LOGINSatu minggu.Sudah satu minggu sejak aku mengambil Black Card itu dan menjual jiwaku pada Ethan.Dan dalam satu minggu itu, penthouse ini berubah. Bukan perabotannya, tapi penghuninya.Aku berdiri di depan cermin besar di walk-in closet. Pantulan di sana bukan lagi Ayu Chintya si resepsionis hotel yang memakai seragam kaku.Aku bukan lagi tawanan yang menangis di pojokan. Aku adalah tunangan Ethan Mahendra. Setidaknya, itulah peran yang harus kumainkan.Aku mengambil napas panjang, lalu melangkah keluar kamar.Menuju pintu ganda di ujung lorong barat yang selalu tertutup rapat.Ruang kerja Ethan.Dua penjaga berjas hitam yang berdiri di depan pintu tersentak kaget melihatku datang. Mereka saling pandang ragu."Nona," sapa salah satu dari mereka kaku. "Tuan Ethan sedang rapat online dengan direksi. Dia tidak bisa diganggu."Dulu, aku akan minta maaf dan mundur. Tapi hari ini berbeda."Minggir," kataku tenang.Penjaga itu ternganga. "Ta-tapi Nona, perintah Tuan...""Perint
"Bram... di sini?"Suaraku nyaris tak terdengar, tertelan oleh gemuruh AC sentral yang mendadak terasa terlalu bising.Tubuhku membeku. Rasa dingin yang familiar merambat dari ujung kaki ke kepala. Bukan karena dinginnya AC, tapi dinginnya ketakutan. Bayangan wajah Bram—tatapan mesumnya, bau alkohol dari mulutnya, dan cengkeraman tangannya yang kasar—kembali menghantuiku di tengah kemewahan penthouse ini."Bagaimana bisa?" bisikku. "Dia cuma preman lokal! Bagaimana dia bisa melacakmu sampai ke Amerika?"Ethan berjalan ke arah meja kerjanya, menyambar sebuah tablet, dan mengetik sesuatu dengan cepat menggunakan satu tangan."Jangan remehkan obsesi pria yang kehilangan barang miliknya, Chintya," kata Ethan dingin, matanya terpaku pada layar. "Dan jangan lupa, Bram bukan cuma preman. Dia punya koneksi dengan sindikat perdagangan manusia di Asia Tenggara. Seseorang memberinya info tentang jet pribadiku."Tiba-tiba, suara interkom di dinding berbunyi nyaring. Bip-bip-bip.Itu suara
Tiga hari berlalu sejak malam berdarah di terowongan itu.Tiga hari yang anehnya... damai.Ethan memulihkan diri di penthouse dengan kecepatan yang tidak wajar. Luka tembak yang seharusnya membuat orang biasa terbaring seminggu, baginya hanya seperti goresan kertas. Dia sudah kembali bekerja di ruang kerjanya, meskipun lengan kirinya masih digendong penyangga arm sling hitam.Aku? Aku terjebak dalam peran baruku: perawat paruh waktu dan tawanan purna waktu.Pagi ini, aku keluar dari kamar untuk mencari kopi. Namun, langkahku terhenti di ruang tengah.Ruangan yang biasanya minimalis dan rapi itu kini penuh sesak.Puluhan kotak oranye dengan logo Hermès, tas belanja hitam Chanel, kotak merah Cartier, dan tumpukan kotak sepatu berjejer memenuhi sofa, meja, bahkan lantai."Apa ini?" gumamku bingung."Kompensasi."Ethan muncul dari balkon, mengenakan kemeja sutra hitam longgar yang tidak dikancingkan sepenuhnya, memperlihatkan perban putih di dadanya. Di tangan kanannya, ia memeg
Cahaya matahari yang masuk melalui celah gorden tebal memaksaku membuka mata.Leherku kaku. Punggungku pegal luar biasa. Aku mengerjap, menyadari bahwa aku tertidur dalam posisi duduk di Kursi samping ranjang, dengan kepalaku bertumpu di kasur, tepat di samping lengan Ethan.Dan tanganku... masih menggenggam tangannya.Aku tersentak kaget, buru-buru menarik tanganku seolah baru saja menyentuh bara api.Ethan sudah bangun.Ia berbaring di sana, bersandar pada tumpukan bantal. Wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah terbuka sempurna. Gelap, tajam, dan waspada. Tidak ada jejak anak kecil yang menangis ketakutan semalam.Sang Raja sudah kembali ke takhtanya."Kau tidur seperti orang mati," komentarnya datar.LaAku merapikan rambutku yang berantakan dengan gugup. "Berapa lama kau sudah bangun?""Cukup lama untuk menghitung berapa kali kau mendengkur," jawabnya, sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyum miring yang menyebalkan.Wajahku memanas. "Aku tidak mendengkur! Dan
Bau antiseptik.Dingin.Sunyi.Aku membuka mata perlahan. Pandanganku kabur, menangkap langit-langit putih bersih yang dihiasi lampu gantung kristal kecil. Ini bukan surga. Surga tidak mungkin berbau obat-obatan.Aku mencoba bangun, tapi seluruh tubuhku terasa remuk. Otot-ototku menjerit protes. Ingatan tentang terowongan, ledakan granat, dan Jordan yang menembak berputar kembali di kepalaku seperti film horor."Jangan bergerak terlalu cepat, Nona."Suara berat seorang wanita menghentikanku. Aku menoleh. Seorang perawat berseragam putih sedang merapikan infus di tanganku."Saya di mana?" tanyaku serak."Di kediaman Jenderal Wiranto," jawabnya sopan namun kaku. "Anda pingsan selama sepuluh jam karena kelelahan dan dehidrasi."Jenderal Wiranto. Ayah Ethan."Ethan..." Aku tersentak duduk, mengabaikan pusing di kepala. "Di mana Ethan? Apakah dia masih hidup? Dia kehilangan banyak darah!"Perawat itu tidak menjawab. Pintu kamar terbuka.Seorang pria tua masuk. Jenderal Wiranto.
"Maafkan saya, Nona. Tapi Tuan Ethan tidak seharusnya keluar dari terowongan ini hidup-hidup."Kalimat itu diucapkan dengan nada datar yang mengerikan, seolah Jordan sedang membacakan menu makan malam, bukan vonis mati.Pistol di tangannya terarah stabil ke kepala Ethan yang terkulai di bahuku. Jarak kami hanya lima meter. Di terowongan sempit ini, dia tidak mungkin meleset."Kenapa, Jordan?" tanyaku, suaraku bergetar hebat. Air mata mengaburkan pandanganku. "Kau asistennya! Kau orang kepercayaannya! Dia mempercayaimu!"Jordan tersenyum tipis, matanya yang sipit berkilat di balik kacamata."Kepercayaan adalah mata uang yang mahal, Nona. Dan ada orang lain yang membayar lebih mahal daripada Tuan Ethan malam ini."Ia melangkah maju satu langkah. Sepatunya mencipratkan lumpur."Letakkan Tuan Ethan di tanah," perintahnya. "Dan minggir. Saya tidak dibayar untuk membunuh Anda. Perintahnya hanya melenyapkan Sang Raja.""Dan membiarkan aku hidup?" tanyaku histeris. "Kau pikir aku bod







