Share

Bab 2. Melamar Jadi Pengantar Peti Mati

“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.

“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”

“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”

“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.

Ini!

Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.

“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.

“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.

“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”

“Oh, ya!”

“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”

Jaka hanya mengangguk lalu mengambil sebatang rokok yang segera dia nyalakan sedang petugas keamanan berjalan tegak menuju ruang HRD yang akan menentukan nasib Jaka selanjutnya.

Setelah menghabiskan sebatang rokok petugas keamanan kembali dengan senyuman. Dia lalu mengulurkan tangan membuat Jaka mengernyitkan keningnya.

“Selamat!” ucapnya singkat.

Hah!

Doa Jaka terkabul dia diterima kerja di posisi yang dia lamar. 

Gampang! 

Hanya itu yang ada di kepala pria tampan ini. Tentu ini tak sebanding dengan keraguannya selama ini yang membuatnya tak pernah mau bergerak untuk melamar pekerjaan. 

Pekerjaan ini sangat menyenangkan, Jaka tidak bermodalkan apa-apa. Kendaraan, bahan bakar, dan segala macamnya sudah disiapkan. Dia juga dapat uang makan dan pastinya bonus jika pekerjaannya selesai tepat waktu. Jadi dia tinggal berangkat dan menerima upah. Sungguh pekerjaan impian semua orang.

Setelah yakin diterima, Jaka kemudian bertemu dengan Danu, kepala gudang yang akan mengatur keberangkatan Jaka setiap hari. Danu pria 40 tahun yang ramah dan selalu memotivasi Jaka untuk menerima pekerjaan ini meski sesekali Jaka masih saja terlihat ragu.

Hari pertama Jaka sebagai supir peti mati akan dimulai pagi ini. Roro yang kini tengah hamil besar tidak berhenti tersenyum sejak subuh. Dia sangat puas karena suaminya mendapatkan pekerjaan. Sesekali bayi dalam perutnya diusap dan ditepuk pelan. Wanita itu menjanjikan bubur dan pakaian bagus pada anak pertamanya tersebut.

"Jaka, tolong antarkan peti mati ini ke rumah duka. Alamatnya di Malang. Untuk alamat lengkapnya akan saya tuliskan." kata Danu dengan ramah.

Danu yang rampung menuliskan alamat lengkap pada selembar kertas itu kembali menghadap Jaka. Jaka yang langsung menerima kertas tersebut manggut-manggut. Rupanya Jaka familiar dengan Kepanjen, tempat tujuan Jaka hari ini. Barangkali hanya memakan waktu satu jam dari Lawang, tempat pabrik ini berdiri.

"Baik, Pak. Setelah ini akan langsung saya antarkan."

Danu mengangguk sembari menyerahkan kunci mobil pengantar peti mati. Lantas Jaka diminta untuk memanaskan mesin sembari menaikkan peti tersebut ke atas mobil.

“Ini bayaranmu!” tegas Danu lalu menyodorkan amplop putih tebal ke arah Jaka.

“Saya langsung dibayar?” Jaka berlaga sungkan padahal sebenarnya dia girang bukan kepalang.

“HRD dengar istrimu sedang hamil. Jadi aku bayar kamu sebelum berangkat, jadi kamu bisa langsung pulang setelah antar peti!”

“Alhamdulillah! Terima kasih, Pak!” Jaka mencium punggung tangan Danu berkali-kali.

Betapa tidak, meski belum menghitung jumlah uang dalam amplop Jaka sangat yakin jumlah uang ini lebih dari yang dibayangkan.

Seusai mobil dipanaskan, Jaka langsung pamit pada Danu dan bergegas untuk berangkat. Mobil dikemudikan dengan kecepatan konstan menuju kota. Sepanjang perjalanan itu Jaka tidak berhenti bersenandung. Mengapa tidak dari dulu saja dia bekerja sebagai pengantar peti mati? Pekerjaan ini mendatangkan untuk yang begitu besar.

Jaka menginjak rem perlahan mengikuti rambu lalu lintas. Cahaya lampu lalu lintas yang berwarna merah itu kemudian berganti warna kuning. Sekian detik usai itu kendaraan dari belakang berlomba-lomba menyerukan klakson. Rambu berganti hijau.

Jaka yang hendak meningkatkan kecepatan mobil seketika merasakan sesuatu yang aneh dari arah belakang. Bukan! Bukan dari pengendara lain di belakangnya. Akan tetapi, dari arah peti mati yang dia bawa.

"Anakku sayang, malang sekali nasibmu!"

Suara seorang wanita dengan nada bergetar membuat tengkuk Jaka merinding. Suara itu seolah-olah menggema, menubruk pendengarannya. Usai itu suara tangis mengalun panjang dan semakin lama volumenya meninggi.

“EH!” Jaka yang penakut nyaris tidak fokus. Sembari meningkatkan kecepatan mobil, lelaki itu menggigit bibir takut. Seumur-umur dia hampir tidak pernah merasa horor seperti ini.

Tangisnya mengalun merdu. Berbaur dengan suara khas wanita yang ditahan. Sesekali suara itu sesenggukan. Hingga kemudian tangisnya pecah sudah.

"Tolong kami! Tolonglah anakku yang malang ini!"

Lagi! Suara itu semakin jelas terdengar. Tangan Jaka yang sibuk memutar kemudi bergetar hebat. Berulang kali dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu hanya halusinasi. Meski hati Jaka tidak mampu menyangkal. Ya, suara itu ada!

Jaka tidak mampu menoleh ke belakang. Sendi-sendi lehernya seketika kaku. Kakinya lemas, nyaris mati rasa. Kalau saja keterampilan berkendaranya tak sempurna, mobil itu mungkin sudah oleng.

Jaka terpejam sedikit lebih lama sebelum memberanikan diri melihat kaca mobil. Di belakang tidak ada siapa-siapa! Tangis itu tidak lagi terdengar. Ucapan seorang wanita yang berulang kali menyebut sang anak seketika berhenti. Gemuruh dada Jaka semakin tak karuan.

Jantungnya berdetak lebih kencang dan dia semakin sesak. Keringat dingin bercucuran. Selintas dia berpikir, 'Apakah aku akhiri saja pekerjaan ini?'

Ini adalah tugas pertamanya sebagai seorang pengantar peti mati. Akan tetapi, kejadian semacam ini sudah langsung membuatnya menciut.

Namun, mengingat upahnya yang cukup besar membuat Jaka berpikir berulang kali. Apakah dia harus melanjutkan perjalanan ke Malang atau balik putar pulang ke rumah?

Jelas! Jika dia pulang sekarang, Roro akan marah habis-habisan seperti sebelumnya. Jaka sudah malu bukan kepalang kalau Roro meributkan perkara uang. Sembari mengumpulkan keberanian, Jaka membanting setir belok kiri menuju jalan satu arah.

Jaka berusaha mengalihkan perhatian dari suara-suara yang mengganggunya itu. Uang lima ratus ribu yang diiming-imingi Danu berharap bisa mengalihkan hawa-hawa negatif yang menghampirinya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, berharap waktu tiga puluh menit itu bisa dipangkas jauh dan dia langsung melesat sampai ke tempat tujuan. Jaka tidak menyangka peti mati ini rasanya sangat horor.

"Siapapun kau, tolong selamatkan Laras-ku!"

Deg!

Jaka mengerem mobilnya secara mendadak. Injakan rem itu terlewat kuat hingga mobil di belakangnya memencet klakson terlewat kencang. Jaka terlonjak kaget.

Suara wanita yang beberapa waktu lalu menyingkap pendengarannya kembali singgah. Kali ini suara itu terdengar semakin jelas dan menyeramkan. Hawa mencekam kembali mengurung Jaka. Seisi mobil mendadak horor.

 “Astaga!” bisik Jaka ketakutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status