Rawon Daging Ayah Mertua

Rawon Daging Ayah Mertua

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-05-23
Oleh:  Fatimah humairaTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat. 2 Ulasan-ulasan
40Bab
2.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Jannah, seorang wanita pekerja keras. Kesulitan ekonomi dalam hidup, membuatnya terpaksa harus membanting tulang, melakukan semua pekerjaan yang dianggapnya halal. Dari mulai menjadi tukang cuci gosok di Kampung tetangga, sampai memulung barang rongsok atau botol-botol bekas di jalanan. Suaminya yang hanya berprofesi sebagai tukang ojek pengkolan membuatnya tidak bisa mengharapkan nafkah lebih dari sang suami. Sifat tempramen Herman suaminya yang tidak segan-segan akan menyakiti fisik Janah jika Janah mengeluh soal nafkah padanya, belum lagi sifat buruk lainnya seperti suka main judi dan main perempuan, membuat Janah harus extra sabar menghadapi kehidupan rumah tangganya dengan Herman. Walaupun Janah tinggal dekat dengan Orang tua Suaminya, tidak lantas membuat Janah bisa menggantungkan hidup pada Mereka. Ibu mertuanya yang super cerewet dan juga Ayah mertuanya yang suka jelalatan memandang Janah dengan penuh nafsu, jika Janah main ke rumah mereka walau hanya sekedar ingin menjenguk saja, membuatnya segan dan malas walaupun terkadang Ia sangat membutuhkan bantuan untuk sekedar meminjam uang untuk membeli beras.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 Nasib Sial ku

"Nih, uang belanja hari ini. Jangan boros-boros, harus pintar mengatur keuangan kau, Janah! " ucap suamiku, sambil melempar satu lembar uang berwarna hijau.

Apa tidak salah dengar, aku? suamiku memintaku harus pandai mengatur uang, yang jumlahnya saja tidak seberapa. Mana beras habis, nasi tidak ada, apanya yang boros? dasar lelaki, seenaknya saja jika bicara.

"Bu Ida, beli berasnya satu kilo, telur 2 butir, sama minyak goreng kemasan gelasnya satu, ya!"

Aku mengambil uang 20ribu, yang tadi Bang Herman lemparkan, padaku. Lalu dengan segera aku belanjakan, karena takut jika uangnya kembali diminta oleh Suamiku yang gila judi itu.

"Gak ngutangkan, Janah?"

Bukannya mengambilkan pesananku, Bu Ida malah bertanya padaku untuk memastikan kalau aku tidak berhutang kali ini.

"Tenang saja, Bu Ida! saya bayar kontan. Nih uangnya, pas 20 ribu kan, semua belanjaannya?" sahutku, sambil menyodorkan uang lusuh yang tadi diberikan, Bang Herman.

"Nah, gitu dong. Kalau belanja tuh sekalian bawa duitnya, jangan bisanya ngutang mulu, bisa bangkrut aku nanti, kalau kau hutangi terus, Janah!" gerutu Bu Ida, tambah membuatku kesal saja.

"Iya, Bu Ida. Kalau ada uang mah mana mungkinlah saya ngutang. Kecuali kalau lagi bokek, ya apa mau dikata, biar ngutang juga yang pentingkan dibayar," sungutku.

Lalu segera aku pergi dari warung itu, dari pada bikin hati tambah gondok, yang akhirnya membuatku bertengkar seperti biasa dengannya.

Ku masak beras yang tadi ku beli, lalu kugoreng dua buah telur itu menjadi telur mata sapi, satu untukku dan satu untuk Bang Herman, suamiku.

Kusimpan lauk itu di atas meja, lalu kututup pakai kain serbet lusuh, agar tidak dihinggapi lalat saat kutinggal pergi nanti.

Karena hari sudah siang, aku bergegas berangkat untuk bekerja tanpa sempat sarapan sama sekali.

Aku, bekerja di desa tetangga sebagai tukang cuci gosok. Lumayan hasilnya bisa untuk menyambung hidup, walau hanya cukup untuk sekedar membeli lauk makan sehari-hari.

Menjelang Sore, aku pulang. Membayangkan makan dengan lauk telur mata sapi yang tadi kugoreng, ah rasanya enak sekali, sudah terbayang di pikiranku nikmatnya makanan itu.

"Bang, mana telurnya, kok habis? " tanyaku, sesaat setelah sampai di rumah dan melihat tutup serbet sudah tersingkir dari tempatnya.

"Sudah habis, ku makanlah. Kau pikir, aku kenyang hanya dengan satu telur mata sapi itu! Lagian, kenapa kamu hanya beli telur, Janah, tak adakah daging atau ikan, yang bisa kau masak! Bosan kali rasanya aku, kau kasih makan-makanan tak bermutu setiap hari, manalah ada tenaga untukku bekerja kalau begitu!"

Tanpa berpikir, dengan seenaknya, Bang Herman berkata seperti itu padaku. Seolah uang belanja yang diberikannya, sangat banyak saja.

"Bagaimana aku mau membeli daging atau ikan, Bang? sedangkan uang yang kau berikan padaku tadi pagi saja hanya 20 ribu, itu pun kubelikan beras, minyak goreng, sama telur yang Kamu makan saja sudah pas-pasan.

Masih untung aku tidak kembali berhutang di warung, Bu Ida. Sekarang, dengan seenaknya kamu bilang seperti itu, padaku? aku juga lelah, Bang! Aku juga kerja keras, bukan hanya tidur-tiduran atau main hp saja di rumah!

Aku, kerja dari pagi tanpa sempat mengisi perutku sama sekali, aku cape kerja, pulang ke rumah dalam keadaan lapar, Bang! Lalu apa ini? Kau bahkan tidak ingat sama sekali, padaku. Keterlaluan Kamu, Bang!" cecarku kepada, Bang Herman. Aku keluarkan semua unek-unek yang sudah menggunung dalam dada.

"Cerewet sekali kau, Janah! Makan sajalah itu nasi kan ada, bisa kau bikin nasi goreng putih saja, kenyang Lah perut kau!"

Enteng sekali, Bang Herman bicara. Kalau aku balikan padanya, pasti ngamuklah Dia macam singa lapar, tak habis pikir aku, kenapa aku dulu mau menikah dengannya?

Akhirnya, dengan terpaksa karena rasa lapar yang begitu menyiksa, aku menggoreng nasi putih yang ada dengan hanya memakai bumbu seadanya, mau marah pun percuma rasanya, lelah hati ini sudah terlalu sering dibuatnya.

"Janah, aku ada proyek 2 hari di desa sebelah, jadi tak usah kau tunggu aku pulang, ya," ucap Bang Herman, setelah selesai makan lalu menghabiskan sebatang rokoknya.

"Proyek apa, Bang? lalu, bagaimana dengan uang untuk kebutuhanku?" sahutku, sambil menengadahkan tanganku padanya.

"Kau kan kerja, Janah. Pakailah uangmu dulu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, jangan kau pelit dan perhitungan! Toh sama saja bukan." Dengan entengnya, Bang Herman berbicara seperti itu padaku.

"Tapi, Bang, gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbon kepada majikanku, "

"Ya sudah, Kamu tinggal kasbon saja lagi nanti, ya! Aku berangkat dulu, jangan lupa nanti, seperti biasa Kamu ke rumah Ibuku, Janah. Bantu Dia, di rumahnya!" Bukannya memberikan uang belanja, Bang Herman malah menyuruhku untuk membantu Ibunya di rumah, dasar menyebalkan.

"Assalamualaikum, "

ku ucap salam begitu sampai di rumah mertua. Walaupun sebetulnya malas jika harus ke rumah mertua, tapi apa boleh buat karena itu adalah perintah suamiku yang harus ku turuti.

"Waalaikumsalam. Eh kamu, Janah ayok masuk!" Ayah mertua memintaku untuk masuk, setelah tadi Ia menjawab salam dan membukakan pintu.

"Ibu mana, Pak?" tanyaku, sambil celingukan kedalam rumah, mencari Ibu mertua.

"Tuh di kamar lagi sakit, Dia," jawab ayah mertua. Kulihat Dia terus memandangku sampai tidak berkedip. Risih rasanya diperhatikan seperti itu, apalagi oleh Ayah mertua sendiri.

'Apa tidak ada pekerjaan lain, selain menatapku dengan tatapan yang sungguh menjijikkan seperti itu?' batinku, sesaat setelah beradu pandang dengan ayah mertuaku.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Nur Elifa
ceritanya bagus sih, cuma aku kurang suka karena Jannah selalu di tindas oleh suami, ibu mertuanya.
2025-04-29 21:31:53
0
user avatar
Ningsih
bagus cerita nya sangat baik
2024-08-13 23:09:07
0
40 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status