"Aaa!" teriak Milva merasa kesakitan. Restu yang melihatnya pun hanya bisa melongo. Rasanya juga tak tega melihat sang istri digituin oleh ibunya. Menatap nanar ke arah Milva, apa lagi teriakannya sangatlah menyesakkan dada."Dasar wanita murahan!" teriak Bu Ningsih makin menjadi."Bu-bukan begitu, Bu." Milva mencoba menjelaskan, tetapi dirinya terus di seret dan jambakannya semakin kuat. Restu yang tidak tega melihat sang istri dibegitukan langsung mengikuti langkah sang ibunda tercinta. Ia langsung melepaskan jambakan dari rambut Milva. Hingga akhirnya, terlepas sudah jambakan yang sangat kuat itu. "Apa yang kamu lakukan, Restu?!" Bu Ningsih berteriak. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Memang dirinya tak akan menyangka mendapati, anak semata wayangnya bisa berbuat seperti itu. Padahal tidak biasanya akan membela ataupun ikut melerai. "Aku mencintai Milva, Bu," ucap Restu dengan lantangGlegar! Seperti tersambar petir Bu Ningsih tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh an
Prank!Bunyi pecahan piring membuat Milva terkejut. Ia tak akan menyangka melihat suaminya telah di luar batas. Selama sudah satu tahun baru kali ini piring pecah. "Kau ini emang nggak tahu diri!" Bagaikan disambar petir, air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya terjatuh juga. "Awas kau, ya!" Restu menarik lengan Milva dan menyeretnya. Wanita itu hanya merintih dan menahan sakit."Mas, jangan ... Mas," suara Milva parau. Dirinya mencoba memberontak. Namun, apalah daya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya bisa pasrah. Sudah biasa bila akan menelan air lagi seperti sebelumnya.***"Nduk, maafkan ibumu. Kau harus menikah," ucap Ibu Milva saat beliu belum menghembuskan napasnya untuk terakhir kali. "Tapi, Milva tidak menyukai Restu, Bu!" Milva terus terisak di lutut sang ibunda tercinta. Ia tak tahu harus bagaimana, bila tidak menuruti kemauan kedua orang tuanya. Kasihan mereka pasti akan disuruh membayar hutang. Namun, hati tak bisa dibohongi, ingin segera bebas
Setelah berjam-jam dirinya berkutat dengan pekerjaan rumah, akhirnya Milva bisa beristirahat. Wajah yang pucat juga keringat yang terus mengucur, rasanya sudah hampir pingsan. Namun, ia tetap menguatkan diri dan segera mengambil piring untuk makan. Baru ingin mengambil nasi tiba-tiba Milva terlonjak maget dengan suara ibu mertuanya, "Apa yang kau lakukan?""Ma-mau makan, Bu," ucap Milva terbata, dirinya sudah sangat lemas. Apa lagi sedari tadi perut belum diisi apa-apa. "Makan nasi saja, lauknya buat Restu." Milva hanya tersenyum getir. Ia pun tak bisa membantah, lagi pula apalah dirinya bila sampai membantah. Hanya anggukan sebagai jawaban. Bu Ningsih mengambil sepiring lauk yang berisi ayam. Semuanya di ambil, hanya tersisa nasi saja. Padahal dengan menantunya sendiri, kenapa bisa seperti itu? Akankah memang sudah garis takdirnya Milva? Namun, wanita mana yang akan tahan bila seperti itu, sungguh nasipnya miris sekali. Rasa lapar dan perut harus segera di isi, dengan terpaksa M
"Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya. Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan. Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur. Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah d
Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum. "Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh. "E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai. "Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut. "Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab. "Milva di mana?" tanya Restu spontan. "Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih
Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan
Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg
Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare