Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?
Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.
Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu.Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda seperti dirinya yang ingin belajar juga di Kadewaguruan tersebut. Namun sepertinya pemuda-pemuda itu bukan dari kalangan atau kasta seperti dirinya. Mereka sepertinya putra-putra Rakyan atau setidaknya anak tetua Sima (Kepala Desa). Perasaan Jentra menjadi tidak enak, apalagi saat akhirnya kepala pendeta menemuinya.
"Jadi kau ingin bergabung dengan kami di Kadewaguruan ini? Apakah ada surat atau semacamnya yang bisa memberikan keterangan siapa dirimu?" Tanya Kepala Pendeta.
"Surat?" Jentra tergagap. Pendeta itu mengangguk."Ya. Kadewaguruan kami tidak bisa menerima sembarang orang untuk belajar. Kami tidak ingin ilmu yang diajarkan perguruan ini disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab."Kata Kepala Pendeta. Jentra terdiam."Saya akan membayar. Saya cukup memiliki uang emas." Kata Jentra masih berusaha membujuk kepala pendeta itu."Simpan saja uangmu, nak. Carilah pekerjaan yang cocok. Kadewaguruan ini tidak bisa menerima siswa yang tidak memiliki penjamin." Jawab kepala Pendeta.Dengan lemas Jentra meninggalkan tempat itu. Ternyata uang saja tidak cukup untuk mendapatkan kesempatan belajar menjadi seorang yang berguna. Namun Jentra tidak putus asa. Ia terus mencari Kadewaguruan yang mau menerimanya. Sayang tidak ada satupun Kadewaguruan yang bersedia menjadikannya sebagai siswa mereka. Penolakan halus maupun kasar diterima Jentra dengan hati yang benar-benar hancur.
Semua yang dilakukan Jentra nampaknya ada yang memperhatikan. Saat Jentra akhirnya terduduk dengan lemas di rerumputan sambil menghabiskan sisa bekalnya, orang yang memperhatikannya mendekatinya.
"Sudah berapa Kadewaguruan yang kau datangi?" Tanya orang itu pelan sambil duduk disamping Jentra.Jentra terkejut dengan sapaan yang tidak biasa itu. Tadinya ia tak ingin menjawab namun setelah ia tahu bahwa yang bertanya adalah seorang wiku, meski sedikit malas ia menjawab juga dengan rasa hormat. Hal ini bisa dipahami mengingat Jentra adalah orang yang tidak suka berbagi kegagalan." Hampir dua puluh tempat." Jawab Jentra dengan suara yang hampir tidak terdengar."Lalu kau berencana mendatangi berapa tempat lagi?" Tanya wiku itu.Jentra menggeleng. Wiku itu tersenyum. Ia memandang pemuda desa di depannya itu. Ia berpikir seandainya saja ia putra seorang Rakai, ia pasti akan terlihat berbeda. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, sorot matanya yang berwarna abu-abu kehijauan sangat tajam. Tulang pipinya tegas namun sangat luwes, pas di wajah itu, maka sudah pasti ia akan menjadi pria yang sangat tampan. Wiku itupun menghela nafas panjang."Kalau kau mau. Ikutlah bersamaku. Meskipun viharaku tidak besar, tapi cukuplah untuk bermalam seorang lagi. Kau bisa tinggal selama yang kau inginkan. Namaku Sasodara, aku seorang wiku sima di wilayah ini. Aku melihat sepertinya sudah beberapa hari kau tidur di udara terbuka, jadi jika kau tak keberatan, aku akan memberimu tumpangan." Kata Wiku yang bernama Sasodara itu."Tapi aku tak ingin menjadi biksu. Aku ingin menjadi prajurit kerajaan. Atau setidaknya menjadi orang yang bisa melindungi diriku sendiri dan keluargaku." Jawab Jentra dengan mata yang basah."Untuk tinggal di Viharaku, Kau tidak perlu menjadi biksu atau bikku. Kau tidak harus belajar agama juga dariku jika itu yang kau takutkan." Kata Wiku Sasodara sambil tertawa. Namun Jentra menggeleng. "Baiklah jika kau tak mau. Tapi anggaplah pertemuan kita adalah jodoh yang diatur semesta karena tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua pertemuan dan perpisahan adalah wujud dari karma. Aku akan memberikan medali ini. Jika kau menemui kesulitan, datanglah ke viharaku. Tunjukan medali itu pada siapapun penjaga di sana, kau akan diterima dengan baik." Kata Wiku itu sambil memberikan salam perpisahan. Jentra mengangguk.Setelah wiku itu pergi. Jentra menyeret tubuhnya yang lemah ke kedai di ujung jalan desa. Ia ingin sekali minum teh dan mengaso sedikit di tempat yang layak setelah beberapa hari ini ia memilih tidur diluar untuk menghemat uangnya. Wiku itu benar, ia sudah seperti pengejut dan pengusir burung di sawah yang berantakan, kotor dan bau. Ia ingin mandi dan berganti pakaian. Sesampainya di kedai itu, beberapa siswa dari kadewaguruan melihatnya dengan perasaan jijik. Begitu juga pengunjung kedai yang lain."Wah orang ini datang ke sini. Mau apa lagi dia? Tadi sudah mencoba mengotori Kadewaguruan kita. Sekarang mau meracuni kita dengan bau tubuhnya." Kata salah satu dari siswa Kadewaguruan yang berbadan besar."Ah, sudah. Kita hajar saja, supaya dia tahu diri. Dia pikir siapa dirinya? Sok merasa bisa diterima dimana saja. Punya uang katanya, tapi bentuk sudah seperti orang-orangan sawah." Lanjut siswa yang bertubuh tinggi kecil.Jentra tidak menggubris omongan mereka. Namun salah satu dari kerumunan siswa itu maju dan mulai menarik baju Jentra. Jentra bertahan hingga bajunya robek."Wah punya tenaga juga dia. Aku juga mau mencobanya." Kata Siswa lainnya.Kali ini ia melayangkan bogem mentah ke arah wajah Jentra, namun dengan sigap Jentra mengelak. Pukulan itu berakhir di ruang hampa. "Kurang ajar!" Kata siswa itu geram. Kali ini ia menghujankan tendangan ke arah dada Jentra, namun di tangkis oleh Jentra menggunakan bangku warung sehingga tendangan itu mengenai kayu bangku yang keras.Siswa itu meraung kesakitan. Melihat temannya kesakitan, meradanglah yang lain dan mulai mengeroyok Jentra. Pemilik kedai berteriak-teriak agar mereka berhenti tapi sama sekali tidak digubris oleh mereka semua. Bahkan sebagian besar siswa itu sudah menghunus keris masing-masing.
"Apa mau kalian sebenarnya? Aku tidak mengganggu kalian. Mengapa kalian mempersulit aku? Apa ini yang kalian pelajari dari kadewaguruan kalian? Percuma saja belajar dan berpakaian bagus jika hanya bisa mengerjai orang." Teriak Jentra.
"Banyak bicara kau! Jika memang hebat lawanlah kami semua." Teriak siswa yang badannya paling besar sambil menusukan kerisnya.Jentra mengelak ke samping dan memukul punggung siswa itu dengan ujung kayu bangku yang patah."Arrrggghhh!"Teriak Siswa itu kesakitan dan jatuh tertelungkup.Melihat satu lagi temannya tumbang. Seluruh siswa itu maju dan menyerang Jentra dengan membabi buta. Ada yang menusukan kerisnya, ada yang menendang, ada yang berusaha memukul. Jentra hanya bisa mengelak ke sana, ke mari dan mempertahankan dirinya dengan menggunakan bangku atau meja.
Jentra yang terpojok akhirnya mengeluarkan pedang pemberian Candrakanti. Para siswa itu terkejut melihat kilau pedang itu, sepertinya bukan pedang biasa. Benar saja saat keris-keris mereka beradu dengan pedang Jentra seketika tangan mereka bergetar hebat. Ngilu membakar pergelangan tangan hingga ke ujung pangkal lengan. Merekapun melepaskan kerisnya dan berteriak kesakitan. Sementara pedang itu mengeluarkan pendar berwarna merah terang.
"Aaaaarghh." Teriak salah seorang siswa"Aduh......tanganku terasa ngilu!"Disusul siswa yang lain."Ia menggunakan sihir. Ia penyihir...!" Teriak yang lain.Jentra sendiri terkejut dengan kekuatan pedang yang dibawanya. Ia tidak mengira bahwa bertumbukannya pedang dengan keris-keris mereka mampu melumpuhkan lawan hanya dalam sekali sabetan. Siswa-siswa itu seketika berlari ketakutan, meninggalkan Jentra dengan pemilik Kedai yang juga ketakutan.Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum.
Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek."Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berw
Jentra kembali ke gua, dimana ia dan Candrakanti pernah berjanji untuk bertemu. Ini adalah tahun ketiga yang ia janjikan. Jentra telah jauh berubah. Ia menjadi pemuda yang sudah cukup matang meskipun belum sepenuhnya dewasa. Tubuhnya tinggi, besar dan gagah. Ototnya terbentuk dengan baik dan kemampuannya semakin terasah. Ia juga semakin tampan. Apalagi saat di vihara, Wiku Sasodara memberikan semua yang terbaik untuknya termasuk pakaian. Ia bukan lagi remaja lusuh dan bau. Ia telah menjadi pria tampan yang cukup mewah.Bajunya terbuat dari sutera warna biru lembut dan disulam dengan benang perak. Ia juga memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari emas dan berukiran naga. Ikat pinggangnyapun terbuat dari perak yang bertabur batu mulia.Candrakanti hampir tidak mengenalinya saat mereka bertemu di mulut gua. Ia terpana pada pria dihadapannya itu. Benarkah itu Jentra? Pria yang ditunggunya selama tiga tahun dengan menolak semua lamaran pria yang disodorkan oleh ayahnya. Hatiny
Jentra mengendap-endap menuju barak kelompok perampok yang telah membunuh keluarganya. Ia menyiapkan dua bilah pedang. Ia berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya. Kemudian ia menunggu sampai ia melihat Candrakanti keluar dari tempat itu, menuju tempat yang telah mereka sepakati. Saat Candrakanti telah berlalu beberapa saat. Jentra langsung menyerang tempat itu. Pertama ia membunuh penjaga pintu dengan memotong lehernya. Sementara salah satu dari perampok-perampok itu melihat kejadian itu berteriak."Penyusup...penyusup!" Namun, Jentra melemparkan belatinya dan mengenai perut orang itu. Kemudian keluarlah tiga orang dari rumah-rumah mereka dan menghadang Jentra."Siapa kau manusia keji. Kurang ajar sekali membunuh saudara kami." Kata orang pertama"Ya, buka topengmu. Perlihatkan siapa dirimu. Dasar pecundang." Sambut orang kedua"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Tetapi aku adalah orang yang sedang menagih hutang darah kalian." Jawab Jentra."Kurangajar. Habisi dia!" Kata orang
Jentra kembali ke padepokan para perajurit sandi Medang. Jentra sudah tidak tinggal di vihara sejak pendidikannya dinyatakan selesai dengan baik. Wiku Sasodara bahkan merekomendasikan agar Jentra bisa bergabung di satuan khusus sandi dan melayani Mahamentri I Halu Pangeran Balaputradewa.Jentra masuk tertatih dengan menahan lukanya yang cukup dalam. Kondisi lukanya yang masih terus berdarah, mengundang teman-temannya untuk membantunya. Salah satunya adalah teman terdekatnya Ginandara."Jentra! Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau sampai terluka seperti ini?"Teriaknya panik"Benar kakang Jentra. Siapa yang bisa melukaimu sampai separah ini?" Sahut Kawindra"Aku tidak apa-apa!" Jawab Jentra sambil meringis menahan perih."Ayo kita bawa dia ke kamarnya." Kata Kawindra"Ya. Kau harus diobati dengan benar Jentra, supaya lukamu tidak bertambah parah. Beruntung, bikkuAmasu datang untuk menengokmu dan ingin menyampaikan pesan dari wiku Sasodara. Ia menunggumu di ruanganmu." Ginandara menamba
"Kanti.....Kanti......Kanti!" Teriak Kacaya terengah-engah sambil menaiki bukit.Candrakanti yang tengah mencari rumput menengok asal suara yang memanggilnya. Ia melihat pamannya tampak terengah-engah menyusulnya."Ada apa paman? Mengapa kau berteriak seperti orang yang kebingungan." Tanya Candrakanti"Ayahmu....ayahmu...."Kacaya terbata-bata dan terengah-engah, bukan karena panik namun usianya yang tak muda lagi dengan badan yang tambun di paksa naik bukit."Ayah kenapa? Bertengkar lagi dengan paman soal ayam? Kan sudah saya bilang, jual saja ayam-ayam itu sehingga tidak berkeliaran kemana-mana. Atau buat kandang yang kokoh, biar mereka tidak kabur."Candrakanti menanggapi pamannya dengan tenang seperti biasanya. Namun pamannya melambaikan tangannya seraya mengatur nafas yang tersengal-sengal."Bukan itu! Lalu apa?""Prajurit....prajurit Medang menangkap ayah....ayahmu.""Apa?" Teriak Candrakanti yang seketika membuang sabitnya"Prajurit Medang menangkap ayahmu. Semua yang melawan di
Tekad Candrakanti telah bulat. Pagi-pagi sekali, ia memanfaatkan kesunyian meditasi untuk keluar dari vihara. Ia membawa goloknya dan air untuk bekal. Menembus kabut yang gelap dan hawa yang dingin, sesekali Candrakanti menggosok lengannya yang terbuka kuat-kuat. Ia menerobos hutan menuju ibu kota Medang Poh pitu.Ibu kota Medang adalah tempat yang indah. Berbeda dengan kota Manisa di dekat Sima tempat Candrakanti tinggal. Poh Pitu adalah kota yang ramai meskipun matahari masih belum sepenuhnya bersinar. Dengan bekal informasi yang pernah diceritakan Jentra padanya, ia bisa menemukan padepokan pasukan Sanditaraparan di mana Jentra tinggal dan bertugas. Tempatnya memang bukan di jantung kota, namun di sisi sebelah barat kota dekat perbukitan yang bisa dipakai sebagai tempat latihan berkuda, memanah dan ketangkasan lainnya.Dengan hati-hati, ia mengamati tempat itu. Lalu bertanya pada penjaga tentang Jentra. Ia mengaku sebagai istri Jentra. Penjaga itu segera berlari menuju ruangan Je
"Aku tidak mengerti. Mengapa Jentra begitu berkeras untuk minta ditugaskan ke garis depan ekspansi Pengging, padahal ia belum berpengalaman pada perang terbuka." Kata Sasodara pada Amasu."Mungkin justru ia sedang ingin mencari pengalaman, Guru. Bukankah Guru sudah membekali Jentra dengan ilmu-ilmu yang hebat? Mungkin ia ingin mencobanya." Jawab Amasu."Kulihat kau sedikit aneh akhir-akhir ini Amasu?" Wiku Sasodara memastikan dengan memandang Amasu dengan tajam. Amasu menjadi sedikit salah tingkah."Aneh? Aneh bagaimana maksud, Guru?" Jawab Amasu sedikit tergagap"Beberapa hari lalu ada tiga orang perampok yang dihukum mati. Salah satu yang dihukum masih berumur tiga belas tahun bernama Biru. Kakak perempuannya menangisinya tiada henti dan berlutut di alun-alun sampai hari ini jika tidak diusir perajurit jaga. Apakah kepergian Jentra ada hubungannya dengan ini. Hhmm?""Eeehhm...eehhhmm saya tidak tahu, Guru." Jawab Amasu terbata-bata."Amasu!" Teriak Wiku Sasodara"Iya, Guru!" Jawab A