun sedang mengantarkan kendi air ke kamar gurunya Lembu Ampal. Wirota ketika masih berumur lima tahun ditemukan oleh Lembu Ampal di kota Paguhan saat mengungsi karena letusan gunung Kampud. Anak itu menangis sendirian dan tampak kebingungan tanpa ada orang yang peduli. Karena merasa kasihan, Lembu Ampal, mengambil Wirota dan mengungsi ke Lamajang.
Selama lima tahun mereka hidup tenang di kota Lamajang, namun suatu hari ketenangan itu terusik kembali.
“Guru, ini minumannya,” ucap Wirota sambil meletakan kendi di meja.
“Terima kasih Wirota, setelah ini jangan lupa menutup gerbang di depan ya,” perintah Lembu Ampal.
“Baik, Guru.”
Wirota kemudian bergegas ke depan rumah untuk menutup gerbang. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat lima orang laki-laki bersenjata sudah berada di depan rumah mereka. Tatapan mereka tampak tak bersahabat, hawa membunuh tergambar di wajah mereka.
“Di mana Lembu Ampal?” tanya salah satu dari mereka tanpa basa-basi.
Wirota sangat ketakutan wajahnya pucat pasi dan gemetaran hingga tak kuasa menjawab. Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya. Melihat cantrik itu ketakutan dan hanya diam seribu bahasa ketika ditanya, kelima orang itu bertambah jengkel dan bertanya lagi lebih keras.
“Di mana Lembu Ampal bersembunyi? Kalau kau tak mau menjawab, kami akan membunuhmu!”
Tangan orang itu sudah melayang di udara hendak merampungi cantrik itu namun tiba-tiba sebuah suara membuat mereka mengurungkan niatnya membunuh Wirota.
“Aku ada di sini, kalian tak perlu repot-repot membunuh bocah itu!” seru Lembu Ampal dari pendopo rumah.
Orang-orang itu langsung menoleh ke arah sumber suara, begitu mereka melihat Lembu Ampal, mulut mereka langsung berteriak memakinya.
“Pengkhianat terkutuk, kau telah mengkhianati Prabu Tohjoyo dan menghimpun tentara Tumapel untuk menentang kami. Gara-gara pengkhianatanmu, Prabu Tohjoyo gugur. Sekarang katakan di mana keris Empu Gandring kau sembunyikan?!” tanya laki-laki yang berjubah hitam itu.
“Percuma kalian mencarinya, keris itu sudah kubuang di kawah gunung Kampud atas perintah Gusti Prabu Wisnuwardhana setelah dia memusnahkan kutukannya,” ujar Lembu Ampal.
“Bohong…! Kau pasti menyembunyikan keris Mpu Gandring itu untuk kau kuasai sendiri. Bunuh dia!” perintah si jubah hitam dengan emosi.
Kelima orang itu langsung menyerang Lembu Ampal dengan jurus-jurus yang mematikan. Lembu Ampal mencabut kerisnya dan mulai melawan serangan mereka. Pedang dan keris berkelebat, setiap saat pedang dan keris beradu, percikan-percikan api berhamburan karena kuatnya benturan. Namun ternyata kelima orang yang mengeroyoknya semuanya berilmu tinggi. Dia pun mulai kewalahan melawan mereka.
Lembu Ampal semakin lemah, pedang-pedang mereka mulai mencacah tubuhnya dan akhirnya Lembu Ampal sudah roboh bersimbah darah. Wirota menyaksikan semuanya dari dalam sebuah lumbung padi di halaman rumah. Matanya mengintip dari celah-celah papan dinding lumbung dengan perasaan takut dan marah melihat gurunya dihabisi. Otaknya mulai bekerja mengingat-ingat wajah-wajah para pembunuh guru sekaligus ayah angkatnya itu.
Pria berjubah hitam itu memerintahkan, “Cepat geledah rumahnya dan cari keris Mpu Gandring itu!”
Salah satu dari mereka bertanya, “Dimana bocah yang membukakan pintu untuk kita tadi?”
“Aku sudah tidak melihatnya dari tadi, apakah dia perlu kita rampungi juga?”
Pemimpin rombongan itu menukas, “Tidak usah, waktu kita sudah mepet, yang penting kita harus segera menemukan keris Mpu Gandring itu sebelum orang-orang kerajaan Singasari datang,” perintahnya.
Orang-orang tak dikenal itu, memasuki rumah Lembu Ampal mencari keberadaan keris kutukan itu. Namun sekian lama mereka mencari, mereka tak dapat menemukan keris Mpu Gandring di rumah Lembu Ampal.
“Sial, keris itu tidak ada di sini, ayo kita harus cepat pergi sebelum orang-orang kerajaan Singasari itu menemukan kita di sini!” perintah pria berjubah hitam itu kepada anak buahnya.
Sejurus kemudian orang-orang itu pergi meninggalkan Padepokan Pandanwangi. Dia menunggu sampai suara derap kaki kuda itu menghilang dibalik tikungan jalan. Setelah dirasanya aman, Wirota berlari sambil menangis menghampiri Lembu Ampal yang sudah bersimbah darah
“Guru...!”
“Cepatlah pergi Wirota! Pergilah jauh-jauh selamatkan dirimu. Kemasi barang-barangmu dan ambillah uang di kamarku yang tersimpan di celengan bambu sebagai bekal," perintah Lembu Ampal.
Dengan tangan gemetar berlumuran darah, Lembu Ampal mengulurkan kerisnya dan berkata, “Ambilah keris pusaka Pulung Sakti ini, rawatlah baik-baik,” Setelah berpesan demikian, Lembu Ampal tak bergerak lagi, tinggalah Wirota menangis meratapi Lembu Ampal guru sekaligus pengganti orangtuanya yang sangat disayanginya.
Wirota kemudian segera mengemasi barang-barangnya, mengambil uang yang tersimpan di celengan bambu. Uang itu masih utuh, orang-orang itu ternyata tidak menginginkan uang, mereka ternyata hanya mencari keris Mpu Gandring. Wirota kemudian pergi meninggalkan padepokan Pandanwangi. Dia terus berjalan ke arah utara tanpa tujuan jelas, sesekali dia beristirahat di kasogatan (Biara Budha) atau Kasyiwan (Kuil Hindu) yang dilewatinya. Para Bhiksu di Kasogatan dan Brahmana di Kasyiwan memberinya makan ketika dia mampir beristirahat karena kasihan. Setelah berjalan beberapa waktu, keesokan harinya di saat matahari terbit, akhirnya sampailah dia di kota Singasari.
Kota Singasari adalah ibukota kerajaan yang padat penduduk. Pagi itu penduduk kota sudah bersiap-siap keluar rumah melakukan aktivitas. Wirota melangkahkan kakinya ke pasar, perutnya yang lapar membawanya berjalan menuju penjual jenang di depan pasar. Aneka jenang didalam kendil beraneka warna dan menyebarkan aroma pandan, santan dan gula merah menerbitkan seleranya. Dia berjalan menghampiri penjual jenang itu dan memesan jenang ganyong. Dengan lahap dia memakan makanannya. Bagi Wirota jenang ganyong itu adalah makanan terenak yang pernah dia makan.
Wirota kemudian melanjutkan perjalanannya lagi berkeliling kota Singhasari menikmati keindahan kota. Tak jauh dari pasar berdirilah komplek Kerajaan Singhasari yang begitu luas dan megah. Para penjaga tampak mondar-mandir menjaga gapura yang terbuat dari bata merah. Beberapa bangsawan, Pangreh Ageng dan Nayaka Praja dengan pakaiannya yang indah terbuat dari kain halus dan perhiasan yang raya tampak berjalan keluar masuk istana menjalankan tugasnya sebagai abdi negara. Wirota memandangi mereka dengan penuh kekaguman. ‘Suatu saat aku harus bisa seperti mereka,’ batinnya.
Hari sudah menjelang malam, ketika itu Wirota sedang beristirahat di sebuah emperan pasar yang sudah sepi setelah lelah berkeliling kota. Namun belum lama dia beristirahat, tiba-tiba sekelompok preman pasar sudah mendatanginya dan mengerumuni dirinya. Wirota ketakutan melihat wajah-wajah sangar mereka.
Seorang pemimpinnya yang badannya paling besar berkata, “Hei bocah, sepertinya kau anak baru ya, serahkan uangmu sebagai uang pengamanan, kalau tidak kau yang akan kubunuh!”
Wirota meringkuk ketakutan di pojok teras, kawanan preman itu sudah makin dekat dengan dirinya. “Aku tidak punya uang, tolong jangan bunuh aku,” ratap Wirota ketakutan.
“Aah … jangan bohong, tadi kulihat kau sedang menghitung uangmu, bocah sekecil kamu punya banyak uang pasti kau anak orang kaya,” kata pemimpin preman itu lagi.
“Tidak! Aku tidak sudi memberikan uangku kepada kalian sampah masyarakat!” seru Wirota dengan lantang.
Entah dari mana datangnya keberanian itu sehingga akhirnya dia berani menghadapi para preman itu.
Namun sebelum sampai pada sasarannya, tiba-tiba terdengar suara berkelebat dan kesiur angin melewati tubuhnya. Belum sempat Wirota menyadari, seseorang telah menangkis pukulannya. "Wiro, hentikan!" Wirota menoleh, ternyata Mahesa Wagal yang menangkis serangannya. Di belakangnya menyusul Gajah Mada, Gayatri dan Banyak Wungu. "Gusti Wirota, tunggu!" Seru Banyak Wungu. Wirota terkejut melihat kedatangan Banyak Wungu bersama Gajah Mada dan Gayatri. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya. Jangan-jangan, Majapahit sudah membantai seluruh pasukan Sadeng dan Keta lalu mereka menyandera Banyak Wungu batin Wirota cemas. "Banyak Wungu, apa yang terjadi? Mengapa kamu bisa bersama mereka?"Tanya Wirota. "Gusti Wirota, Gusti Ratu Tribuana telah memerintahkan tabib Majapahit untuk mengobati para prajurit kita yang terluka. Dia mengatakan bahwa dia ingin Gusti Wirota kembali ke Majapahit. Beliau berjanji akan memberi anda jabatan Juru Demung atau Patih di Daha," ujar Banyak Wungu.
Ditantang seperti itu membuat darah Wirota seketika mendidih. Tapi dia tak ingin terlihat emosional di depan Ra Kembar. Setelah menghela nafas panjang untuk meredakan amarahnya barulah Wirota menjawab "Siapa takut?! Aku bukan laki-laki pengecut. Baik, kuterima tantanganmu!" Saat itu hari sudah menjelang maghrib,, namun situasi di sekitar gelanggang masih terang benderang bagai di siang hari bolong. Energi batu pusaka dari Gunung Padang yang dibuat menjadi tombak Naga langit begitu kuat dan seolah tak ada habisnya. Cahayanya masih terus berpendar tanpa meredup sedikitpun. Wirota menancapkan pedangnya ke tanah, lalu berjalan mendekati Ra Kembar dan memasang sikap kuda-kuda. Ra Kembar tersenyum, dia sangat yakin akan menang. Sepanjang karirnya sebagai prajurit, Ajian Balung Ireng tak pernah gagal membunuh musuhnya hanya dalam satu dua jurus Ra Kembar berjalan mendekati Wirota, kini mereka sudah berdiri berhadapan siap bertarung. Ra Kembar mengatupkan kedua tangannya di dep
Suara derap kaki kuda di belakangnya semakin dekat. Siapa itu, mungkinkah Lembu Peteng, Ikal-ikalan Bang atau Jabung Taraweskah? Hanya mereka yang tahu jalur yang kulewati ini, batin Ra Kembar. Hatinya mulai tenang merasa ada yang menemani. Ra Kembar sengaja mengambil jalur yang berbeda, sebuah jalur tersembunyi, bukan jalan yang biasa dilewati para prajurit Majapahit untuk pulang menuju Trowulan. Jalur itu jalannya lebih sempit dan melewati hutan belantara. Ra Kembar menoleh, dilihatnya ada seorang penunggang kuda mengejarnya. Terkesiap Ra Kembar ketika melihat penunggangnya, dari pakaian dan wajahnya dia dapat mengenali penunggang kuda yang mengejarnya adalah Wirota. "Sial, gara-gara harus membebaskan diri dari totokan Resi tua tadi, waktuku terbuang di pondok itu. Sekarang Wirota sudah menemukanku. Aku lupa dia juga tahu jalur ini ketika melarikan diri bersama Prabu Wijaya ke Madura," gerutu Ra Kembar. Ra Kembar kembali memacu kudanya. Tiba-tiba terdengar suara kelebatan d
RA Kembar terkejut, ketika menoleh dilihatnya seorang bhiksuni berdiri di belakangnya "Siapa kamu? Tak usah ikut campur, sebaiknya kamu pergi bertapa saja. Tempat ini bukan untuk wanita sepertimu!" Ra Kembar ternyata tidak mengenali sosok Gayatri yang kini menjadi bhiksuni. Beberapa prajurit Araraman yang berjaga di tepi hutan segera menghadang Gayatri melindungi Ra Kembar. Gayatri mendengus marah "Aku akan pergi jika tombak itu kamu kembalikan pada pemiliknya! Usai berkata Gayatri berkelebat dengan cepat melompati para prajurit yang menghadangnya lalu mencoba merebut tombak. Ra Kembar panik, tangan kanannya masih kebas karena totokan Mahesa Wagal. Membuatnya tak bebas bergerak. Tetapi dia masih sempat menghindar sehingga Gayatri gagal merebut tombak. "Siapa kamu? Beraninya kamu melawanku.Baiklah aku akan membuatmu seperti para bhiksu di Kasogatan Bajraka!" "Prajurit, bereskan dia!" perintah Ra Kembar. Spontan para prajurit Araraman segera mengeroyok Gayatri. Terpaksa
Mahesa Wagal dan Gajah Mada terkejut karena hal ini jauh di luar rencana mereka. "Mada, siapa yang mengacaukan pertemuan ini?" Tanya Mahesa Wagal. Gajah Mada menggeleng, dia juga bingung melihat kejadian yang berlangsung di depannya. Mendadak Wirota menarik tubuh Gajah Mada dan mulai memukulinya. Sontak Gajah Mada berusaha menghindar dan membela diri. Wirota terus menerjang, sehingga pertarungan keduanya berlangsung sengit, namun Gajah Mada tidak pernah membalas serangan Wirota, hanya menghindar saja. Hal ini membuat Wirota semakin gusar, "Ayolah Mada, jangan jadi pengecut! Lawan aku, jangan hanya menghindar saja!" "Paman Wirota, sabar dulu...kami tidak tahu tentang serangan ini. Gusti Ratu tidak pernah memerintahkan penyerangan ini!" Seru Gajah Mada sambil berusaha menghindari serangan Wirota. "Bohong...jangan harap aku akan percaya pada kalian!" Wirota kembali menyabetkan pedang ke.leher Gajah Mada. Wirota yang sudah terlanjur marah, tangannya bergerak mencabut pedang Na
"Aneh. tak biasanya mereka begini. Baiklah, aku akan menemui mereka," kata Wirota. Setibanya di tepi hutan, Wirota terkejut ketika mendapati tamunya ternyata adalah Gajah Mada dan seorang lelaki tua berpakaian seperti seorang Resi/ pertapa yang berjalan tertatih dengan tongkat. Mereka berdua memberi salam setelah itu Gajah Mada berkata "Paman, saya mengantar Paman Mahesa Wagal kemari karena dia sangat ingin bertemu dengan anda. Kemarin dia mendatangi kemah kami dan minta diajak menemui anda." Wirota tampak terkejut, tak disangkanya Resi tua yang berjalan terpincang itu adalah rekannya di masa masih berjuang melawan pemberontakan Jayakatwang. Mahesa Wagal adalah seniornya di masa mereka masih berdinas di Singasari. Ah, waktu sudah lama berlalu, Mahesa Wagal sekarang hanyalah seorang lelaki tua yang sakit-sakitan, batin Wirota. Namun Wirota tak mau memperlakukan Mahesa Wagal layaknya seorang sahabat lama. Di mata Wirota siapapun yang bekerjasama dengan Majapahit adalah musuh.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments