Share

PART 9

JANGAN BANGUNKAN SINGA TIDUR

#JBST

PART 9

Hari ini tepat tujuh hari meninggalnya Samudra. Delisa pun masih nyenyak dengan tidur panjangnya. Entah sampai kapan ia akan tertidur.

Setiap hari selepas maghrib diadakan acara tahlil di rumah. Saputra dan Ayahnya tak pernah absen untuk mengikuti acara tahlilan.

Untuk semua biaya tahlilan ini ditanggung oleh Saputra. Dan lagi-lagi Ayah mengiyakan mengiyakan tanpa mendebat panjang seperti kejadian lalu ketika Saputra meminta agar ia saja yang menanggung biaya rumah sakit Delisa.

Aku, Saputra dan Diandra bergantian menjaga Delisa. Jika pagi hari Saputra akan menjaga Delisa sendirian. Sedang di siang hari aku dan Diandra yang menjaga.

Beberapa hari ini sebelum maghrib aku dan Diandra pulang ke rumah untuk menyiapkan acara tahlilan. Tak banyak yang kami siapkan, hanya membersihkan rumah sebelum digelar karpet. Semua makanan juga kue sudah di handle semua oleh Saputra.

Selepas tahlilan aku dan Diandra biasanya akan kembali ke rumah sakit. Diandra selalu bersikeras ingin tidur bersama kakaknya. Seperti saat ini.

"Ibu Diandra mau ikut ke rumah sakit. Diandra mau tidur deket Kak Isa." Rengeknya

"Besok malam saja Dii. Besok pagi kan kamu Hari Jumat, Hari Sabtunya kamu libur. Lagipula besok pagi kamu harus berangkat pagi kan? Pelajaran olahraga dimulainya kan jam 6." Ingatku padanya. Dalam hati aku berharap agar Diandra mau tinggal di rumah hari ini.

"Kan bisa berangkat dari rumah sakit." Sahutnya cemberut.

"Kamu nanti muter berangkatnya Dii. Udah malam ini kamu tidur di rumah nemenin Ayah. Besok bisa tidur deket Kak Isa lagi." Bujukku padanya

Aku mengerti kekhawatirannya. Diandra tak ingin berjauhan dengan saudara satu-satunya. Jika saja dia kuizinkan bolos sekolah sudah pasti ia akan menemani Delisa 24 jam.

"Dii bisa berangkat lebih pagi Ibuu... Pliiisss... Dii mau ikut ke Kak Isa yaaa?" Pintanya memelas

"Halaah kayak kamu abis sholat subuh biasanya gak tidur lagi Diii. Udah hari ini aja tidur di rumah besok pulang sekolah langsung ke rumah sakit deh. Nanti Ibu bawain baju ganti. Makan siangnya bisa minta dibeliin Kak Putra." Ucapku padanya

"Beneran yaa? Tapi besok makan siangmya aku mau minta seblak ceker yang pedes ke Kak Putra." Sahutnya antusias

"Iyaa. Boleh, beli lima porsi juga boleh." Kelakarku

Tak apalah kali ini ku bolehkan makan seblak asal hari ini aku harus mencari titik terang tentang Delisa dan Saputra.

***

"Ayah tau sesuatu yang belum Ayah ceritakan pada Ibu?" Tanyaku pada Mas Idris

Saat ini kami sedang berada di mobil. Berkendara menuju rumah sakit tempat dimana Delisa tidur dengan dibantu banyak alat untuk menyokong kehidupannya.

"Maksud Ibu?" Tanyanya bingung

"Ibu lihat akhir-akhir ini sikap Ayah berbeda pada Saputra. Ayah juga terlihat mengkhawatirkannya. Setau Ibu, Ayah bukan seseorang yang mudah berubah pikiran apalagi pada orang yang telah menyakiti keluarga." Terangku padanya. Belum ada jawaban, hanya helaan nafas yang keluar dari mulutnya.

"Ayah tau sesuatu?" Tanyaku lagi

"Iya." Jawabnya singkat

"Bisa Ayah jelaskan?"

Lagi-lagi bukan sebuah jawaban yang kudapat. Melainkan helaan nafas yang terdengar semakin berat.

"Ayah gak sanggup kalau harus menjelaskan semuanya Buu, sebaiknya kita ke rumah Pak Rahmat." Jawab Mas Idris

Aku bungkam. Apa seberat itu sampai Mas Idris tak bisa menjelaskan sendiri padaku?

Didalam mobil suzuki keluaran tahun 2000 ini kami saling diam. Berkelana dengan pemikiran masing-masing.

Mobil ini memang keluaran lama dan aku pun tak berniat membeli mobil keluaran terbaru. Karena bagiku tidak perlu yang terbaru asal dikendarai dan masih layak. Jadi tak perlu menuruti gengsi untuk terlihat ngetrend.

Meskipun sudah berkali-kali Mas Idris menawarkan agar ganti mobil, tetapi aku selalu menolak. Mobil ini terlalu banyak kenangan.

Mobil yang dibeli ketika Diandra baru lahir. Dibeli dari uang yang kami kumpulkan semenjak Delisa berusia enam tahun. Aku masih ingat akan permintaan Delisa kala itu.

"Semoga Ayah punya uang lebih yaa Bu. Biar Ayah bisa beli mobil." Ucapnya

"Naik motor kan lebih asyik. Delisa bisa duduk didepan." Sahutku

"Delisa suka naik motor kok. Tapi Delisa berdoa supaya Ayah bisa beli mobil. Kalau nanti Delisa punya adek, biar adek enggak kepanasan atau kehujanan. Delisa aja kalau habis hujan-hujanan demam. Delisa gak mau kalau nanti adeknya Delisa demam karena abis kena hujan." Mataku berembum. Sungguh Delisa adalah orang paling penyayang di rumah.

Tapi mengapa Allah menakdirkan ini untuknya?

***

"Maaf atas kedatangan kami malam-malam begini ke rumah Pak Rahmat." Ucap suamiku tak enak hati, karena sudah mengganggu waktu istirahat Pak Rahmat dan keluarga.

"Tidak masalah Mas Idris. Saya juga baru sampai rumah, tadi sepulang dari rumah njenengan mampir beli martabak keju titipan anak-anak." Jawabnya tak keberatan.

Sedang aku hanya terdiam, menelisik setiap sudut rumah. Rumah ini cukup sederhana untuk pengacara kondang seperti Pak Rahmat. Sepertinya beliau pecinta barang-barang klasik. Karena semua benda di rumah ini seperti pintu, jendela, meja dan kursinya di desain dengan penuh ukiran. Bukan hanya itu, lemari pajangan dan rak-rak buku pun juga banyak ukirannya.

Dalam sekali lihat aku bisa menaksir berapa harga setiap barang di rumah Pak Rahmat. Dengan profesi suamiku sebagai pengusaha meubel membuatku tau berapa kisaran harga setiap barang. Ada yang murah tapi ada pula yang harganya fantastis, tergantung bagaimana pesanan barangnya.

Rupanya Pak Rahmat pecinta keindahan dan kerumitan. Beliau juga suka mengabadikan momen-momen dalam bentuk foto, terbukti dengan banyaknya foto yang terpajang di sepanjang dinding ruang tamu ini.

Foto yang paling besar adalah foto keluarga Pak Rahmat. Rupanya Pak Rahmat memiliki tiga orang putra.

Di foto terlihat jika putra sulungnya berprofesi sebagai tentara. Sedang anak kedua dan ketiga mereka yang kembar baru lulus SMA. Mungkin sekarang masih kuliah, pikirku.

Disana juga ada foto Saputra bersama anak-anak Pak Rahmat. Mereka begitu akrab, meskipun dalam foto Saputra tidak tersenyum tapi mereka terlihat saling menyayangi.

Saputra memang dingin, tak banyak tersenyum. Tapi meski begitu, dia punya cara tersendiri untuk menyayangi orang-orang disekitarnya.

Tapi bukan berarti dengan menyiksa Delisa. Aku tak bisa membenarkan akan itu. Aku jadi teringat akan tujuanku kemari. Bagaimanapun aku harus mendapatkan penjelasan mengenai Saputra dan keadaan Delisa yang mempunyai bekas luka.

Delisa?

Mengapa ada foto Delisa disini? Tapi, di foto itu Delisa tidak berdua dengan Saputra melainkan dengan Pak Rahmat.

Apa-apaan ini?!!!

Tapi tunggu! Di foto itu Pak Rahmat terlihat masih muda, sedang sekarang rambut di kepalanya sudah ada uban meskipun tidak banyak. Itu pasti bukan Delisa.

Tapi siapa? Kenapa bisa semirip itu dengan Delisa?

"Silahkan diminum Mbak Ayu, Mas Idris." Ucap Mbak Nisa, istri Pak Rahmat.

"Maaf Mbak Nisa, itu yang foto berdua sama Pak Rahmat siapa yaa? Kok wajahnya mirip anak saya?" Tanyaku padanya

"Foto yang mana mbak?" Tanyanya menoleh ke arah foto yang kutunjuk

"Ohh itu... Itu foto Mas Rahmat sama mendiang kakaknya mbak, ibunya Saputra. Namanya Sasmita Maharani."

Sasmita Maharani?

.

.

.

❤❤❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status