Share

KADEWAGURUAN

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2024-03-18 12:51:32

Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?

Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.

Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.

Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu. 

Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda seperti dirinya yang ingin belajar juga di Kadewaguruan tersebut. Namun sepertinya pemuda-pemuda itu bukan dari kalangan atau kasta seperti dirinya. Mereka sepertinya putra-putra Rakyan atau setidaknya anak tetua Sima (Kepala Desa). Perasaan Jentra menjadi tidak enak, apalagi saat akhirnya kepala pendeta menemuinya.

"Jadi kau ingin bergabung dengan kami di Kadewaguruan ini? Apakah ada surat atau semacamnya yang bisa memberikan keterangan siapa dirimu?" Tanya Kepala Pendeta.

"Surat?" Jentra tergagap. Pendeta itu mengangguk.

"Ya. Kadewaguruan kami tidak bisa menerima sembarang orang untuk belajar. Kami tidak ingin ilmu yang diajarkan perguruan ini disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab."Kata Kepala Pendeta. Jentra terdiam.

"Saya akan membayar. Saya cukup memiliki uang emas." Kata Jentra masih berusaha membujuk kepala pendeta itu.

"Simpan saja uangmu, nak. Carilah pekerjaan yang cocok. Kadewaguruan ini tidak bisa menerima siswa yang tidak memiliki penjamin." Jawab kepala Pendeta.

Dengan lemas Jentra meninggalkan tempat itu. Ternyata uang saja tidak cukup untuk mendapatkan kesempatan belajar menjadi seorang yang berguna. Namun Jentra tidak putus asa. Ia terus mencari Kadewaguruan yang mau menerimanya. Sayang tidak ada satupun Kadewaguruan yang bersedia menjadikannya sebagai siswa mereka. Penolakan halus maupun kasar diterima Jentra dengan hati yang benar-benar hancur.

Semua yang dilakukan Jentra nampaknya ada yang memperhatikan.  Saat Jentra akhirnya terduduk dengan lemas di rerumputan sambil menghabiskan sisa bekalnya, orang yang memperhatikannya mendekatinya.

"Sudah berapa Kadewaguruan yang kau datangi?" Tanya orang itu pelan sambil duduk disamping Jentra.

Jentra terkejut dengan sapaan yang tidak biasa itu. Tadinya ia tak ingin menjawab namun setelah ia tahu bahwa yang bertanya adalah seorang wiku, meski sedikit malas ia menjawab juga dengan rasa hormat. Hal ini bisa dipahami mengingat Jentra adalah orang yang tidak suka berbagi kegagalan.

" Hampir dua puluh tempat." Jawab Jentra dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Lalu kau berencana mendatangi berapa tempat lagi?" Tanya wiku itu.

Jentra menggeleng. Wiku itu tersenyum. Ia memandang pemuda desa di depannya itu. Ia berpikir seandainya saja ia putra seorang Rakai, ia pasti akan terlihat berbeda. Wajahnya bersih, hidungnya mancung, sorot matanya yang berwarna abu-abu kehijauan sangat tajam. Tulang pipinya tegas namun sangat luwes, pas di wajah itu, maka sudah pasti ia akan menjadi pria yang sangat tampan. Wiku itupun menghela nafas panjang.

"Kalau kau mau. Ikutlah bersamaku. Meskipun viharaku tidak besar, tapi cukuplah untuk bermalam seorang lagi. Kau bisa tinggal selama yang kau inginkan. Namaku Sasodara, aku seorang wiku sima di wilayah ini. Aku melihat sepertinya sudah beberapa hari kau tidur di udara terbuka, jadi jika kau tak keberatan, aku akan memberimu tumpangan." Kata Wiku yang bernama Sasodara itu.

"Tapi aku tak ingin menjadi biksu. Aku ingin menjadi prajurit kerajaan. Atau setidaknya menjadi orang yang bisa melindungi diriku sendiri dan keluargaku." Jawab Jentra dengan mata yang basah.

"Untuk tinggal di Viharaku, Kau tidak perlu menjadi biksu atau bikku. Kau tidak harus belajar agama juga dariku jika itu yang kau takutkan." Kata Wiku Sasodara sambil tertawa. Namun Jentra menggeleng. 

"Baiklah jika kau tak mau. Tapi anggaplah pertemuan kita adalah jodoh yang diatur semesta karena tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua pertemuan dan perpisahan adalah wujud dari karma. Aku akan memberikan medali ini. Jika kau menemui kesulitan, datanglah ke viharaku. Tunjukan medali itu pada siapapun penjaga di sana, kau akan diterima dengan baik." Kata Wiku itu sambil memberikan salam perpisahan. Jentra mengangguk.

Setelah wiku itu pergi. Jentra menyeret tubuhnya yang lemah ke kedai di ujung jalan desa. Ia ingin sekali minum teh dan mengaso sedikit di tempat yang  layak setelah beberapa hari ini ia memilih tidur diluar untuk menghemat uangnya. Wiku itu benar, ia sudah seperti pengejut dan pengusir burung di sawah yang berantakan, kotor dan bau. Ia ingin mandi dan berganti pakaian. 

Sesampainya di kedai itu, beberapa siswa dari kadewaguruan melihatnya dengan perasaan jijik. Begitu juga pengunjung kedai yang lain.

"Wah orang ini datang ke sini. Mau apa lagi dia? Tadi sudah mencoba mengotori Kadewaguruan kita. Sekarang mau meracuni kita dengan bau tubuhnya." Kata salah satu dari siswa Kadewaguruan yang berbadan besar.

"Ah, sudah. Kita hajar saja,  supaya dia tahu diri. Dia pikir siapa dirinya? Sok merasa bisa diterima dimana saja. Punya uang katanya, tapi bentuk sudah seperti orang-orangan sawah." Lanjut siswa yang bertubuh tinggi kecil.

Jentra tidak menggubris omongan mereka. Namun salah satu dari kerumunan siswa itu maju dan mulai menarik baju Jentra. Jentra bertahan hingga bajunya robek.

"Wah punya tenaga juga dia. Aku juga mau mencobanya." Kata Siswa lainnya.

Kali ini ia melayangkan bogem mentah ke arah wajah Jentra, namun dengan sigap Jentra mengelak. Pukulan itu berakhir di ruang hampa. 

"Kurang ajar!" Kata siswa itu geram. Kali ini ia menghujankan tendangan ke arah dada Jentra, namun di tangkis oleh Jentra menggunakan bangku warung sehingga tendangan itu mengenai kayu bangku yang keras. 

Siswa itu meraung kesakitan. Melihat temannya kesakitan, meradanglah yang lain dan mulai mengeroyok Jentra. Pemilik kedai berteriak-teriak agar mereka berhenti tapi sama sekali tidak digubris oleh mereka semua. Bahkan sebagian besar siswa itu sudah menghunus keris masing-masing.

"Apa mau kalian sebenarnya? Aku tidak mengganggu kalian. Mengapa kalian mempersulit aku? Apa ini yang kalian pelajari dari kadewaguruan kalian? Percuma saja belajar dan berpakaian bagus jika hanya bisa mengerjai orang." Teriak Jentra.

"Banyak bicara kau! Jika memang hebat lawanlah kami semua." Teriak siswa yang badannya paling besar sambil menusukan kerisnya.

Jentra mengelak ke samping dan memukul punggung siswa itu dengan ujung kayu bangku yang patah.

"Arrrggghhh!"Teriak Siswa itu kesakitan dan jatuh tertelungkup.

Melihat satu lagi temannya tumbang. Seluruh siswa itu maju dan menyerang Jentra dengan membabi buta. Ada yang menusukan kerisnya, ada yang menendang, ada yang berusaha memukul. Jentra hanya bisa mengelak ke sana, ke mari dan mempertahankan dirinya dengan menggunakan bangku atau meja.

Jentra yang terpojok akhirnya mengeluarkan pedang pemberian Candrakanti. Para siswa itu terkejut melihat kilau pedang itu, sepertinya bukan pedang biasa. Benar saja saat keris-keris mereka beradu dengan pedang Jentra seketika tangan mereka bergetar hebat. Ngilu membakar pergelangan tangan hingga ke ujung pangkal lengan. Merekapun melepaskan kerisnya dan berteriak kesakitan. Sementara pedang itu mengeluarkan pendar berwarna merah terang.

"Aaaaarghh." Teriak salah seorang siswa

"Aduh......tanganku terasa ngilu!"Disusul siswa yang lain.

"Ia menggunakan sihir. Ia penyihir...!" Teriak yang lain.

Jentra sendiri terkejut dengan kekuatan pedang yang dibawanya. Ia tidak mengira bahwa bertumbukannya pedang dengan keris-keris mereka mampu melumpuhkan lawan hanya dalam sekali sabetan. Siswa-siswa itu seketika berlari ketakutan, meninggalkan Jentra dengan pemilik Kedai yang juga ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   Perpisahan di Bawah Cahaya Fajar: Janji untuk Seorang Chakrawartin

    Fajar merekah di ufuk timur, menyinari tanah Medang dengan sinar keemasan yang lembut. Angin pagi berhembus perlahan, seakan ikut merasakan beban yang menggantung di hati mereka yang berkumpul di halaman istana. Hari ini adalah hari perpisahan, dan tak ada yang bisa menghindari kepedihannya.Di gerbang utama, rombongan kecil telah siap berangkat menuju pelabuhan. Pangeran Balaputeradewa berdiri gagah dengan jubah perjalanannya, sementara di sisinya, Ganika menggenggam tangan anak-anak mereka erat, seolah tak ingin kehilangan satu detik pun bersama mereka. Jentra dan Candrakanti berdiri sedikit di belakang, mata mereka dipenuhi emosi yang tak terucapkan. Amasu dan Wiku Sasodara juga telah bersiap, wajah mereka menyiratkan keteguhan untuk menemani perjalanan menuju Swarnabhumi.Namun di antara mereka, ada satu sosok yang memilih tetap tinggal—Rukma.Ia berdiri tegak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan perasaan yang mendesak keluar. Di sampingnya, Gaurika, istrinya, me

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   SEBUAH HUKUMAN

    Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk me

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   RUNTUHNYA SANG BALAPUTERADEWA

    Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PUPUTAN

    "Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PERMATA WANGSA SYAILENDRA

    Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene

  • JENTERA SAKTI DAN MUSTIKA UDARATI   PERLAWANAN TERAKHIR SANG PANGERAN

    Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status