Pangeran Karna Arindama yang selalu dirundung oleh semua orang di Istananya, terutama adiknya Pangeran Sisupala. Saat dirinya dijadikan samsak hidup ditengah hutan oleh Sisupala dan membuat tangannya patah. Namun dirinya malah diusir dari Kerajaan akibat fitnah yang dia terima. Yang membuatnya berjalan tanpa arah dan secara tidak sengaja memasuki hutan terlarang. Sebuah hutan yang mistis dan belum ditaklukan oleh prajurit. Disana dirinya menolong seekor kijang Kencana yang terlilit akar berduri, yang tanpa dirinya sadari dia telah menolong jelmaan Dewa Perang. Karna bertapa dalam waktu yang lama, dan Dewa Perang menerima pertapaannya. Kemudian menyembuhkan lukanya dan memberinya buah delima. Yang membuatnya mempunyai benih tenaga dalam. Perjalanan berikutnya dirinya bertemu dengan seorang Kakek yang adalah leluhurnya dari sepuluh keturunan yang lalu, telah menanti Karna selama beratus-ratus tahun. Sang leluhur melatih Karna ilmu perang dan tenaga dalam. Saat Karna berhasil menguasai tenaga dalam dan kekuatan tubuh emasnya, Sang leluhur memintanya kembali ke Kerajaan untuk mengikuti sayembara. Saat sayembara diadakan secara tidak terduga Karna merupakan keturunan terkuat yang selama ini dicari. Dirinya berhasil mengendalikan Pedang Agni Narakastra, yang merupakan pedang sakti yang hanya keturunan terpilih yang dapat memilikinya. Setelah keberhasilannya memenangkan sayembara itu, satu persatu orang mulai memihaknya Dalam merebut kembali gelar Putra Mahkota yang memang seharusnya dinobatkan padanya sebagai anak sulung. Segala konspirasi dan intrik dimainkan oleh Sisupala dan Adipati Situmba, sang Paman untuk menggagalkannya. Sebuah konspirasi yang membuatnya melanggar sebuah aturan kompetisi karena membunuh seorang ksatria. Dan mendapat hukuman untuk bersembunyi dan menyamar sebagai rakyat jelata. Membuatnya harus menunggu untuk mendapatkan gelarnya kembali. Dalam penyamarannya Dia dikenal sebagai Pendekar Pedang Api yang berjasa menumpas kejahatan dan teror perampok di Desa Pinang Selatan. Kemudian bertemu dengan tabib cantik bernama Rushali. Dari kedekatannya membawa mereka kembali ke Kerajaan dan tanpa disangka-sangka membawa mereka dalam kondisi yang tragis.
View MoreSuara teriakan Karna menggema di tengah hutan akibat tamparan yang pria itu terima dari adiknya, Sisupala.
Kekuatan penuh tenaga dalam itu membuat tubuh Karna terhuyung ke depan dan memuntahkan seteguk darah dari mulutnya. Kepalanya terasa berputar dan tubuhnya lemas. Berburu di hutan merupakan kegiatan rutin yang dimaksudkan untuk berlibur dari latihan ketat para murid. Namun, Karna tak menyangka kalau dia akan dijadikan sebagai samsak hidup oleh adiknya sendiri. Karna berusaha melawan dengan menggerakkan tangannya ke sana kemari, tapi tubuhnya terkunci dan tak bisa melakukan apa-apa. Sebab, beberapa rekan seperguruannya yang juga teman dekat Sisupala memegangi tangan dan pundaknya dengan tenaga dalam yang mereka kuasai. “Lepas!!” Tak adanya hasil membuat Karna menggeram. Meski dia bisa membela diri dengan kekuatan fisik yang mumpuni, tapi dia tetap tak bisa mengimbangi kekuatan mereka yang masing-masing sudah mencapai tingkat kanuragan menengah. Di saat-saat seperti ini, Karna sangat membenci diri sendiri karena tidak memiliki tenaga dalam sama sekali. Tak hanya perciknya, inti tenaga dalamnya saja tidak ada! “Kau tahu apa yang paling memalukan dalam hidupku? Itu adalah saat aku harus berbagi darah dengan orang sepertimu! Jangan pernah sekalipun kau berani menyebut dirimu kakakku—aku tak sudi!!” Sisupala memandang benci ke arah Karna yang telah tersungkur dengan mulut penuh darah. Karna adalah anak pertama dari Raja Durwasa dan Bunda Ratu Maharani, yang dipandang sebelah mata oleh orang tuanya. Tubuh lemah dan tanpa tenaga dalam, adalah sebab dimana dia dicap ‘Pangeran Sampah’. Pemandangan buruk yang sering dilihat oleh anak- anak yang lain, tapi tidak ada satupun anak yang berani untuk berteman dengan Karna. Sebab, tenaga dalam yang dimiliki Sisupala merupakan salah satu yang istimewa. Sebagai putra kedua yang berbakat, dia diperlakukan lebih istimewa dari Kakaknya. Bahkan, bakat alami dalam dirinya membuat Sisupala berhasil mendapatkan gelar Putra Mahkota meski dia merupakan anak yang lahir setelah Karna. “Apapun sebabnya, kamu tetap lebih muda dariku, Sisupala! Kamu tidak pantas melakukan ini!” Karna mencoba membela harga dirinya meski sudah terinjak lebih dari ribuan kali. “Tak peduli berapa umurmu, hanya orang kuat yang bisa menjadi pangeran dan diakui keberadaannya sebagai manusia! Kamu tak lebih dari sekedar onggokan daging yang hidup!!” Usai berkata demikian, Sisupala mengunci lengan Karna dan memutarnya ke atas dengan tenaga dalam yang ia punya. Penuh kebencian. Tindakan itu membuat tangan Karna patah dan terputar dengan bentuk yang tak normal. AAARRGGHHHH!!! Teriakan Karna kembali menggema dan membuat burung-burung merpati yang hinggap diatas pohon berterbangan. Seakan menyiratkan sakit yang dirasakan olehnya. Sisupala mengambil keris kecil di samping pinggangnya Kemudian menyayat tangannya dengan sengaja dan berkata, “Kita lihat bagaimana nasibmu setelah ini, Karna. Apa kamu masih bisa hidup? Apalagi setelah menyerang Putra Mahkota sepertiku!” Sisupala beranjak pergi setelah meludah sekali tanpa menatap ke tempat Karna yang sudah berguling di tanah dengan tangan kiri yang terkulai. Di dunia bela diri seperti ini, tenaga dalam adalah kunci dari keberhasilan sekaligus martabat sosial. Karna yang terlahir tanpa inti tenaga dalam sudah pasti merasakan perlakuan sosial timpang ini tanpa bisa membalas dengan layak meski kemampuan bela dirinya merupakan salah satu yang terbaik. *** "Ayahanda, aku benar-benar tidak mengerti kenapa Pangeran Karna tega melakukan ini padaku. Aku hanya mencoba membela diri!" ujar Sisupala dengan suara gemetar. Di hadapannya kini duduk dengan agung Ayahandanya, Raja Durwasa, yang memandang mereka tajam. Sisupala lalu melirik ke arah Karna dengan tatapan penuh rasa sakit, seolah-olah ia adalah korban yang menderita. "Pangeran Karna tiba-tiba menyerangku di hutan dan berkata bahwa aku telah merebut gelar Putra Mahkota darinya. Aku mencoba menenangkannya, tapi... tapi dia semakin beringas. Padahal semua orang pun tahu kalau Ayahanda adalah orang yang memberikannya padaku." Mendengar itu, Karna yang duduk bersimpuh dengan tangan yang di-gips langsung menatap Sisupala dengan tatapan tak terima. “Itu tidak benar! Ayaha–” “DIAM, KARNA!” Raja Durwasa memotong perkataan Karna yang terlihat ingin protes. Ia lalu memandang Sisupala dan mempersilakan pemuda itu berbicara lagi. Dalam tunduknya, Sisupala menyeringai sebelum kembali berkata dengan nada memelas. "Apabila Pangeran Karna tidak terima, tolong cabut kembali gelar itu, Ayahanda. Aku tak ingin persaudaraan kami berakhir karena masalah seperti ini!!" “Ah!” Ujar berkata demikian, Sisupala meringis kesakitan karena luka sayatan yang ada di lengan kirinya. “Sisupala, anakku kau terluka?!” Ratu Maharani berlari mendekat dan memegang tangan Sisupala cemas. “Keterlaluan!!! Karna! Bisa-bisanya kamu melukai adikmu seperti ini? Dia adalah Putra Mahkota!!” Ibu Ratu marah sambil menunjuk-nunjuk Karna. Dengan masih merasakan sakit yang tidak dapat digambarkan lagi, Karna berusaha untuk menyelamatkan diri. Sebab, perkataan Ibunya itu jelas mempertegas fakta bahwa dia telah menyerang calon raja. “Ayahanda, semua yang dikatakan oleh Pangeran Sisupala itu tidak benar! Dialah yang lebih dulu–” “Aku tidak mau dengar penjelasan apapun lagi. Dari dulu kamu memang selalu berusaha untuk mencelakai Sisupala, tapi sekarang kondisinya berbeda. Dia adalah Putra Mahkota! Penerusku di kerajaan ini!” Raja Durwasa tidak mau lagi mendengar apapun dari Karna. “Kamu yang merupakan seorang Pangeran pasti tahu apa hukum menyakiti Putra Mahkota, Karna.!” “Tidak, Ayahanda! Kamu sudah ditipu olehnya!” Mendengar perkataan itu, Karna membelalak dan kini tubuhnya sudah bergetar hebat. Hatinya sakit, apa dia memang harus berakhir seperti ini? Perdana Menteri dan para tetua yang melihat ini segera bangkit berdiri untuk melindungi Karna. Sebab, mereka juga tahu apa hukuman yang akan diterima Karna di balik benar atau tidaknya perkataan Sisupala itu. Hukuman mati. Perdana Menteri Danutra maju selangkah,“Mohon ampun, Tuanku Raja. Seberat apa pun perlakuan Pangeran Karna, dia masihlah darah daging Tuanku Raja. Dia adalah Pangeran. Tidak baik apabila Kerajaan menghukum mati pangeran sendiri, Tuanku!!” Perdana Menteri Danutra adalah anak dari Raja sebelumnya dengan seorang selir. Kebijaksanaan dan kepandaiannya amat diperlukan untuk keseimbangan Pemerintahan Kerajaan. “Tidak, Tuanku Raja! Tindakan Pangeran Karna memang sudah keterlaluan! Jika dibiarkan, bisa saja dia akan kembali membahayakan lagi Pangeran Sisupala! Hukuman mati adalah yang terbaik untuknya!” Adipati Situmba, paman dari Karna dan Sisupala berkata sambil melirik Karna dengan sinis. Situmba adalah kerabat Ratu Maharani yang sangat menyayangi Sisupala. Dia adalah salah satu pihak yang mendukung Sisupala untuk menjadi Putra Mahkota. “Sudah cukup! Sampai kapan pun, hukuman mati terhadap putra-putri Raja memang sebaiknya tidak dilakukan, Tuanku Raja! Namun, agar tindakan ini tak terjadi lagi, sebaiknya Pangeran Karna menerima hukuman dengan pergi meninggalkan istana!!” Salah seorang Tetua membungkuk dalam ke arah Raja Durwasa. Sebab, sudah tugasnya melindungi darah Raja demi kestabilan perusahaan. “Baiklah! Demi kestabilan Kerajaan Karmapura dan keselamatan penerus raja, Pangeran Karna akan diperintahkan untuk pergi dari istana dan jangan pernah kembali!” ucap Raja Durwasa. Perkataan Raja yang mutlak membuat beberapa orang prajurit segera menarik Karna dan membawanya pergi dari kerajaan. "Aku harus kemana sekarang?" Bersambung...Saat energi mereka mulai menyatu, Karna merasakan sesuatu yang belum pernah ia kenal sebelumnya mengalir dalam dirinya. Pandangannya tak lagi sekadar melihat; ia menangkap getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ketika menatap Rushali, dunia di sekitarnya seolah berpendar—dan sebelum bibir gadis itu bergerak, ia telah mendengar bisikannya. "Kau bisa mendengar ku?" tanyanya pelan. Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga." Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya. "Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya. Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna. Sekejap kemudian, ia muncul kembali di sisi lain, s
Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah gravitasi kehilangan kuasanya. Serpihan-serpihan kecil berputar lembut di udara, mengelilingi Rushali seperti tarian cahaya. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh hasrat melindungi Karna. Dengan gerakan refleks, dirinya mengangkat tangan. Saat itu juga, batu-batu besar terangkat tinggi dan menghantam dinding dengan keras, membuka jalur keluar yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, rasa takut perlahan menyusup. “Aku... Aku tidak tahu apa
Langkah mereka tergesa, berkejaran dengan napas yang memburu. Kegelapan menyelimuti lorong istana Kalingga, hanya diterangi nyala api yang memantulkan bayangan menari di dinding-dinding batu. Di belakang mereka, suara pertempuran masih menggema—teriakan kesakitan, denting logam bertemu logam, dan bau darah yang menguar semakin pekat. Rushali berlari di samping Karna, tangannya sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan. Misi mereka jelas—menemukan jalan keluar, mengumpulkan sekutu, dan menyelamatkan Kalingga sebelum semuanya terlambat. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat dada Rushali terasa lebih berat dari sekadar ketakutan akan kematian. Karna di sisinya, dengan mata elangnya yang terus mengawasi setiap sudut lorong, tubuhnya selalu sedikit condong ke arahnya, seolah naluri pertamanya bukan menyelamatkan diri sendiri, melainkan melindunginya. "Belok kiri!" seru Rushali, mengingat jalur yang lebih aman menuju ruang rahasia di sayap tim
Malam di Kalingga terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus membawa aroma logam yang samar, seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Di atas singgasana megahnya, Raja Santanu duduk dengan tenang, wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Namun, tatapan tajamnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya mengabaikan ancaman yang baru saja datang. Di hadapannya, seorang utusan berlutut dengan tubuh gemetar. "Baginda," suaranya parau, nyaris tercekat oleh ketakutan, "desa perbatasan di barat telah terbakar. Tidak ada yang selamat. Hanya ini yang kami temukan di antara puing-puing." Utusan itu mengangkat tangannya, menunjukkan secarik kain hitam berlambang ular bersayap merah. Sebuah tanda yang hanya dikenali oleh mereka yang cukup berani menyelidiki kegelapan sejarah Kalingga. "Bayang Niraka..." bisik seorang penasihat, wajahnya memucat. Namun, Raja Santanu hanya tersenyum tipis. "Mereka mulai bergerak lagi," gumamnya, seolah ini bukanlah hal yang mengejutkan. "Kirim pa
Pagi yang Ceria di Istana KalinggaMatahari pagi mulai menampakkan sinarnya, memancarkan kehangatan lembut yang menerangi taman istana. Aroma dupa yang menenangkan bercampur dengan embun pagi, menciptakan suasana damai yang jarang dirasakan oleh Karna dan Rushali dalam perjalanan mereka.Rushali membuka pintu kamarnya, rambutnya masih sedikit berantakan setelah istirahat yang panjang. Ia meregangkan tubuh sambil menikmati udara segar pagi itu. Pandangannya jatuh ke arah pendopo kecil di sudut istana, tempat Karna duduk bersila dalam posisi meditasi.Rushali menghentikan langkahnya, merasa malu karena ia baru saja bangun, sementara Karna sudah tampak begitu fokus dan tenang. Namun, Karna yang tampaknya merasakan kehadirannya, membuka satu matanya dan melemparkan ucapan menyindir.“Lepas sekali tidurmu, baru bangun jam segini!” ucap Karna dengan nada santai.Rushali yang masih setengah sadar menatapnya dengan mata menyipit. “Aku memang baru bangun, tapi kau tidak perlu mengingatkannya d
Ornamen ukiran berbentuk burung garuda dan bunga teratai menghiasi setiap sudut pintu gerbang, menandakan kearifan lokal yang kuat. Di kejauhan, istana terlihat megah dengan atap berlapis emas yang memantulkan sinar matahari sore.Mereka disambut oleh para prajurit dan pelayan istana yang telah bersiap dengan senyum ramah. Seorang abdi istana melangkah maju, memberikan hormat kepada keduanya."Yang Mulia Raja Santanu menantikan kehadiran Tuan dan Nona," katanya, mempersilakan mereka masuk dengan gestur yang penuh hormat.Rushali memandang Karna dengan sedikit ragu. "Apa menurutmu semua ini tidak berlebihan? Aku tidak merasa kita hanya tamu biasa," bisiknya.Karna mengangguk pelan. "Kita tetap harus waspada. Raja Santanu mungkin memiliki tujuan tertentu."Mereka melangkah melewati aula istana yang dihiasi ukiran khas Jawa, dengan tembok bercat putih gading dan tiang kayu jati berukir rumit. Sesampainya di balairung, Raja Santanu berdiri dari singgasananya. Ia adalah sosok yang berwibaw
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments