"Baik," Jaka tiba-tiba mendapatkan keberaniannya dan melakukan apa yang diperintahkan Dumadi.Dia menembus dinding dan sedetik kemudian mulai mengenali tempatnya berada. Matanya menyapu sekeliling mencari sang ayah dan benar saja sosok yang dia cari sedang duduk seperti menunggu kedatangannya kembali."Ayah!" Jaka berlari cepat lalu menarik tangan pria tua yang matanya bercahaya melihatnya. "Ayo, kita pergi.""Alhamdulillah," Kaki Gunawan langsung menapat ke tanah lalu melangkah cepat mengikuti Jaka yang sudah tidak sabar untuk pergi."Cepat!" Teriakan Dumadi menggema dan mata Jaka menatap tajam ke arah dia harus keluar."Ayah, ayo!" pinta Jaka yang melihat langkah pria tua itu tidak bisa lebih cepat. Saat Jaka melirik ke arah ayahnya yang berjalan semakin lambat di belakangnya, Dumadi mulai cemas. Tenaganya sudah banyak berkurang untuk menahan terbukanya pintu astral di depannya. "Jaka, cepat!" pintanya tapi Jaka malah memutar tubuhnya ke arah Gunawan. "Aku tidak sanggup, Jaka. Kak
"Terima kasih, Mas. Kalau nggak ada Mas, aku pasti masih ada di dunia hitam itu," ucap Gunawan pada Dumadi temannya yang akhirnya dia temui setelah sekian lama."Eh, kenapa harus minta maaf kepadaku?" tanya Dumadi lalu terkekeh.Pertemuan itu akhirnya jadi pertemuan yang manis karena Gunawan memang sudah lama tidak melihat sosok teman yang selalu saja membantunya selama hidup.Gunawan juga berterima kasih pada dukun yang dia tau masih berhubungan dengan Irawan, yang masih menjadi misteri andilnya di kehidupan baru mereka ini."Kamu pasti lelah, kenapa tidak tidur dulu," potong Dumadi lalu melirik ke arah Jaka yang nampak bingung di tengah percakapan ayah dan temannya ini."Tidur?" Jaka menghela nafas panjang sebelum akhrinya bangkit dari tempat duduknya. "Ya, aku akan tidur. Sebentar saja.""Lama juga nggak papa," imbuh Gunawan yang memang ingin bertanya banyak pada teman dukunnya itu."Oh," Jaka lalu melangkah menuju kamar dan mulai membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur nyaman y
"Baik, kalau begitu aku akan segera pergi ke pabrik,"Dumadi tersenyum mendengar perkataan Jaka yang begitu bersemangat setelah dia menuturkan apa yang akan terjadi hari ini.Dia bisa tau semuanya, karena pria tua ini memiliki kemampuan meramal hingga tidak sulit baginya membaca apa yang akan dihadapi Jaka sejam yang akan datang.Setelah bersiap, Jaka bergegas pergi ke pabrik bersama Dumadi dengan berjalan kaki. Setiba di pabrik, dua orang pria berbaju polisi nampak berdiri di gerbang pabrik kemudian mencegat Jaka yang datang dengan mengendarai sepedah motornya."Selamat pagi," Pria berbaju polisi itu kemudian memasang posisi hormat ke arah Jaka membuat kening pemuda ini berkerut."Pagi, ada apa ya, Pak?" tanya Jaka lalu menghentikan motornya."Kami dari kepolisian. Semalam ada pencurian di pabrik sehingga pabrik di tutup untuk sementara selama proses penyelidikan," jelas polisi tadi dengan wajah yang begitu serius."Astaga," gumam Dumadi yang berdiri di samping Jaka. "Setahuku tempat
"Tidak, Pak. Dia datang untuk membantuku saja." jawab Jaka sambil menggaruk tengkuknya. "Jangan marah,""Tidak, aku tidak marah. Hanya merasa aneh saja, kenapa ada mahluk astral di sini," Danu lalu menarik tangan Jaka menuju ruangannya lalu mempersilahkan bawahannya itu duduk di kursi seberang mejanya. "Ada apa?" tanya Jaka yang tidak mengerti maksud dari Danu."Begini," Danu lalu mengatakan maksud hatinya sambil berbisik agar teman kerja Jaka yang lain tidak mendengarkan perkataan mereka. "Jadi aku rasa dia ada main di pabrik ini," tutur Pak Danu dengan suaranya yang marah."Astaga, dia lagi,""Benar," Danu menghela nafas berat lalu menoleh ke arah kantor tempat seseorang masuk dan mengacak-ancak tempat itu malam tadi. "Entah apa maksudnya,"Saat Danu nampak begitu marah, Dumadi nampak mendekat. Dia lalu duduk di samping Danu yang hanya terdiam meski tau kedatangan Dumadi untuk membantunya menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan itu."Aku rasa Bapak lebih baik pergi dari pabrik
"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari."Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu."Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh saba
“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.Ini!Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”“Oh, ya!”“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”Jaka hanya mengangguk l
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m