Sepuluh tahun telah berlalu sejak penyerangan di pusat Kademangan Janti, warga desa pun sudah hampir melupakan kejadian itu. Jasad para warga dan prajurit yang tewas dalam pertempuran sudah lama dikuburkan. Setiap tahun para warga mengenang para korban yang gugur dengan membawa sesajen ke makam mereka.
Sementara itu Mbah Bogel yang misterius menghilang begitu saja tanpa jejak. Kakek tua itu sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Warga desa yang mencarinya kemana mana sama sekali tidak pernah menjumpai sosok tersebut. Namun satu hal yang pasti, beberapa hari setelah Mbah Bogel menghilang, para warga yang dahulu sering memberinya makan dihebohkan dengan ditemukannya sekantong perhiasan dan kepeng emas di rumah mereka masing masing.
Kini, berkat penemuan itu, para warga secara bersuka rela memberikan sebagian harta itu kepada Demang Yasa. Jumlah yang diberikan warga jauh melebihi jumlah emas dan perhiasan yang dicuri oleh para perampok. Hal itu tentu tidak disia siakan oleh sang demang. Dia dan para sesepuh kademangan segera mempergunakannya untuk memperbaiki rumah warga yang rusak, menyewa tabib untuk mengobati warga, membeli peralatan dan senjata, sisanya untuk upeti kerajaan.
Dari pengelolaannya tersebut membuat Kademangan Janti menjadi semakin makmur. Bukan hanya pusat kademangan yang makmur, tetapi desa desa di sekitarnya juga merasakan imbasnya. Dari sini pula kini semakin bertebaran para pedagang dan rumah makan, serta penginapan di wilayah Janti.
Di salah satu rumah makan di pusat kademangan, padat sekali dipenuhi orang berlalu lalang keluar masuk. Pengunjung tersebut biasanya adalah para pedagang, pendekar, dan orang terpelajar dari luar pusat kademangan. Mereka datang dan pergi silih berganti. Dan kondisi itu berlangsung setiap hari selama beberapa tahun terakhir.
Seorang pelayan sedang menghidangkan makanan ke sebuah meja besar di ujung. Di meja itu seorang lelaki sedang asyik bercerita kepada rekan rekannya tentang desas desus yang tersebar saat ini.
"Hei, apa kalian tahu kabar terbaru dari Kademangan Gunung Rahastra?" Tanya lelaki itu membuka percakapan.
"Ah, kau baru datang dari sana kan? Kabar apa? Coba ceritakan!" Rujuk kawannya. Sementara yang lain juga siap memasang telinga mendengarkan.
"Kalian sudah tahu kan apa yang terjadi tiga tahun lalu di Gunung Rahastra?"
"Iya, kalau itu kami sudah tahu. Cerita tentang Demang Dhanacitra yang tewas di tangan para perampok Tanduk Api kan."
"Wah sampai sekarang aku pun masih tidak percaya kalau Demang Dhanacitra bisa dikalahkan oleh Jalada. Setahuku dia adalah salah satu demang yang memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi."
"Oh iya, Demang Yasa kan juga pernah beradu kelahi dengan Jalada sepuluh tahun lalu kan? Beruntung dia selamat."
"Nah, sekarang aku ceritakan desas desus terbaru." Ucapnya semakin menggebu gebu. "Selama tiga tahun ini seorang demang baru muncul di Kademangan Gunung Rahastra, namanya Demang Purwakanta. Demang ini dikirim dari pusat kerajaan sana. Kabarnya ilmu tenaga dalam dan kebijaksanaannya tidak kalah dari Demang Dhanacitra. Nah, semenjak dia dilantik, para perampok Tanduk Api sama sekali tidak berbuat ulah. Mereka menghilang begitu saja."
"Tapi ada kabar yang paling baru! Beberapa hari kemarin, para perampok Tanduk Api kembali membuat ulah. Mereka muncul di sebuah desa di wilayah Gunung Rahastra dan membuat keonaran disana. Hampir semua warga tewas, dan harta bemda mereka semua dibawa kabur."
"Ah, seram sekali mereka." Celetuk seorang yang mendengarkan.
"Nah, kini kabarnya Demang Purwakanta memberi sayembara. Bagi siapapun yang berhasil menemukan sarang para perampok itu maka akan dihargai sebanyak lima kepeng emas."
"Wow, banyak juga ya."
Seseorang yang baru bergabung tiba tiba berkata, "Eh, aku punya sebuah kabar paling baru."
"Kabar apa kawan? Coba ceritakan."
"Empat hari yang lalu, saat aku berada di Kademangan Lindujati, aku mendengar kalau beberapa desa di sekitar sana diserang dan dirampok habis habisan oleh gerombolan perampok Tanduk Api. Kabarnya, yang memimpin perampokan itu adalah sang wakil perampok, si Kijan."
"Wah, semakin gila sekarang mereka. Sudah berani menyerang hingga ke wilayah Lindujati. Apa mereka tidak takut kalau ulah mereka akan semakin mengusik pihak pusat kerajaan?"
Orang orang itu terus saja saling berbicara, tidak peduli dengan sekitarnya. Sementara itu di ujung jendela, seorang lelaki misterius duduk menghadap makanannya.
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela