Share

Pulau Renjana

Suluh, Jelita, dan Baruno adalah tiga orang terakhir yang masuk kembali ke dalam kapal setelah sesi snorkeling usai. Melihat pemandangan mereka bertiga bercanda dan berkejaran di pesisir tadi, nampaknya seisi kapal mulai mencium gelagat kedekatan antara Baruno dan Jelita. Bergegas mereka bertiga membersihkan diri untuk siap melakukan kegiatan sesuai agenda selanjutnya.

“Teman-teman sukarelawan sekalian, makan siang sudah disiapkan. Setelah itu sesi bebas, boleh beristirahat. Sedikit lagi kita akan sampai di Pulau Renjana. Nah, sore nanti kita bersiap untuk mendaki bukit Renjana dan bermalam di puncak bukit. Siapa yang sudah tidak sabar?” ucap Pak Miko dari pengeras suara yang diikuti sorak sorai para peserta outing yang sudah berkumpul di geladak utama kapal.

“Yes, saya sudah tidak sabar, Pak!” seru Ahmad menimpali.

“Ahmad sekarang sudah tidak sabar, Pak, kalau semalam si Ahmad tidak sadar, Pak!” celoteh Baruno menanggapi seruan Ahmad.

“Lho, kenapa Ahmad tidak sadar?” tanya Pak Miko tanpa mematikan pengeras suara. Sehingga suaranya masih diikuti oleh dengungan yang dapat terdengar oleh seisi kapal.

“Kebanyakan minum autan, Pak!” tutur Baruno seenaknya yang diikuti dengan tawa beberapa peserta outing lainnya.

“Ah gaya aja si Baruno ini. Sombong banget mentang-mentang cewenya dua, sekapal lagi!” Ahmad tidak mau kalah. Seluruh peserta outingpun berbisik-bisik, mereka cukup paham bahwa yang dimaksud Ahmad ialah kedekatan antara Baruno dengan Jelita dan Helena. Wajah Baruno memerah dan ia menghentikan candanya.

“Sudah, sudah. Jadi lebih baik minum autan atau minum alkohol?” kelakar Pak Miko.

“Lebih baik segera tentukan pilihan satu dari dua wanita, sih, Pak! Mabuk alkohol sama mabuk cinta memang sama-sama bikin enak. Betul, kan, Baruno?” kata Suluh yang berusaha ikut bergabung dalam candaan yang sedang berlangsung itu. Seluruh peserta outing kembali pecah dalam tawa, seolah-olah perkataan Suluh menjawab keraguan mereka mengenai kedekatan Baruno dengan Jelita dan Helena. Helena hanya melengos mendengar hal itu. Diliriknya Jelita dari tempat ia duduk, yang dilihat hanya tertawa sembari menahan malu. Baruno menanggapi ejekan yang ditujukan kepadanya dengan melempar sebuah buku tipis ke arah Suluh di tengah keriuhan rombongan anak muda di atas kapal itu. Suluh dan Baruno kembali berkejaran.

“Wah, Suluh benar-benar minta diceburin ke laut, nih, sepertinya!” seru Baruno di sela-sela pengejarannya. Suluh hanya dapat terbahak-bahak sembari meminta ampun.

Satu jam setelah kejadian itu, seisi kapal terasa sepi. Sebagian besar peserta outing terlelap dalam tidurnya masing-masing setelah menyantap makan siang bersama. Mereka memanfaatkan waktu istirahat itu dengan tidur untuk mengembalikan tenaga dan energi selepas sesi snorkeling, agar tubuh mereka bersiap untuk aktifitas pendakian singkat di bukit Renjana menjelang sore nanti.

Pulau Renjana merupakan sebuah pulau wisata dengan keindahan bukit dan bawah lautnya yang mempesona. Pemerintah lokal benar-benar serius mengelola Pulau Renjana untuk menarik para wisatawan, baik domestik maupun internasional. Bukit Renjana yang berdiri asri di tengah Pulau Renjana juga menawarkan berbagai fasilitas yang sangat menarik bagi para wisatawan yang datang berkunjung. Di bukit itu, para pengunjung dapat mendirikan tenda untuk bermalam dan menikmati keindahan laut dari puncak bukit sambil menanti tenggelam atau menyongsongnya sang matahari. Lingkungan di Bukit Renjana sangat hijau asri, anginnya lembut segar, serta dilengkapi mata air sejernih kristal yang dijaga kelestariannya oleh para warga lokal dengan baik. Fasilitas sanitasi dan kamar mandi yang mumpuni juga turut menunjang daya tarik yang ditawarkan oleh Bukit Renjana yang kerap didatangi untuk acara yang melibatkan banyak peserta itu.

Alih-alih turut beristirahat dengan para peserta outing lainnya, Helena justru memilih untuk sibuk mempersiapkan keperluan mendakinya kelak. Ia mengisi ransel kecilnya dengan beberapa potong baju dan celana, peralatan mandi, senter kecil, sleeping bag, bahan makanan, obat-obatan, serta tak lupa ia bersihkan sepatu mendakinya.

“Helena,” sapa Pak Miko yang telah berdiri di ambang pintu bilik kamar Helena yang sedang membersihkan noda di sepatu mendakinya itu.

“Eh, Pak Miko. Iya, Pak, ada apa?”

“Nanti malam di atas Bukit Renjana, akan ada agenda perkenalan program sukarela untuk yayasan. Kamu sebagai ketua tim sukarelawan angkatan yang akan datang, tolong persiapkan materimu ya. Bapak juga sudah sampaikan hal yang sama kepada Jelita, ketua tim sukarelawan angkatan kemarin.”

“Baik, Pak, siap. Nanti saya akan presentasi program saya di mana, ya, Pak?” tanya Helena. Setahu Helena, mereka akan tidur di dalam tenda yang nanti akan mereka dirikan. Sehingga ia sedikit kebingungan akan seperti apa bentuk acara perkenalan program sukarela nanti.

“Nanti di atas bukit ada balai terbuka. Selepas jam sholat maghrib, kita semua akan berkumpul di balai itu sekalian juga nanti ada hidangan malam. Nanti kita semua berkumpul sembari berdiskusi ya. Kamu sampaikan ke teman-teman tim sukarelawan tentang program sosial yang akan kamu lakukan setelah kita semua pulang dari outing ini,” Pak Miko menjelaskan serinci mungkin. Helena mengangguk-angguk di tengah penjelasan itu.

“Oh, ada balai terbuka di atas bukit, ya. Siap Pak, akan saya persiapkan.” Helena kembali mempersiapkan kebutuhan mendakinya setelah Pak Miko beranjak pergi dari ambang pintu bilik kamarnya.

Tidak lama kemudian, kapal menepi di sisi Pulau Renjana. Seluruh peserta outing mulai kegirangan melihat pemandangan Pulau Renjana yang kini dapat mereka saksikan langsung di hadapan mereka. Tampak Pak Miko menyalakan pengeras suara hendak memberikan aba-aba petunjuk selanjutnya.

“Baik, teman-teman sukarelawan. Kapal sudah menepi dengan sempurna di Pulau Renjana. Ini sudah pukul tiga lebih lima belas waktu setempat. Teman-teman diharapkan sudah siap semuanya, ya! Sesi pendakian dari bawah sini hingga mencapai puncak Bukit Renjana rata-rata hanya membutuhkan waktu empat puluh hingga satu jam pendakian. Semoga tidak ada yang cedera dan kita dapat sampai di atas dengan selamat, lalu kita dirikan tenda, dan menikmati matahari terbenam bersama-sama. Sudah siap, semua?”

“Siap!!” seru para peserta outing bersamaan.

“Baiklah, sebelum mendaki mari kita semua berdoa dulu sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah itu, saya, Tama, dan Rani akan menjadi pemandu pendakian kecil ini. Tama akan memimpin pendakian, Rani akan berada di tengah-tengah kalian. Dan saya akan menutup barisan pendakian di belakang. Sekarang, mari kita berdoa terlebih dahulu.”

Setelah berdoa dan bersiap, pendakianpun dimulai. Tama memimpin barisan sembari memberikan arahan, sesekali ia melirik ke arah kompas digitalnya untuk memastikan ia mengambil jalur yang benar. Helena, yang cukup terbiasa mendaki gunung, berada di barisan depan. Tidak jarang ia menuai pujian dari teman-teman sukarelawan tentang betapa lincahnya ia dalam mendaki. Tanpa tongkat besi atau dahan kayu yang kuat, Helena dapat dengan sigap sedikit meloncat dari satu tanjakan ke tanjakan lainnya. Ia memilih untuk tidak berbicara atau bercanda selama mendaki, menghindari terbuangnya tenaga dengan sia-sia.

Lain halnya dengan Jelita yang kurang sigap. Ia dan Baruno berada di barisan tengah agak belakang dan berkali-kali mengeluhkan kakinya yang tertusuk tanaman tajam atau sekedar menghentikan langkahnya untuk mengatur nafas dan menenggak air mineral. Baruno nampak kewalahan karena harus mendaki sembari mengikuti kemauan Jelita yang beberapa kali merengek manja.

“Ayo, Jelita. Tahan dulu lelahnya, ya. Semangat, kamu bisa! Kalau sudah sampai di atas sana pasti semua lelah akan terbayar. Yuk, jalan lagi?” ajak Baruno kepada Jelita sambil menawarkan tangannya. Jelita menyambut tangan itu. Ia kembali mengatur nafasnya.

“Masih jauh, ya, No?” Jelita memejamkan matanya, menghalau sinar matahari yang panasnya cukup menusuk kulit dan matanya. Angin sepoi yang meniupkan pepohonan hingga daun-daunnya mengangguk lembut bahkan tidak dapat mengalahkan panasnya mentari saat itu. Di kiri dan kanan jalur pendakian terlihat banyak semak yang cukup tinggi dengan bunganya yang bermekaran kecil, sangat kontras dengan hijaunya daun yang menutupi sebagian besar Bukit Renjana. Sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengalir terhalang bebatuan, membuat arus air terpecah dan menimbulkan suara yang begitu menyejukkan di telinga.

“Tuh, ada suara air mengalir, kan? Berarti ada kehidupan di sini. Itu berarti juga, kita sudah lumayan dekat dengan puncak Bukit Renjana,” tanggap Baruno optimis walaupun ia juga tidak terlalu yakin bahwa mereka sudah dekat dengan tujuan. Tetapi setidaknya, hal itu dapat sedikit melegakan rasa lelah Jelita. Jelita melanjutkan pendakiannya dengan sedikit terseok-seok.

“Kok jalannya begitu, masih sakit ya betismu karena tadi tertusuk tumbuhan Duri Jarum?” tanya Baruno.

“Oh, itu tadi namanya Duri Jarum?” Jelita bertanya balik.

“Hahaha, iya. Nenekku orang asli Renjana, sejak kecil aku sudah beberapa kali mengunjungi Pulau Renjana dan mendaki Bukit Renjana. Jadi aku tahu beberapa tanaman berbahaya di sepanjang jalur pendakian, untuk berjaga-jaga.”

“Wah…” Jelita sedikit kaget mendengar cerita Baruno dan menghentikan langkahnya saking terpukaunya.

“Aduh, kok malah berhenti, sih? Ayo, dong! Nanti kita terlambat sampai di puncak bukit. Masih jauh, lho, perjalanan kita ini.” ajak Baruno sembari sedikit menyeret tangan Jelita agar mau melanjutkan langkahnya.

“Lho tadi katamu kita sudah dekat dengan puncak?” Jelita sedikit kesal sembari menekuk wajahnya dengan manja, sedikit merengek seperti yang sudah berkali-kali ia lakukan sepanjang pendakian. Baruno lupa bahwa ia sudah membohongi Jelita, lalu ia tertawa.

“Hahaha, ketauan, deh! Ya sudah, sebagai permohonan maafku karena sudah membohongimu, aku akan menggendong kamu selama sepuluh menit perjalanan, mumpung jalur di depan cukup landau, nih.s Tapi setelah itu kamu janji ya akan berjalan sendiri lagi dengan semangat! Oke?” Baruno memang mudah memikat hati Jelita. Sebenarnya tidak hanya Jelita saja, kepiawaian Baruno dalam membawa diri membuatnya menjadi orang yang mengasikkan dan disukai di pergaulannya. Akan tetapi, kasus Jelita kali ini berbeda. Jelita yang sedikit pemurung dan mudah patah semangat merasa sangat beruntung mengenal Baruno yang dapat mengimbangi kepribadiannya itu. Baruno sebagai laki-laki merasa amat berguna dan berharga tatkala semangat yang ditularkannya kepada Jelita membuat Jelita melihat dunia dari perspektif yang lebih optimis.

Begitulah cara jatuh cinta bekerja. Ia melengkapi apa yang dirasa kurang dalam diri kita, dialirkannya hangat perasaan itu hingga yang kosong dalam diri kita terasa penuh, terasa genap. Memang benar bahwa kita harus bahagia dengan diri kita sendiri sebelum membahagiakan orang lain, namun getaran kasih sayang tahu bagaimana membuat proses mencintai diri sendiri dan orang lain itu menjadi lebih indah.

Kebetulan saat itu jalur pendakian yang akan Baruno dan Jelita dihadapi tidak terlalu dipenuhi dengan tanjakan yang berarti, bahkan cenderung landai. Maka dari itu, Baruno menyanggupi untuk menggendong Jelita selama sepuluh menit ke depan. Jelitapun beranjak naik ke punggung tegap Baruno. Jantung Jelita berdegup lebih kencang saat tubuhnya bersentuhan dengan punggung Baruno. Aroma parfum Baruno yang bercampur sedikit keringatnya yang sedang menghalau alam seketika membuat Jelita merasa lebih aman dan nyaman. Baruno memindahkan ransel bawaannya ke bagian depan tubuhnya. Dengan tubuh Jelita yang melingkar di punggungnya, Baruno berjalan dengan mantap walaupun bebannya bertambah sedikit berat.

“Seperti  sedang memikul kayu ya, No?” Jelita melempar canda untuk menenankan dirinya yang sedikit gugup dipikul Baruno.

“Enak saja kamu bilang kamu setara dengan kayu. Lebih berat, tahu ngga?” Baruno berjalan lebih cepat untuk mengejar beberapa peserta yang sudah agak jauh di depan mereka.

“Terus, seperti memikul apa, dong?” tanya Jelita sembari melingkarkan tangannya ke bagian leher Baruno. Baruno tak dapat menampik bahwa ia juga merasakan getaran yang sama di sekujur tubuhnya terutama saat Jelita mencoba memeluknya dari belakang seperti sekarang ini.

“Ya udah deh, seperti memikul kayu. Hehehe”

“Yes, asik! Berarti aku ngga berat ya, No!”

“Eh, tapi kayunya serratus kilogram, lho!”

“Hahaha, enak saja kamu, No!”

Karena Baruno terus mempercepat langkahnya, kontan saja ia dapat menyusul beberapa peserta yang berjalan di depannya. Sambil masih memikul Jelita di punggungnya, serta tas ransel yang ia pindahkan ke bagian depan tubuhnya, Baruno menyapa beberapa temannya yang berhasil disusulnya. Pemandangan itu sontak membuat para peserta outing menjadi bersorak. Tidak sedikit dari mereka yang mengamini agar Jelita dan Baruno menjalin cinta dengan serius.

“Ya ampun kalian sempat-sempatnya mendaki bukit masih tetap romantis, ya. Langgeng deh kalian sampai kakek nenek. Hahaha,” seru Maria yang menjadi orang pertama disapa Baruno sembari berjalan menyusuri jalur pendakian.

“Hahaha, gemas sekali kalian, ya! Nampaknya Baruno sudah menentukan pilihannya. Eh, hati-hati ya, No, itu yang digendong anak orang, bukan anak monyet. Awas, hati-hati di depan situ sudah mulai tanjakan lagi!” seru Rahmi yang berjalan di depan Maria.

“Ya iyalah ini anak orang. Memangnya kalau ini anak monyet, tidak boleh berhati-hati?” timpal Baruno menggoda Rahmi.

“Ya bukan begi…” belum selesai Rahmi berbicara, Baruno buru-buru memotongnya.

“Kalau anak macan?”

“Hhhm…”

“Kalau anak kucing?”

“Duh, No…”

“Kalau anak paus?”

“Kalau anak paus ya ngga ke bukit, tinggalin aja dia di kapal! Dasar!” tutur Rahmi setengah berteriak dengan sedikit kesal karena dipermainkan Baruno.

“Ya ampun, Rahmi sih lagian orang jatuh cinta kok ditanggapi. Capek sendiri, kan?” tutur Maria yang dibarengi dengan sorakan peserta outing lainnya.

Keseruan itu terdengar hingga barisan depan. Helena menoleh ke belakang. Dipelototinya Baruno dari kejauhan yang sedang menggendongJelita di punggungnya. Jelita menggelayut di atas punggung Baruno dengan amat senang seperti anak balita yang sedang bermain dengan kakaknya. Perlahan Jelita kembali melingkarkan kedua tangannya di leher Baruno dan menempelkan pipi kanannya di tengkuk belakang Baruno. Baruno yang meringis menahan beban dan terpapar panasnya mentari mendadak tersenyum kecil. Walaupun kecil, senyuman itu tertangkap mata oleh Helena secara amat jelas dari kejauhan.

“Baruno! Hei, Baruno!” Helena berteriak sangat kencang memangil Baruno dengan nada tinggi. Baruno menengadahkan kepalanya yang sedikit tertunduk dan mencari sumber suara yang memanggilnya. Didapatinya Helena yang masih membelalakan mata ke arahnya.

“Ya?” jawabnya sembari mengambil nafas panjang dan menurunkan Jelita dari gendongannya setelah menyadari tanjakan kembali muncul di hadapannya. Sesuai janji, Baruno hanya akan menggendong Jelita selama sepuluh menit perjalanan.

“Apa-apaan kamu ini, malah bermesra-mesraan? Ini acara outing program sukarelawan, sangat tidak pantas dan tidak sopan kalau kita semua mendapatkan pemandangan seperti itu. Perilakumu seperti orang tidak berpendidikan. Tahu?” tegur Helena dalam satu tarikan nafas dengan matanya yang masih terbelalak. Matanya mendadak terasa panas, hembus nafasnya berantakan, dan tangannya mengepal. Helena marah. Baruno terpaku karena merasa dibuat malu di depan para peserta outing yang berhenti sesaat karena mendengar seruan Helena. Kini belasan pasang mata memandang Baruno, Jelita, dan Helena secara bergantian. Jelita menundukkan wajahnya, ia merasa bersalah karena telah membuat malu Baruno.

“Nah, kan, kejadian nih! Istri pertama marah nih akhirnya gara-gara Baruno kebanyakan cewe. Hahaha” celetuk Suluh yang kali ini tidak diikuti oleh tawa riuh peserta outing lainnya. Sebaliknya, beberapa dari mereka justru memberikan kode kepada Suluh untuk diam. Suluh sekonyong-konyong berhenti tertawa dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya, ia baru menyadari bahwa ia salah menempatkan diri. Tidak seharunya kejadian yang serius ini dibawanya dalam canda. Helena benar-benar marah terbakar api cemburu, ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya terhadap Baruno yang selama ini hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang sahabat. Helena berpaling, meninggalkan Baruno yang masih tidak dapat berkata-kata dan beberapa peserta yang masih berdiri melingkari kejadian itu. Helena terus melanjutkan pendakian dan tidak mau peduli dengan drama ciptaannya itu.

Helena kembali mendaki dengan lincah. Kali ini ia memimpin pendakian itu bersama dengan Tama. Begitulah Helena, perempuan cerdas dan tegas yang suka mengambil alih kendali. Buatnya, ia harus selalu memenangkan keadaan. Baruno masih terpaku, seperti sedang mencerna dan memproses sesuatu yang ada di kepalanya. Ia dapat mengenali betul perasaan yang mendadak bersarang di dadanya. Ia geram dipermalukan seperti tidak punya harga diri di hadapan banyak orang, dan lebih marah lagi saat dijadikan bahan olokan ketika ia sedang merasa malu. Tanpa berpikir lebih panjang, direngkuhnya kaos Suluh yang berdiri di dekatnya, lalu didaratkannya beberapa pukulan keras yang menghantam tubuh Suluh.

“Hei, Suluh! Tahu ngga tempatnya bercanda di mana? Bukan di sini, bukan sekarang! Apa kamu bodoh? Tolol? Stupid?” bentak Baruno di telinga Suluh. Bak, buk, bak buk! suara beberapa pukulan yang dilayangkan Baruno ke arah Suluh membuat Suluh jatuh tersungkur di tanah. Suluh berusaha bangkit dan mengumpulkan sisa tenaga untuk membalas pukulan itu. Melihat hal itu Pak Miko datang melerai keduanya. Jelita menahan tubuh Baruno, dan Pak Miko mencoba menarik mundur badan Suluh. Beberapa peserta outing yang semula kembali melanjutkan perjalanan terhenti dan berhamburan untuk melerai Suluh dan Baruno. Baruno meronta agar semua yang menahan tubuhnya dapat segera melepaskannya. Tubuhnya yang tinggi tegap dan kuat itupun dapat dengan mudah melepaskan semua yang menahannya dalam satu kali kibasan.

“Aaarrgghhh!!” teriak Baruno setelah ia dapat kembali lepas. Ia kembali melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya mencerminkan amarah, ditinggalkannya orang-orang yang sedari tadi mengerumuninya. Bahkan Jelitapun tidak lagi ia pedulikan.

Selang satu jam kemudian, semuanya telah berkumpul dengan selamat di atas Bukit Renjana. Pak Miko kembali memberikan arahan bagi para peserta untuk mendirikan tenda yang telah disiapkan oleh yayasan tempat mereka menjadi sukarelawan. Rencananya, satu buah tenda akan ditempati oleh dua hingga tiga orang. Jelita dan Rani memutuskan untuk berada pada satu tenda.

Setelah mendirikan tenda mereka, Jelita berjalan di sekitar lingkungan tempat mereka mendirikan tenda. Didapatinya Baruno yang sedang duduk seorang diri di kursi kayu yang membentang cukup panjang di tepi tebing. Di tangannya terdapat segelas plastik kopi instan hangat dan matanya menatap lurus ke depan. Benar-benar tidak ada siapa-siapa di situ selain Baruno. Jelita menghapiri Baruno dengan langkah yang cukup hati-hati, ia masih menebak-nebak suasana hati lelaki pujaannya itu.

“Ba… Baruno,” sapa Jelita lembut sembari mencolek pundak Baruno. Baruno menoleh kea rah Jelita yang berdiri di belakangnya. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi dengan tatapan mata yang mengarah pada kursi yang sedang ia duduki itu.

“Duduk!” pinta Baruno singkat. Jelita duduk di sebelah Baruno. Gadis itu terkagum-kagum melihat pemandangan yang membentang dari tempat ia duduk. Nampak dari sana lautan dengan gradasi biru yang terlihat jelas. Debur ombak dan suara air laut bersatu padu. Laut Renjana yang tenang itu dikelilingi beberapa pulau yang cantik, namun jelas Pulau Renjana yang paling terkenal akan kemolekannya. Angin laut berhembus menembus baju yang Jelita kenakan, membuatnya sedikit bergidik dan mengusap-usapkan telapak tangannya ke lengannya. Melihat Jelita kedinginan, buru-buru Baruno melepas jaketnya dan dilingkarkanya ke tubuh Jelita. Jelita tersenyum dan mereka saling berpandangan begitu dalam. Angin yang sama ternyata turut membuat rambut Jelita menutupi wajahnya. Baruno merapikan rambut Jelita yang menghalau pandangannya ke wajah manis Jelita. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut keduanya.

“No…” Jelita membuka suara.

“Aku minta maaf ya, No. Mungkin kalau aku tadi tidak banyak mengeluh sepanjang pendakian, kamu tidak akan menggendongku dan dengan begitu kamu tidak akan malu dengan segala olokan dan teguran yang…” Jelita berusaha melanjutkan kata-katanya, namun belum sampai habis ia mengutarakan rasa bersalahnya, bibirnya terkunci oleh sesuatu yang hangat. Baruno mengecup lembut bibirnya. Jantung Jelita seolah jatuh ke laut, lalu melambung tinggi hingga langit ke tujuh, lalu jatuh diantara bintang-bintang. Sensasi yang selama ini ia bayangkan akhirnya dapat ia rasakan. Jelita memejamkan mata, menikmati ciuman itu dan berharap tidak melepaskannya.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin aku yang terlalu lancang. Seperti yang baru saja terjadi. Aku lancang mencium bibirmu tanpa seijinmu,” jawab Baruno sedetik setelah menyudahi ciuman yang amat Jelita nikmati itu. Baruno menyeruput kopinya yang sudah tidak terlalu hangat itu.

“Lancang yang seperti apa maksudmu?”

“Aku seperti menganggap sekitarku terlalu enteng. Terlalu santai. Helena ada benarnya, mungkin aku harus lebih serius dalam mengikuti program ini. Bagaimanapun perjalanan ini bagian dari program sukarelawan. Dan program itu sendiri bukan semata-mata untuk tujuan hura-hura.” Mendengar penjelasan Baruno, Jelita mengangguk mengerti.

“Sudah, yuk, kita bergabung dengan yang lainnya di sana. Kata Pak Miko kita semua akan menikmati sunset bersama-sama,” ajak Jelita.

“Oh iya, nanti kamu akan menjadi salah satu pembicara diskusi di balai ya?”

“Iya, nih, No. Hhhmm… Helena juga akan presentasi nanti.”

“Semangat ya, Jelita! Yuk, kita bergabung dengan yang lain!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status