Bailey berdecak.
“Ketahuilah, Ayah. Kebenaran adalah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang dapat membendung ketika kebenaran sudah tiba pada waktu untuk menunjukkan dirinya. Ayah tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya diinginkan dan diharapkan penduduk Zanwan?” Bailey memberi atensi penuh kepada Ascal, berharap ayahnya akan memahami maksud dari perkataan dan sorot matanya.
“Zaman sudah berubah. Aku menginginkan kebebasan sebagaimana orang lain menginginkannya.” Suara Bailey lebih tenang kali ini.
Sejenak Bailey menghela napas, mengalihkan tatap pada roti di piring, lalu melanjutkan, “Akan kupikul beban berat di pundak Ayah. Aku ... aku tidak keberatan untuk menggantikan Ayah nantinya, meneruskan takhta Ayah seperti yang seharusnya. Aku tidak keberatan mengorbankan hidupku untuk Zanwan, melupakan semua mimpi menjelajah dunia luar untuk mengabdi pada Zanwan, tapi ….”
Menjeda sejenak, Bailey menyunggingkan senyum. Seutas senyum pedih.
“Sebelum hari itu tiba, biarkan aku menjadi diriku sendiri. Biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku ... ingin menjadi pemimpin yang dihormati dan disegani, bukan ditakuti dan dijauhi. Aku ingin penduduk setia padaku, bertahan bersamaku karena mereka menginginkannya, bukan karena terpaksa dan tak punya pilihan … dan aku butuh Shaw untuk itu.”
Sorot mata Bailey menajam, memberi peringatan.
“Kalau Ayah menyentuh atau berusaha menghancurkan dan menyingkirkan Shaw, Kakek, dan Nenek, aku tidak akan segan menghancurkan kebanggaan Ayah. Menyakiti Shaw, Kakek, dan Nenek sama saja dengan menyakitiku. Kalau Shaw hilang satu hari, Ayah akan mendengar kabar yang sama tentangku. Kalau Shaw tiada, Ayah bersiaplah untuk kehilanganku juga.”
Bailey beranjak, mengambil ransel dan menggendongnya. Ia menatap Ascal untuk terakhir kali.
“Tolong jangan halangi aku kalau Ayah saja tidak punya waktu untukku. Jangan halangi aku kecuali Ayah ingin aku hancur dan mati.”
Bailey mendorong kursi, melirik Jillian yang tiba-tiba menunduk.
“Aku berangkat.”
Tanpa menghabiskan rotinya, Bailey berlalu, menyisakan Ascal yang mengepalkan tangan dan berdiri tidak lama setelahnya. Ia pergi ke ruang kerjanya tanpa satu kata pun dan tanpa menghabiskan sarapannya.
Di kursi lain, Jillian bertopang siku, memijat pelipisnya. Ia menginstruksi pelayan untuk membereskan meja makan, kemudian menyusul Selise dan Bariela ke taman. Kepalanya berdenyut. Suami dan anak lelakinya itu memiliki watak yang sama kerasnya. Mencoba menengahi hanya akan membuat keduanya makin panas.
Memasuki ruang kerja, Ascal membawa serta emosinya.
“Aku membencimu, Hao Yi!” Lirih dan penuh penekanan Ascal berucap sambil menjatuhkan diri di kursinya. “Aku membencimu, Hao Yi! Aku sangat membencimu!”
Mata Ascal penuh oleh emosi, tertuju kepada awang-awang. Amarah menyelimuti dirinya. Tangannya mengepal. Ia sandarkan tubuh dan memejam, berusaha menenangkan diri.
Di lain tempat, pagi yang berbeda melingkupi rumah Spencer. Gracie yang selesai masak mengusap kepala Shaw penuh kasih sayang.
“Shaw,” panggil Gracie. Yang dipanggil membuka mata, menoleh dengan sorot mata sayu.
“Ayo, makan.” Gracie menunjukkan sepiring nasi dengan sup. Asap mengepul darinya.
Shaw bangun, mencoba duduk tegap, membiarkan Gracie memberinya beberapa suapan sementara pandangannya melirik-lirik sekitar.
Ada Spencer di ambang pintu keluar, berjalan untuk mencuci tangan, lalu bergerak ke meja makan.
“Ingat kata Dokter Ed. Kau harus makan yang banyak,” kata Spencer sembari mengambil lauk ke piring yang sudah tersedia nasi di atasnya.
“Aku akan makan banyak, tapi aku ingin makan sendiri,” sahut Shaw, melempar tatapan memohon pada Gracie.
Gracie geleng-geleng kepala dan tersenyum. “Baiklah. Makan pelan-pelan. Kalau sakit, beritahu Nenek, ya.”
Shaw mengiyakan, menerima piring dari Gracie dan melanjutkan makan dengan lahap sedangkan Gracie beranjak ke meja makan.
Bukan Shaw menolak disuapi. Ia cuma ingin Gracie segera makan. Shaw yakin, neneknya pasti lelah. Di usia senja, memasak bukan lagi pekerjaan ringan, apalagi setelah peristiwa semalam. Shaw bahkan tidak tahu apakah kakek neneknya sudah tidur atau belum.
Waktu berjalan sangat lama bagi Shaw yang tidak biasa berdiam diri. Hari sangat membosankan baginya. Bangun dari ranjang bambu pun hanya untuk ke kamar mandi, lalu kembali lagi. Obat yang dibalurkan pada luka Shaw berbentuk cairan dari tanaman herbal, persis obat merah dalam medis dan itu belum kering. Karenanya, Shaw belum bisa pindah ke kamar, barangkali cairannya akan menetes ke kasur.
Shaw yang baru duduk kembali ke ranjang sesudah membasuh wajah memandang ke ruang tamu, mendengar pintu depan di ketuk.
“Silakan masuk, Tuan Muda dan Dokter.” Suara Spencer terdengar sampai ke dapur.
Menepati ucapan, Bailey datang lagi.
“Bagaimana keadaanmu, Shaw?” Edvard bertanya, meletakkan tas obat di samping Shaw.
“Aku masih merasa tidak nyaman, tapi perihnya sudah berkurang,” jawab Shaw, jujur, sembari melirik Bailey dan sedikit memiringkan kepala melihat ransel yang dipegang Bailey. “Apa yang kau bawa, Bailey?”
“Hmm? Oh, ini?” Bailey mengangkat ransel, lalu mendekat, menaruh ransel di hadapan Shaw. “Aku bawa makanan, buah-buahan untukmu, Kakek, dan Nenek.”
Isi ransel dikeluarkan. Semuanya makanan berkualitas bagus.
“Dari siapa?” Shaw tidak tertarik sama sekali.
Bailey mengangkat kepala.
“Tentu saja dariku! Tadi sepulang sekolah aku bekerja. Aku minta pekerjaan pada ibuku dan Ibu menyuruhku menjaga Bariela. Aku membeli semuanya saat perjalanan ke sini tadi.”
“Bailey ….” Shaw mengerjap. “Demi apa pun, kau sungguh bekerja dan beli ini semua?! Kau tidak serius, kan?”
“Wah, kau terlalu meremehkanku, Shaw. Apa aku terlihat semeragukan itu?”
“Bukan. Maksudku ….”
Ah, bagaimana mengatakannya? Bailey bekerja untuk Shaw?
Shaw tersenyum kikuk.
Ada beberapa hal yang masih belum Shaw mengerti tentang Bailey. Namun, Shaw selalu yakin akan satu hal: Bailey selalu bersungguh-sungguh.
“Apa? Maksudnya apa?”
“Maksudku, ya, kau memang meragukan. Seorang pangeran Zanwan bekerja untuk beli makanan? Aku tidak yakin.”
“Wah, kau benar-benar meremehkanku, ya!?”
Shaw terkikik.
Edvard mengulum senyum atas interaksi dua bocah tersebut.
Dinding rumah yang tidak seberapa tebal menghantarkan percakapan itu kepada Spencer dan Gracie di kamar mereka.
Bailey menjatuhkan diri di sebelah Shaw. Terlihat gurat lelah di wajah sang tuan muda. Shaw menebak ada banyak hal yang terjadi pada Bailey hari ini hingga tiba di rumah Shaw ketika hari sudah sampai pada lembayungnya.
Satu jam berlalu. Malam telah datang. Dingin udara kian merebak, tetapi tidak mampu mengusik suasana di rumah Spencer.
“Ayo, setelah ini makan malam, ya. Nenek sudah masak sup jamur dan tofu asam manis.”
Ucapan Gracie menghentikan perbincangan seru Shaw, Bailey, dan Edvard di ranjang kayu.
Tidak sampai menginap, Bailey dan Edvard pamit seusai makan malam. Ada banyak yang dipelajari baik oleh Shaw, Bailey, Kakek, Nenek, dan Edvard sendiri.
Sang dokter kini memahami mengapa tuan mudanya begitu betah berlama-lama bersama keluarga yang mengasingkan diri itu. Nyatanya, dirinya pun terbuai nyaris lupa untuk pulang. Ada rasa yang jarang ditemukan di tempat lain. Sebuah rasa nyaman, hangat. Perasaan yang sangat khas ketika berada di rumah. Rumah yang benar-benar rumah.
Edvard mengerti satu hal lain: Shaw dan Bailey terlihat menyatu bukan hanya karena persamaan mereka saja, tetapi justru karena perbedaannya jua. Terlalu muda untuk bisa memahami itu. Apa mau dikata? Keduanya memang masih bocah. Belum banyak melihat dunia, tetapi seakan-akan merekalah sang penguasa.
Sepanjang perjalanan, Edvard terus memikirkannya. Betapa iri sungguh dalam hatinya, bertanya tentang mengapa ia tidak pernah menyadari semua. Teringat pula ia pada kawan-kawannya, di Zanwan dan di negeri seberang, lalu rindu hadir menyelusup. Berandai pula ia pada hal yang bisa dibilang mustahil untuk terjadi padanya, juga teman-temannya, di Zanwan, pada masa ini. Tiba-tiba suara hatinya menginterupsi, “Aku akan berdiri bersama mereka.”
Satu temali dengan Bailey, diam dan hanyut dalam pikiran. Teringat ia akan percakapannya dengan Shaw yang membuka mata hati juga pikirannya akan sesuatu. Ternyata, memiliki segalanya tidak berarti akan mendapatkan segalanya dan tiap hari adalah pembelajaran bagi siapa pun yang bersedia mempelajarinya.
Bailey berpikir jika Shaw sekolah bersamanya, pastilah Shaw akan menjadi murid kesayangan Profesor Barid Baldric. Seorang sujana, kepala sekolah yang terkenal akan bijaknya. Ia lelaki tua yang sudah dianggap seperti guru dan kakek bagi Bailey.
Tiba di kamarnya, mulut Bailey gatal; bergerak membuka suara, mengulangi apa yang dikatakan Shaw padanya.
“Seseorang tidak harus memiliki jabatan untuk menjadi pemimpin,” kata Shaw saat berbincang menunggu makan malam. “Yang terpenting adalah jiwa. Kau harus memahami dirimu lebih dahulu. Apa yang kau inginkan, lalu gerakkan dirimu melawan segala takut, resah, ragu, dan teman-temannya untuk mencapai keselarasan antara hati, pikiran, jiwa, raga, lalu menjadi pemimpin atas diri dan kehidupanmu. Dengan begitu, barulah kau akan jadi pemimpin untuk apa yang ada di luar dirimu. Tidak harus memiliki jabatan, kukatakan sekali lagi. Cukup memiliki jiwa yang mengerti makna kepemimpinan itu sendiri. Karena dengan begitu, kau akan melakukan apa yang dilakukan para pemimpin: mendapatkan jalan dan memberinya pada orang lain, menjadi pengarah dan lentera penerang bagi mereka.”
Bahkan di detik-detik sebelum matanya terpejam pun, Bailey masih memikirkannya bersama perkataan ayah dan ibunya, bersama perkataan petinggi desa lain yang sampai ke telinganya, bersama perkataan orang-orang lain di depan dan di belakangnya yang juga sampai ke telinganya. Sampai lelap membawa seluruh kesadarannya bersama segala keluhan lugunya perihal masa kini, keluarganya, batasan, dan aturan yang diberikan Ascal juga Zanwan padanya, masa depan, hidup, dan dunia.
Tanpa Bailey sadari, Ascal berdiri di ambang pintu sedari tadi, memperhatikan dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.