Beranda / Horor / Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku / Bab 2. Melamar Jadi Pengantar Peti Mati

Share

Bab 2. Melamar Jadi Pengantar Peti Mati

Penulis: Sisi Ryri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-12 10:48:18

“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.

“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”

“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”

“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.

Ini!

Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.

“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.

“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.

“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”

“Oh, ya!”

“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”

Jaka hanya mengangguk lalu mengambil sebatang rokok yang segera dia nyalakan sedang petugas keamanan berjalan tegak menuju ruang HRD yang akan menentukan nasib Jaka selanjutnya.

Setelah menghabiskan sebatang rokok petugas keamanan kembali dengan senyuman. Dia lalu mengulurkan tangan membuat Jaka mengernyitkan keningnya.

“Selamat!” ucapnya singkat.

Hah!

Doa Jaka terkabul dia diterima kerja di posisi yang dia lamar. 

Gampang! 

Hanya itu yang ada di kepala pria tampan ini. Tentu ini tak sebanding dengan keraguannya selama ini yang membuatnya tak pernah mau bergerak untuk melamar pekerjaan. 

Pekerjaan ini sangat menyenangkan, Jaka tidak bermodalkan apa-apa. Kendaraan, bahan bakar, dan segala macamnya sudah disiapkan. Dia juga dapat uang makan dan pastinya bonus jika pekerjaannya selesai tepat waktu. Jadi dia tinggal berangkat dan menerima upah. Sungguh pekerjaan impian semua orang.

Setelah yakin diterima, Jaka kemudian bertemu dengan Danu, kepala gudang yang akan mengatur keberangkatan Jaka setiap hari. Danu pria 40 tahun yang ramah dan selalu memotivasi Jaka untuk menerima pekerjaan ini meski sesekali Jaka masih saja terlihat ragu.

Hari pertama Jaka sebagai supir peti mati akan dimulai pagi ini. Roro yang kini tengah hamil besar tidak berhenti tersenyum sejak subuh. Dia sangat puas karena suaminya mendapatkan pekerjaan. Sesekali bayi dalam perutnya diusap dan ditepuk pelan. Wanita itu menjanjikan bubur dan pakaian bagus pada anak pertamanya tersebut.

"Jaka, tolong antarkan peti mati ini ke rumah duka. Alamatnya di Malang. Untuk alamat lengkapnya akan saya tuliskan." kata Danu dengan ramah.

Danu yang rampung menuliskan alamat lengkap pada selembar kertas itu kembali menghadap Jaka. Jaka yang langsung menerima kertas tersebut manggut-manggut. Rupanya Jaka familiar dengan Kepanjen, tempat tujuan Jaka hari ini. Barangkali hanya memakan waktu satu jam dari Lawang, tempat pabrik ini berdiri.

"Baik, Pak. Setelah ini akan langsung saya antarkan."

Danu mengangguk sembari menyerahkan kunci mobil pengantar peti mati. Lantas Jaka diminta untuk memanaskan mesin sembari menaikkan peti tersebut ke atas mobil.

“Ini bayaranmu!” tegas Danu lalu menyodorkan amplop putih tebal ke arah Jaka.

“Saya langsung dibayar?” Jaka berlaga sungkan padahal sebenarnya dia girang bukan kepalang.

“HRD dengar istrimu sedang hamil. Jadi aku bayar kamu sebelum berangkat, jadi kamu bisa langsung pulang setelah antar peti!”

“Alhamdulillah! Terima kasih, Pak!” Jaka mencium punggung tangan Danu berkali-kali.

Betapa tidak, meski belum menghitung jumlah uang dalam amplop Jaka sangat yakin jumlah uang ini lebih dari yang dibayangkan.

Seusai mobil dipanaskan, Jaka langsung pamit pada Danu dan bergegas untuk berangkat. Mobil dikemudikan dengan kecepatan konstan menuju kota. Sepanjang perjalanan itu Jaka tidak berhenti bersenandung. Mengapa tidak dari dulu saja dia bekerja sebagai pengantar peti mati? Pekerjaan ini mendatangkan untuk yang begitu besar.

Jaka menginjak rem perlahan mengikuti rambu lalu lintas. Cahaya lampu lalu lintas yang berwarna merah itu kemudian berganti warna kuning. Sekian detik usai itu kendaraan dari belakang berlomba-lomba menyerukan klakson. Rambu berganti hijau.

Jaka yang hendak meningkatkan kecepatan mobil seketika merasakan sesuatu yang aneh dari arah belakang. Bukan! Bukan dari pengendara lain di belakangnya. Akan tetapi, dari arah peti mati yang dia bawa.

"Anakku sayang, malang sekali nasibmu!"

Suara seorang wanita dengan nada bergetar membuat tengkuk Jaka merinding. Suara itu seolah-olah menggema, menubruk pendengarannya. Usai itu suara tangis mengalun panjang dan semakin lama volumenya meninggi.

“EH!” Jaka yang penakut nyaris tidak fokus. Sembari meningkatkan kecepatan mobil, lelaki itu menggigit bibir takut. Seumur-umur dia hampir tidak pernah merasa horor seperti ini.

Tangisnya mengalun merdu. Berbaur dengan suara khas wanita yang ditahan. Sesekali suara itu sesenggukan. Hingga kemudian tangisnya pecah sudah.

"Tolong kami! Tolonglah anakku yang malang ini!"

Lagi! Suara itu semakin jelas terdengar. Tangan Jaka yang sibuk memutar kemudi bergetar hebat. Berulang kali dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu hanya halusinasi. Meski hati Jaka tidak mampu menyangkal. Ya, suara itu ada!

Jaka tidak mampu menoleh ke belakang. Sendi-sendi lehernya seketika kaku. Kakinya lemas, nyaris mati rasa. Kalau saja keterampilan berkendaranya tak sempurna, mobil itu mungkin sudah oleng.

Jaka terpejam sedikit lebih lama sebelum memberanikan diri melihat kaca mobil. Di belakang tidak ada siapa-siapa! Tangis itu tidak lagi terdengar. Ucapan seorang wanita yang berulang kali menyebut sang anak seketika berhenti. Gemuruh dada Jaka semakin tak karuan.

Jantungnya berdetak lebih kencang dan dia semakin sesak. Keringat dingin bercucuran. Selintas dia berpikir, 'Apakah aku akhiri saja pekerjaan ini?'

Ini adalah tugas pertamanya sebagai seorang pengantar peti mati. Akan tetapi, kejadian semacam ini sudah langsung membuatnya menciut.

Namun, mengingat upahnya yang cukup besar membuat Jaka berpikir berulang kali. Apakah dia harus melanjutkan perjalanan ke Malang atau balik putar pulang ke rumah?

Jelas! Jika dia pulang sekarang, Roro akan marah habis-habisan seperti sebelumnya. Jaka sudah malu bukan kepalang kalau Roro meributkan perkara uang. Sembari mengumpulkan keberanian, Jaka membanting setir belok kiri menuju jalan satu arah.

Jaka berusaha mengalihkan perhatian dari suara-suara yang mengganggunya itu. Uang lima ratus ribu yang diiming-imingi Danu berharap bisa mengalihkan hawa-hawa negatif yang menghampirinya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, berharap waktu tiga puluh menit itu bisa dipangkas jauh dan dia langsung melesat sampai ke tempat tujuan. Jaka tidak menyangka peti mati ini rasanya sangat horor.

"Siapapun kau, tolong selamatkan Laras-ku!"

Deg!

Jaka mengerem mobilnya secara mendadak. Injakan rem itu terlewat kuat hingga mobil di belakangnya memencet klakson terlewat kencang. Jaka terlonjak kaget.

Suara wanita yang beberapa waktu lalu menyingkap pendengarannya kembali singgah. Kali ini suara itu terdengar semakin jelas dan menyeramkan. Hawa mencekam kembali mengurung Jaka. Seisi mobil mendadak horor.

 “Astaga!” bisik Jaka ketakutan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 72. Roro Kembali

    Meski tawa Dumadi begitu sinis tapi Jaka tetap harus mendengarkannya. Mereka terus berada di rumah Irawan sampai akhirnya langit perlahan gelap dan Jaka sadar kalau ini saatnya pulang.Dia bersama Bowo kemudian memasuki kembali mobil pick up tua yang berjalan begitu lambat menyusuri jalan pulang yang hari itu terlihat lebih lengang.Sesekali mata Jak terlihat sayu karena lelah dengan semua kejadian barusan dan kembali terang begitu tiba di jalan kampung yang berarti dia semakin dekat dengan rumahnya."Aku turun di sana aja," ucap Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang tegap."Oh!" Sedetik kemudian Jaka sudah menyalakan lampu sein dan mobil perlahan bergerak ke kiri.Tangan Bowo segera membuka pintu lalu melambai begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah yang basah, sepertinya hujan turun beberapa saat lalu. "Ah, sudah sampai," ucapnya lalu menutup pintu dengan tangan kirinya."Yok!" jawab Jaka singkat lalu kembali menginjak pedal gas sebelum Bowo menyampaikan salam perpisahan.Entah men

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 71. Irawan Kemana

    Serpihan itu perlahan terbang meninggalkan rumah mewah milik perwira polisi itu meski Jaka dan Bowo terus mengamatinya.Butiran-butiran itu terbang begitu bebas kemudian menghilang tersapu angin."Itu!" teriak Bowo menyadari ada yang salah dari diamnya mereka. "Kemana mereka?" Pertanyaan itu membuat Jaka tersadar, Irawan yang ada di kamar tiba-tiba menghilang. Entah kapan dia pergi, mungkin saat Red menghilang atau mungkin saat mereka lengah.Gila!Teriak Jaka lalu melangkah masuk ke dalam kamar milik sepupunya itu dengan wajah penuh kesedihan. "Bagaimana aku bisa melupakannya," desis Jaka lalu masuk ke dalam kamar untuk memastikan apa yang dia lihat. "Dia benar-benar hilang," ulang Jaka setelah memastikan jika kamar itu memang sudah kosong."Sudah! Sudah!" Tiba-tiba dari dinding yang bisa terlihat sesosok cahaya yang kemudian dikenali Jaka sebagai Gunawan, ayahnya. "Aku tau ini pasti terjadi. Mereka pasti punya rencana jahat hingga kamu harus hati-hati padanya.""Ayah, tapi dia meng

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 70. Balas Dendam Darma

    "Diam!" teriak Marni yang sudah sejak tadi ingin menghabisi adik ipar Jaka itu. "Kamu tidak akan bisa lari lagi. Sekarang aku akan menghabisimu!" Darma yang mendengar perkataan Marni langsung berdiri karena ternyata tadi yang melilit tubuhnya tidak berfungsi. Dia lalu menatap wajah Marni yang ketakutan kemudian menepis tangan pelayan Irawan itu kuat-kuat hingga pisau yang ada di tangannya terpetal jauh."Kee--napa kamu bisa sekuat ini?" tanya Marni tidak percaya."Mas, habisi dia. Dia ini setan. Dia akan mudah kamu taklukkan sekarang!" teriak Darma lalu memutar lehernya ke arah Jaka.Tidak perlu menunggu, Jaka langsung mendekat ke arah Marni. "Tenyata mudah mengalahkanmu!" teriak Jaka lalu meremas jemarinya untuk siap membogem wanita paruh baya itu.Plas!Tangannya melayang dan wajah sedetik kemudian wajah Marni remuk karena bogemannya itu. Ah!Marni terkapar di atas lantai lalu melirik ke arah kamar dimana Irawan sudah jadi mayat hidup yang tidak kunjung dijemput sang malaikat maut

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 69. Aku Tau Kelemahan Mereka

    "Aku tau kelemahan mereka," desis Darma lalu melirik ke arah Jaka.Hah!Jaka terbelalak mendengar perkataan adik iparnya itu merasa tidak mungkin tapi wajah Darma nampak begitu yakin dengan apa yang dikatakannya."Lalu apa yang kamu tau soal mereka?" tanya Bowo dengan wajah kebingungan. "Kalau bisa kita habisi saja sekarang,"Mendengar perkataan Bowo wajah Darma yang awalnya begitu yakin sontak berubah tertunduk. Dia lalu melirik ke arah Jaka yang masih duduk di sampingnya kemudian berkata. "Tapi aku tidak tau caranya,"Mmm!Jaka yang tadinya yakin pada Darma dengan kesal berkata. "Kamu ini kayak kentut. Tadi yakin banget, sekarang ragu. Sebenarnya mau kamu apa, sih?""Ada sosok yang terang di saat aku mau masuk ke gerbang kematian, Mas. Dia bilang kamu adalah orang yang kuat, hanya saja ketidakyakinan itu membuatmu lemah."Deg!Jantung Bowo berdegup kencang, dia teringat pada perkataan Nenek Manda soal kekuatan Jaka yang tersembunyi. Dia lalu menarik tangan Jaka kuat-kuat hingga kepa

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 68. Darma Ingin Membantu

    "Kalian harus ijinkan Darma tetap di rumah itu dan membantu Jaka dari rong-rongan Irawan," bisik Nenek Manda dengan suara yang tiba-tiba jadi lantang. Tidak cuma suaranya yang jadi lantang, mata Nenek Manda berubah jadi merah dan rambutnya seperti terkibar angin yang datang dari sekeliling rumah.Bowo yang tidak mengerti tentang perubahan diri wanita tua itu hanya terdiam memandangi sorot mata yang begitu asing baginya. Dia terus mencoba mengartikan apa gerangan maksud dari nenek sakti ini. "Apa yang kamu maksud sebenarnya?" tanya kernet baik itu berharap Manda mau menjelaskan lebih detail maksud perkataannya."Aku tau ini terdengar aneh, tepi kamu harus biarkan Darma di sana. Hanya itu tugas terakhir Darma di hidupnya,""Apa?" Bowo terbelalak. Dia kembali teringat cerita ibu warung kalau adik ipar Jaka itu saat ini sedang dalam keadaan koma dan bisa kapan saja meninggal.Bowo berusaha menenangkan diri karena kabar ini bukan kabar bagus baginya, dia terus berharap apa yang dia pikirk

  • Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku   Bab 67. Benar-Benar Jahat

    "Tidak ada!" teriak Bowo setelah memastikan dua sosok itu sudah pergi dari tempat yang mereka duga adalah tempat persembunyian mereka."Iya, tapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini. Mereka berdua masih mau Mas mati," tambah Darma lalu mendekat ke arah Jaka. "Mas tau kan kenapa aku tidak mau Mas jadi korban mereka?""Apa?" tanya Jaka semakin penasaran dengan keputusan adiknya yang tidak mau meninggal padahal saat ini dia sedang ada di gerbang antara hidup dan mati."Karena Rio, Mas. Anakmu masih butuh kamu dan aku lihat tenagamu semakin hari semakin tipis saja. Sepertinya ada sesuatu denganmu hingga tenaga pemberian nenak sakti itu tidak semuanya bisa kamu dapatkan!"Jaka mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Darma sore itu. Semenjak beberapa hari lalu tenaganya sudah tidak sebesar sebelumnya. Dia kembali jadi penakut seperti tidak berdaya apa lagi saat pelayan Irawan yang notabene adalah seorang wanita menyerangnya saja dia tidak bisa mengelak.Mendengar cerita Darma tentang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status