Arlan membalas senyum Damian tak kalah sinis. "Kalau itu yang Anda inginkan, Pak. Saya tidak masalah," ucap Arlan begitu santai.Tantangan Damian, disambut begitu saja oleh lelaki itu. Tanpa diketahui Arlan, bahwa Damian dikenal sebagai pria berhati dingin. Dalam benaknya, beragam skenario untuk mempersulit langkah Arlan, sudah mulai dipikirkan. Damian bahkan tak melewatkan bagian sekecil apa pun. Ia tak akan segan menghukum siapa pun yang berusaha menghalangi jalannya. Termasuk memberikan pelajaran kepada Alisha yang telah menerobos garis batas tak kasatmata yang selama ini digariskan Damian. Apalagi Arlan yang notabene seorang lelaki dan jelas-jelas ikut campur dalam urusan mereka. Damian paling tidak suka, kesenangannya diusik. Lantas, bisa-bisanya Arlan bersikap seolah menjadi pahlawan di saat yang sama sekali tak tepat. Maka, ia pun akan melihat, seberas apa kemampuan yang dimiliki oleh lelaki itu. Untuk melindungi apa yang dimiliki. Dimiliki? Damian tersenyum sinis saat k
Langkah Damian berhenti di balik pintu. Ia baru saja menerima panggilan yang membutuhkan privasi khusus ketika kembali ke ruangannya. Seseorang yang baru saja meneleponnya memberikan informasi penting yang ia cari selama dua minggu terakhir. Seharusnya ia merasa lega begitu kembali ke ruang kerjanya. Namun, perasaan Damian memburuk seketika. Saat itu indra pendengarannya menangkap suara bising dari balik pintu ruangannya berada. Senyum sinis seketika membingkai wajah sang pria. Di mana pun, semua anak buah sama saja. Mereka pasti akan membicarakan atasannya di belakang. Begitu juga para staf creative departement yang resmi dikepalai Damian mulai hari ini. Padahal, ia sudah rela meninggalkan kota tempat dirinya tinggal sekarang.Hanya demi membantu sang teman yang merupakan pimpinan perusahaan untuk memajukan perusahaan periklanan tersebut. Namun, anak buah yang harusnya bisa diajak bekerja sama, memiliki mental pengecut. Bagaimana bisa perusahaan ini mencapai target bahkan melamp
Lirikan sesama karyawan begitu mendengar ucapan sang direktur utama, membuat Damian sigap membawa pria berkacamata itu ke dalam ruangannya. Sebelum semua orang semakin gempar akibat pengakuan sang pria yang terkadang suka lepas kontrol itu. Memang itulah susahnya memiliki partner besar mulut yang suka membicarakan hal-hal tak terduga seperti Devano. "Lanjutkan pekerjaan kalian!" ucap Damian sambil mendorong punggung sang direktur utama. "Alisha, tolong bawakan minuman untuk kami," imbuhnya lagi tanpa menunggu tanggapan dari perempuan yang menatapnya dengan raut tidak percaya. Damian tak hendak peduli. Ia harus menyelamatkan diri sebelum si pria berkacamata itu semakin bicara omong kosong di hadapan para staf. "Apa aku membuat kesalahan?" ucapnya begitu Damian menutup pintu di belakang punggungnya. Pria itu membuang napas geram. Tangannya sudah mulai mengepal dan bersiap melayangkan pukulan ke wajah Devano. Sang direktur utama yang menyeretnya ke tempat ini. Kalau bukan hubunga
Langkah Alisha berhenti tepat di pintu sang atasan. Tangannya sibuk menahan berat nampan ketika hendak mengetuk pintu kaca tersebut. Ia cukup kesulitan. Harusnya ia terima saja bantuan dari Arlan ataupun Rini yang menawarkan untuk mengetukkan pintu untuknya. Sementara ia membawa nampan berisi dua buah cangkir berisi kopi yang baru saja seduh. Hanya saja, Alisha tak ingin merepotkan siapa pun. Terlebih Arlan yang sudah dibuat repot akibat terlibat perdebatan dengan Damian setelah berusaha menolongnya. Sebenarnya, mereka pun melarang Alisha melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugasnya. Namun, demi menghindari amukan sang atasan, ia memilih mengalah.Meski tidak membenarkan perilaku Damian yang memintanya untuk membuat minuman. Mungkin ia perlu menegaskan pada Damian, bahwa dirinya bukan bekerja sebagai office girl ataupun asisten pribadi pria itu. Melainkan menjadi graphic designer untuk divisi creative department Pixa Growth Advertising. Untuk saat ini, Alisha hanya ingin tugas
Devano terus mendesak Damian begitu mereka telah kembali ke dalam ruangan. "Kau tertarik padanya kan?"Sudut bibir Damian tersenyum kecut mendapati pertanyaan itu. "Jangan ngaco! Aku sudah mengatakan dengan jelas. Jangan membuatku mengulang pembicaraan!""Heh, aku kenal kamu sudah sejak lama, Bung! Apa menurutmu waktu puluhan tahun tak cukup bagiku untuk menebak kau tertarik atau tidak pada, Alisha?"Sudut bibir Damian kembali tersenyum sinis. Ia tak tertarik memberikan tanggapan dari ocehan Devano yang kini tengah menikmati secangkir kopinya. "Ini enak. Dia pandai sekali membuat kopi. Tapi, apa kau tidak kelewatan? Kau membiarkan seorang desain grafis membuat secangkir kopi. "Apa kau beranggapan dia asisten pribadimu?"Ucapan Devano kali ini hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pikiran Damian berkecamuk. Ada sesuatu yang menganggu dirinya sejak pagi.Damian bukanlah orang yang mudah tertarik pada perempuan. Pria yang tahun ini memasuki usia ketiga puluh tujuh i
Suasana di antara mereka tampak tegang. Hampir tak ada percakapan di antara keduanya. Bukan hanya hampir, tapi memang tak ada percakapan sama sekali antara Alisha dengan sang atasan. Baik Alisha ataupun Damian sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terlebih bagi Alisha yang sengaja tak ingin identitasnya diketahui sang atasan. Ia sengaja menghindari percakapan dengan Damian di luar urusan pekerjaan. Membicarakan urusan pekerjaan saja sudah membuat Alisha naik darah, bagaimana mereka bisa membicarakan hal lain? Rasanya tak mungkin mereka bakal menjadi teman ngobrol satu sama lain. Lebih dari itu, tanpa berbincang dengan sang atasan saja sudah membuat jantung Alisha berdegup kencang. Apalagi saat ia merasakan tatapan yang mengintimidasi dari sosok pria yang berdiri di belakangnya sambil bersandar pada dinding elevator. Degup jantung Alisha makin kencang dengan berbagai kemungkinan yang ia pikirkan dalam benaknya. 'Kenapa dia serius gitu sih? Tidak mungkin dia tahu siapa aku
"Tentu saja tidak!" seru Alisha menjawab pertanyaan sang atasan. Meski tak bisa menyembunyikan kegugupannya dengan sempurna, perempuan itu tetap berusaha tampak biasa saja. "Mana mungkin kita pernah bertemu? Bapak kan selama ini tinggal di Paris!" imbuhnya masih dengan suara lantang hanya demi menutupi kegugupannya. Sementara Damian menatapnya dengan sepasang alis berkerut. "Paris? Dari mana kamu tahu kalau selama ini aku tinggal di Paris?"Alisha cukup kaget dengan pertanyaan yang diajukan Damian. Namun, ia tak bisa menunjukkannya begitu saja di depan sang atasan. Ia berusaha keras mencari alasan agar Damian tak curiga. Sebab, tidak mungkin Alisha mengatakan bahwa ia bertemu dengan pria itu dan menghabiskan malam bersama sang atasan selama di Paris. "Ada rumor yang mengatakan kalau Bapak, tinggal di Paris selama ini." Kebohongan Alisha tidak sepenuhnya keliru. Ia memang mendengar rumor yang mengatakan bahwa Damian adalah seorang pria blesteran Prancis dan Indonesia. Namun, buk
Sepasang mata Alfian mengerjap cepat. Lelaki itu berusaha mencerna ucapan Alisha yang terdengar ambigu. Selama menjalin hubungan dengannya, Alisha bahkan hampir tak mau dia sentuh. Berciuman pun, jika lelaki itu tak memaksanya lebih dulu, Alisha tak akan mengizinkan Alfian menyentuhnya. Lantas bagaimana mungkin ungkapan yang terdengar ambigu itu, terucap dari mulut Alisha? Perempuan itu pasti bergurau. Namun, ekspresi serius Alisha membuat lelaki itu meragu seketika. "A-apa maksud kamu, Sha? Kamu ... jadi selama ini ... kamu juga mendua di belakangku?"Tawa Alisha lepas seketika. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu. "Benar-benar lucu. Kamu kira aku sama kayak kamu?!" ucap Alisha dengan nada mengejek. "Lebih baik kamu pergi sekarang, sebelum aku benar-benar memanggil Satpam!" imbuhnya dengan penuh penekanan. "Tunggu, tunggu! Kamu harus jelaskan dulu apa maksud ucapan kamu, Sha? "Jadi, kamu sudah pernah tidur dengan laki-laki dan ora