“Luke, ikutlah denganku. Anna akan dioperasi di ruangan, Jasmine.”
Luke yang duduk putus asa sambil menyandarkan tubuh lemahnya ke tembok, mendadak mendapatkan semangat hidupnya lagi. Entah angin apa yang membuat Peter mengajaknya untuk menemui Anna mengingat amukan Peter tadi yang ingin membunuhnya.Sebelum pergi, Luke sempat melihat ke arah Davio yang menatapinya tajam. Sepertinya, Davio akan menjadikannya musuh pertamanya setelah ini berakhir.Tanpa basa-basi, Luke pun segera mengikuti Peter yang sudah hilang di balik pintu. Ada seseorang di dalam sana yang harus dia yakinkan untuk tetap bertahan hidup.***
Jasmine merasakan usapan lembut di wajahnya. Telapak tangan yang besar dan hangat itu sudah dia kenal betul siapa pemiliknya. Satu-satunya pria yang sangat dia cintai, sampai-sampai membuatnya lupa bagaimana senangnya hidup normal. Kebutaannya saat ini, sama sekali tak membuatnya merasa sedih atau pun merasa tak berguna. Pria itu. Selalu membuatnya merasa
Luke berlari kuat demi menyusul para dokter yang membawa bayinya tadi. Rasa bahagia, membuat dadanya kembang kempis. Anna berhasil bertahan dan melahirkan bayinya dengan selamat. Hanya saja, kondisi bayinya saat ini, membawa ketakutan tersendiri yang tidak bisa dia jelaskan bagaimana besarnya.Para dokter itu, masuk ke sebuah ruangan dan dia pun mengikutinya. Sebuah ruangan yang penuh dengan alat-alat medis dan beberapa perlengkapan bayi.“Tuan, tolong pakailah.” Seorang suster memberinya pakaian khusus yang di gunakan saat berada di ruangan bayi yang sterilisasi, lengkap dengan sarung tangan, dan masker.Luke segera memakainya. Tapi, langkahnya untuk masuk ke ruangan yang berada di dalam ruangan itu, di mana para dokter sedang bersama bayinya, harus tertahan di tempat.“Ada apa lagi?” kesalnya. Jika saja, dia tidak memikirkan keributan yang akan terjadi, dan berakibat para dokter itu tak konsentrasi menangani bayinya, sudah dia singkirkan beberapa perawat yang menghalan
Luke memutar tubuhnya berulang kali. Tebalnya asap putih, membuatnya tak mengenali tempat apa ini. Tempatnya, sangat asing. Bahkan, tak terdengar suara apa pun di sana. Sunyi, sepi, dan sangat menakutkan. Entah, bagaimana dia bisa tersesat di sana. Sendirian pula.“Luke, kamu di sana?”Suara itu. Suara familier yang selalu membuat Luke merasa menjadi pria paling berengsek se dunia, menyapa indra pendengarannya.Luke melihat ke sana ke mari. Tapi jarak pandangannya terhalangi oleh asap putih yang tak kunjung menipis. Dia pun mengambil tindakan dengan mengayunkan tangannya beberapa kali demi menghilangkan asap putih tebal yang mengelilingi.“Anna? Kamu di mana? Jawab aku!” Luke berteriak dengan gusar. Dia tidak sendirian di tempat ini. Tapi ada Anna juga, meski tidak dia ketahui di mana keberadaannya.“Aku di sini.”Tiba-tiba, asap putih tebal itu sirna begitu saja. Dia pun bisa melihat Anna yang saat ini berdiri cantik di depannya dengan
Tempat yang biasanya sunyi dan sepi, kini riuh oleh beberapa isakan kecil yang terdengar. Pemakaman itu, tak banyak yang menghadiri. Terjadi secara tertutup dan hanya keluarga saja yang menemani Anna untuk berbaring di tempat istirahat terakhirnya.Semua merasakan dukanya, bahkan Davio yang coba mereka sembunyikan, akhirnya lolos dari penjagaan dan melihat bagaimana pemakaman bibinya terjadi di depan mata kecilnya yang penuh oleh air mata.“Bibi Anna ... Jangan pergi. Hiks ... hiks.” Isakan Davio saat melihat tubuh Anna mulai ditimbuni oleh tanah, membuat semua yang berada di sana semakin merasakan kehilangan.“Daddy ... tolong, selamatkan bibi, hiks ... hiks. Jangan timbun bibi seperti itu. Biarkan bibi naik ke atas.”Peter mengangkat Davio yang terus memaksa untuk mendekati Anna. Mendekap erat putera semata wayangnya itu dalam pelukannya. Merasakan bagaimana terlukanya Davio melihat semua ini. Davio mengerti dengan apa yang sedang terjadi di depannya kini.
Ruangan ber cat putih dengan beberapa alat penunjang kehidupan yang sesekali berbunyi di sana, setia menemani seorang pria yang terbaring lemah dengan beberapa luka memar di wajahnya. Beberapa jam yang lalu, pria itu sempat tersadar sebelum waktunya, sehingga membuat tubuhnya kejang-kejang, dan dokter harus memberinya suntikan obat bius lagi demi suksesnya pencangkokan ginjal yang baru saja selesai.Luke mengerjap pelan. Dia tau, dia berada di ruangan rumah sakit ketika netra matanya terbuka. Entah apa saja yang terjadi saat dia tak sadarkan diri? Dia hanya mengingat saat Peter memukulinya membabi buta sampai seperti ini.Rasa sakit yang mendera kepalanya, juga bagian perutnya membuatnya meringis tertahan. Sepertinya, sudah terjadi sesuatu yang tidak dia ketahui. Entah hanya mimpi atau memang sebuah kenyataan? Ingatan saat Peter berdiri di dalam ruangan asing itu, dengan beberapa dokter dan perawat, juga Anna yang terbaring lemah di atas brankar berputar begitu saj
“Luke, bangun ... kamu tuh betah sekali kalo tidur. Jim tuh, temenin dulu. Aku mau siap-siap, sebentar.”Beberapa tepukan di bahu Luke, tidak berhasil membuat pria yang ber status sebagai ayah itu terbangun. Justru, Luke semakin erat memeluk bantal guling empuknya.“Luke, aku hitung sampek tiga ya? Jika kamu tetep nggak mau bangun, terpaksa aku siram!”Brughh!Luke menarik tangan wanita tadi, hingga wanita itu jatuh dalam pelukannya. “Mamanya Jim, kok tambah galak sih? Nanti, cantiknya ilang,” goda Luke sambil menciumi rambut wanita yang paling dia cintai karena sudah melahirkan seorang putra mungil bernama Jim yang melengkapi hidupnya.“Lepasin Luke, kamu bau!” sungut wanita itu yang tak lain adalah, Anna, “mandi sana. Jangan lupa hari ini kita mau ke mana!” lanjutnya dengan kesal membuat mata terpejam Luke akhirnya terbuka.“Memangnya kita mau ke mana?” tanya Luke tanpa dosa hingga mendapat pukulan dari Anna.“Anaknya masih se biji doang, udah pikunan. G
“Hai, Anna?”Sunyi, sepi dan berkabut tebal dengan sentuhan angin yang terkadang kuat menembus pori-pori kulitnya. Kicauan burung, tak sama sekali terdengar di tempat itu. Justru gemuruh hebat yang kadang memekakkan telinga, terdengar begitu hebatnya sehingga membuat beberapa orang takut untuk berhadapan langsung dengan sang langit yang berwarna gelap. Tapi, pria itu?Pria itu justru sama sekali tak gentar. Dia tetap berdiri kaku dengan kondisinya yang memprihatinkan. Bahkan tetesan hujan yang mulai menderas, malah membuatnya tertawa bagai orang gila.“Kamu memang benar-benar Anna atau bukan sih?”Tawa pria itu terdengar lagi. Bahkan kepalanya sampai menengadah ke langit karena kuatnya rasa ingin tertawa. Gundukan tanah di depannya, disertai batu nisan bertuliskan sebuah nama, seolah lelucon saja baginya. Seolah hanya sebuah sandiwara kematian, yang sama sekali receh untuk dia percaya.“Anna? Bagaimana bisa kamu adalah Anna ku? Anna ku yang keras kep
Keesokan harinya.Queen mengusap wajahnya yang sembab sebelum keluar dari mobil. Tak pernah dia pikirkan sebelumnya, jika akan begitu banyak duka yang menyambut kepulangannya. Sebelumnya, dia sangat berharap. Kepulangannya kali ini akan penuh kebahagiaan karena hadirnya keponakan baru di keluarganya. Tapi, yang di dapatinya justru?Queen menekan dadanya kuat. Rasa sesaknya masih terasa. Badai besar ini, berhasil memorak-porandakan keluarganya yang selalu bahagia. Anna meninggal, kondisi Luke dan Jasmine yang memprihatinkan, dan dua malaikat mungil yang saat ini membutuhkan sosok seorang ibu untuk memeluk mereka.Astaga, kenapa hukuman untuk Luke, begitu beratnya? Desah Queen lemah. Luke yang dihukum, tapi semua keluarga turut merasakan sakitnya.Queen melangkah cepat di koridor rumah sakit agar segera sampai di ruang inap Jasmine. Hari ini, dengan terpaksa dia sendirian ke rumah sakit, karena ke dua ibunya harus menjaga Davio yang tak berhenti menangis
3 minggu kemudian ...Se orang wanita bersimpuh di sebuah gundukan tanah makam yang masih bertaburan bunga segar. Gelapnya langit, gemuruh angin, dan rintik hujan yang dingin menembus kulit, tak menandingi bagaimana kalutnya perasaannya saat ini. Wanita yang kini hanya tinggal nama itu, adalah wanita yang menjadi sahabat satu-satunya dan selalu memaafkan semua kesalahannya. Dia selalu berada dalam suka dan dukanya. Dan kini, wanita itu hanya tinggal nama beserta kenangannya saja. Kenangan yang akan selalu dia ingat sampai akhir nanti menutup mata.“Kau meninggalkanku. Meninggalkan kami tanpa berpamitan lebih dulu. Bagaimana bisa kau se tega ini melakukannya? Hiks ... “Tangis wanita itu pecah. Dadanya di hantam rasa nyeri kala mengingat, wanita itu juga meninggalkan buah hatinya bahkan sebelum sempat menimang nya.“Apa kau sudah bahagia di sana? Dan melihat bagaimana kesedihan kami semua? Puas kau, huh?!”Wanita itu menutup wajahnya yang banji