"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?"
Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan.
"Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.
Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta.
"Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,"
"Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan sama aku. Nggak takut aku, asal ada bukti," Irwan meninggikan dagunya seakan yakin kalau pria muda ini tidak akan menang menghadapinya.
"Bagaimana kalau aku temukan bukti dari dugaanku?" tanya Jaka setengah mengancam.
Irwan tersenyum sinis mendengar ancaman itu, ingin sekali dia meremukkan wajah Jaka yang begitu yakin akan apa yang dia katakan tapi cepat-cepat Irwan menunduk, membuang senyum sinisnya mengingat jika dia adalah orang yang tidak pantas jadi sombong di dalam kantornya sendiri. "Aku ini polisi, jadi nggak mungkin aku melanggar,"
"Bagus, kalau begitu aku akan pergi dulu, tapi nanti, setelah aku temukan bukti atas dugaanku, aku akan kembali," janji Jaka begitu yakin.Irwan tidak menjawab, dia hanya membiarkan saja Jaka pergi tanpa mengucap apapun setelah ancamannya.
Dia masih terlihat tenang meski sebenarnya di hati Jaka tetap ada rasa khawatir. Banyak cerita yang tidak bisa dia ungkap sekarang, terlebih tentang kematian ayah dari Jaka yang masih saudaraya.
Jaka kembali ke rumahnya menemui Roro yang masih mengelus perutnya lembut. Wanita cantik itu segera menoleh ke arah suaminya kemudian mendekat untuk bertanya. "Sudah pulang?" tanya Roro merasa warna wajah suaminya hari ini sangat berbeda. "Kenapa?"
"Nggak, kok," Jaka mengelus wajahnya, mencoba melupakan semua yang terjadi antar dia dan Irawan beberapa menit yang lalu. "Aku hanya sedang kesal,"
"Apa ini soal keluarga kayamu?" tanya Roro mencoba menebak.
Jaka tersentak mendengar jawaban istrinya, dia tidak menyangka kalau Roro bisa memberikan pertanyaan yang bisa membuatnya nampak begitu kaget. "Dari mana kamu tau?" tanya Jaka dengan nada yang lirih. "Kamu dapat kabar dari siapa?" tanya Jaka memastikan.
"Mas, aku tau kamu masih marah atas kematian ayahmu, tapi aku rasa demi anak ini, kita lupakan saja kejadian itu. Lebih baik kamu kerja, cari uang yang benar-benar dapat hasil,"
"Apa maksudmu?" tanya Jaka mengerutkan keningnya mendengar perkataan istrinya yang ambigu.
"Maaf," Roro meraih tangan suaminya kemudian menggenggamnya erat. "Aku tau mereka itu terlalu jahat, aku cuma takut saat kamu berani mengatakan semua yang kamu mau katakan, tiba-tiba hal buruk terjadi padamu. Lupakan, Mas. Kita hidup seperti ini saja aku sudah seneng, kok."
"Tapi... "
"Denger, kamu kerja saja kita sudah dapat uang. Kamu ngadepin mereka dapat apa? Dapat malu, Mas. Denger, aku nggak mau kamu ngemis-ngemis di depan mereka. Aku percaya, yang terpenting sekarang itu kerja, lupakan mereka, Mas. Aku mohon. Aku lebih butuh kamu ada di sisiku, ketimbang ngurusin mereka yang begitu dingin pada kita," tambah Roro penuh harap suaminya akan berhenti mencari keluarga kayanya.
Perkataan Roro itu mungkin benar. Bagi Jaka, malu rasanya kalau dia harus kembali ke rumah keluarga kayanya meski dia tau itu akan membantunya menemukan alasan kematian ayahnya.
Jaka terdiam, dia sungguh ada di situasi yang sangat pelik, di satu sisi ayahnya memintanya mencari alasan kematiannya, tapi di sisi lain ada Roro yang ingin dia melupakan saja semua kejadian yang terjadi dalam keluarganya.
Kepala suami Roro ini seketika jadi kaku, rasanya ingin berteriak saja melepas semua konflik batinnya, tapi dia kembali melihat istrinya yang sedang sangat membutuhkan dia di sisinya.
"Ya, Mas," pinta Roro sekali lagi dan Jaka menggangguk pelan.
"Semoga saja aku tidak memilih jalan yang salah," ucap Jaka penuh harap walau sebenarnya dia tidak mau berhenti sampai di sini.
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
"Irawan datang dengan marah tengah malam itu, lalu menghardik ayahku seakan dialah yang membuat polisi itu jadi seperti ini," lanjut Puri terisak."Seperti ini?" kening Jaka seketika mengerut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,""Mas, baiknya ngobrol di dalam aja, nggak enak dilihat pelayat," tutur seorang petugas penjaga rumah yang mendekat ke arah putri Dumadi itu. Wajahnya begitu iba melihat Puri yang kembali kehilangan orang tuanya dalam waktu yang berdekatan."Ya, masuk, yuk," ajak Puri kemudian menarik tangan Jaka.Jaka yang tidak mau menolak segera mengikuti langkah Puri dan tentunya mengajak Bowo, kernetnya karena tidak mau Roro, istrinya akan menganggap dia main mata pada gadis cantik ini.Bowo ikut saja, dia tau Jaka tidak mungkin masuk sendirian mengingat mereka datang memang untuk tugas yang sama.Setelah masuk ke ruangan lain di sudut rumah, Puri kemudian meminta pelayan menyajikan kopi dan rokok untuk tamunya dan tidak lama kemudian semua tersedia yang berarti itu saatny
"Mas, dari pada gitu, mending ayo kita ke rumah sakit," ajak Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang begitu tegang mendengar kabar dari Wati. "Ya, itu lebih baik. Putriku udah di sana. Semoga nggak ada apa-apa sama dia," sahut Wati yang memang belum tau keadaan Roro setelah kejadian yang dia sendiri masih bingung untuk menceritakanya. "Ok, kalau gitu ayo," Jaka melangkah duluan menuju mobil sambil menarik tangan kernetnya. Dia lalu menuju rumah sakit dengan laju mobil yang cepat karena Bowo tau hati Jaka begitu kesal bercampur bingung saat ini. Mobil yang dikendarai Bowo akhirnya tiba di halaman rumah sakit di kota kecil itu lalu dengan sigap mengantarkan Jaka menuju pintu ruang UGD yang kebetulan penjaganya dia kenal. Setelah bertanya, mereka di arahkan menuju ruang perawatan dimana Roro nampak terpejam dengan wajah yang masih pucat. "Kenapa dia?" tanya Jaka sebelum mendekati istrinya. "Sepertinya dia sedang tidur," tebak Bowo sambil menatap wajah Roro. "Tapi sepertinya bayinya masi
"Jadi..." Jaka menghentikan perkataannya begitu wajah istrinya langsung masam melihatnya. "Katakan," pinta Roro masih dengan wajahnya yang pucat."Mas, jangan," ucap Bowo membuat Jaka semakin ragu."Kamu jujur sama aku, Mas. Aku nggak mau sampai ada apa-apa sama kita," harap Roro sekali lagi.Jaka semakin dilema, dia harus jujur atau mengelak. Matanya menatap ke arah Bowo yang menggeleng tapi dia sudah janji pada wanita yang sedang mengandung anaknya kalau dia akan mengatakan semua dengan sebenar-benarnya meski itu adalah kenyataan yang pahit."Jadi sebenarnya aku masih mencoba memecahkan semua bisikan dalam jiwaku soal kematian ayahku,"Glek!Roro menelan ludahnya menyadari jika apa yang terjadi padanya tidak lepas dari tindakan Jaka yang sudah dia larang sejak awal."Dan dari penyelidikanku itu, aku mengetahui kalau sebenarnya Irawan itu memang sedang menyakiti satu persatu anggota keluargaku,""Termasuk calon bayiku?" tanya Roro dengan suara yang bergetar."Dek, aku tidak pernah m
"Tapi, Yah..."Gunawan menunduk melihat raut wajah putranya yang begitu galau dengan apa yang akan dia putuskan. "Nggak papa, Nak. Ayah tau kamu pasti akan membela Roro, istrimu. Apa lagi ada anakmu, pasti kamu akan lebih memilih dia, kan?" Senyuman tidak ikhlas itu mengembang di wajah Gunawan yang memastikan keputusan Jaka sebelum putranya mengucap apa yang akan dia putuskan.Jaka tidak menjawab, dia masih terlalu takut untuk mengucap karena sejak kecil pria yang duduk di sampingnya ini selalu mengajarkan kepadanya untuk tidak mengingkari janji meskipun itu sebuah janji yang remeh.Sosok cahaya itu lalu berdiri kemudian melangkah menjauhi Jaka tanpa mengucap sepatah katapun dan kepergian Gunawan sungguh membuat Jaka semakin tidak tau apa yang harus dia putuskan saat ini.Tok!Tok!Ketukan itu membuyarkan lamunan Jaka yang segera bergerak menuju pintu. "Iya, siapa?" tanya Jaka lalu menarik gagang pintu."Ka, ini Ibu," ucap Wati dari balik pintu."Oh, Ibu. Gimana kabar Roro, Bu?""Ka,