Share

Berseteru

Suara kekehan lolos dari bibir Shaw. Membuat Bailey, Edvard, dan Spencer menoleh. Gracie yang baru kembali dari ruang tamu menatap Shaw dengan terharu. Ia mendekat; membantu Shaw yang berusaha duduk.

"Kau bilang kau punya uang?" tanya Shaw. Menatap Bailey yang dibalas anggukan sang tuan muda.

Lagi, Shaw terkekeh. Menampilkan sedikit deretan gigi putihnya.

"Kalau uang yang kau maksud itu adalah pemberian dari ayah atau keluargamu yang lain, kerabatmu, petinggi desa atau lainnya, maka urungkan niatmu. Bagimu itu uangmu, tapi bagiku itu bukan uangmu."

"Kenapa?" Bailey menatap polos penuh tanya.

"Semua uang itu, bisa saja menjadi pemicu ... bahan bakar masalah di kemudian hari, dan kau mungkin saja akan tersudutkan. Aku tidak ingin ada resiko, perintah atau hukuman yang tidak berdaya untuk ditentang ketika kita seharusnya mampu melakukannya." Shaw menjelaskan.

"Aku mengerti. Kalau begitu aku akan bekerja dan menghasilkan uangku sendiri." Bailey menimpali. Membuat aliran kejut menyapa semua orang yang ada di sana.

".... Aku tetap ingin membantu." Bailey bersikukuh; mengalihkan pandangan dengan wajah cemberut, menggelembungkan pipi dan melipat tangannya. Ia menambahkan, "Aku bisa bekerja! Kalau Shaw bisa, maka aku juga bisa!"

Sekali lagi, Shaw terkekeh.

"Pekerjaan apa yang akan kau lakukan?" tanyanya. Membuat Bailey terdiam.

Sementara Spencer, Gracie, dan Edvard masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Diam tanpa kata, tertegun dengan interaksi kedua bocah di ruangan itu. Namun juga penasaran dengan jawaban sang pewaris tahta.

Tentu saja, pekerjaan apa yang akan Bailey lakukan? Ia adalah putera pertama pemimpin Zanwan. Ibarat putera mahkota di sebuah kerajaan, Bailey adalah pewaris tahta kepemimpinan ayahnya.

Hidupnya sangat tercukupi .... Ada banyak pelayan yang melayani di rumah. Bukan hanya itu ... belum tentu Bailey akan mendapat izin dari ayahnya. Mau ditaruh di mana muka Ascal jika mengizinkan dan membiarkan Bailey bekerja di usianya yang masih 11 tahun? Para petinggi lain akan menjadikan itu olokan di belakangnya.

"Itu ... akan kupikirkan nanti. Intinya aku pasti akan bekerja!" Bailey masih bersikeras. Menggelembungkan pipi dengan ekspresi cemberut dan melipat tangan.

Ini adalah kali pertama Edvard melihat Bailey yang seperti itu. Kalau Spencer, Gracie dan Shaw, sih, sudah sering melihatnya. Bailey tak ubahnya anak lain, setiap kali bersama Shaw. Terlebih jika sedang di rumah Spencer, seperti saat ini. Rumah kakek Shaw seperti rumah kedua bagi Bailey. Tak jarang Bailey lebih betah berada di rumah Spencer dari pada di rumahnya sendiri, meski kedua rumah itu 180ยฐ berbeda.

Rumah Hunt yang mewah lebih sering terasa hampa dan dingin, kontras dengan rumah Spencer yang meskipun kecil dan sangat sederhana, tapi terasa sangat hidup dan hangat.

"Ya sudah, ya sudah ... sebaiknya kau pulang. Matahari sudah meninggi, sebentar lagi waktumu sekolah, 'kan?" tanya Shaw yang dibalas anggukan Bailey.

"Kau istirahatlah ... jangan bekerja dahulu. Aku akan kembali nanti sore." Bailey menyahut. Pamit pada Spencer dan Gracie.

"Makanlah yang banyak dan minum obatnya dengan teratur. Lukamu akan lebih cepat sembuh." Itu Edvard. Berdiri lalu berjalan ke ruang tamu bersama Bailey, diantar Spencer dan Gracie.

"147 cambukan." Shaw bergumam.

"Istirahatlah ... kau belum tidur, bukan?" Spencer menghampiri setelah mengantar Bailey dan Edvard ke depan.

"Benar kata Kakekmu. Istirahatlah ... nanti Nenek bangunkan kalau sarapannya sudah siap." Gracie berjalan ke lemari perabotan, mengambil peralatan memasak.

Shaw mengangguk pelan.

"Aku tidur dulu ...." sahutnya. Membaringkan tubuh dengan posisi telungkup. Sesaat Spencer mengusap kepala Shaw, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya di halaman belakang.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai Shaw sembuh?" Bailey bertanya seraya mengeratkan pegangan pada coat Edvard di depannya.

Kuda melaju cepat, agar cukup waktu untuk Bailey membersihkan diri, sarapan, dan bersiap ke sekolah.

"Lukanya dalam. Mungkin bisa membutuhkan waktu 1 bulan penuh sampai lukanya sembuh. Itu pun tidak dengan menghilangkan bekasnya," jawab Edvard tanpa mengalihkan pandangan.

Bailey menghela napas lelah. 'Hukum Zanwan harus diperbaiki. Zanwan harus diperbaiki!' Batinnya berseru. Gelora semangat membuncah, memompa tekad agar berdiri lebih kokoh.

Memang, hukum yang berlaku saat ini sangatlah kejam. Meskipun dengan dalih demi kebaikan Zanwan dan agar semua patuh tak macam-macam, tetap saja tak mengubah fakta jika hukum Zanwan kelewat kejam.

Jarum jam sudah menunjuk angka 6 lewat. Kicauan burung terdengar berirama di pepohonan.

Mata cokelat gelap itu masih terpejam; membiarkan telinga mengambil tugas mengawasi sekitar.

Otak yang jengah mengambil alih, memaksa daksa yang malas untuk kembali bergerak. Tungkai terangkat, membawa sang daksa ke ruangan mati lainnya ... dengan satu meja panjang di tengah dan rentetan kursi di tepian. Dihias aneka hidangan lezat yang sama sekali tak menggugah selera.

Derit pintu yang ditunggu masih belum terdengar, sekali lagi tatapan terarah pada benda penunjuk waktu di dinding.

"Di mana Bailey?" Langkah terhenti di dekat kursi, sejenak mengedarkan pandangan.

"Tuan muda belum kembali." Takut-takut kepala pelayan menjawab pertanyaan Tuannya. Sejak pagi buta tadi, para pelayan di kediaman Hunt kalang kabut karena tidak menemukan tuan muda mereka di kamar dan ruangan lain di mansion itu.

"Wilton!" Ascal menggeser kursinya; duduk menenangkan diri.

"Saya menghadap, Tuan." Prajurit penjaga yang dipanggil Wilton itu menunduk hormat.

"Jemput Bailey di rumah Spencer Porter."

"Baik, Tuan."

Wilton menundukkan kepalanya lebih rendah sesaat lalu berjalan ke pintu. Saat akan meraih knop, pintu sudah lebih dulu dibuka oleh seorang pelayan. Jillian dan seorang balita perempuan di gendongannya muncul di belakang pelayan itu. Sontak Wilton kembali menunduk, bergeser memberi jalan untuk nyonya besarnya.

"Pagi, Wilton." Jillian menyapa dengan tersenyum ramah dan melanjutkan langkah menghampiri Ascal bersama Selise, gadis muda dengan pakaian pelayan di belakangnya.

"Pagi, Nyonya."

"Pagi, Tuan Wilton."

"Pagi, Nona Lise." Wilton menjawab seraya tersenyum pada gadis berparas manis itu, berbeda ketika membalas sapaan Jillian. Wilton tentu tak berani bersikap macam-macam pada sang nyonya besar.

"Selamat pagi, Wilton. Kau mau ke mana?" sapa Bailey dari belakang Wilton yang baru hendak memutar kudanya.

"Eh? Ah, pagi, Tuan muda. Saya diperintahkan Tuan Besar untuk menjemput Tuan Muda," timpal Wilton. Sedikit terkejut karena Bailey tiba-tiba muncul.

"Sebaiknya kau segera masuk, Tuan Muda," saran Edvard.

Bailey mengangguk. Berlari masuk ke rumah. Edvard pamit kembali ke klinik, sedang Wilton menggiring kuda kembali ke tempatnya; menalikan kekang dan kembali ke tempatnya berjaga.

"Pagi, Bu, Ayah."

"Pagi, sayang." Itu Jillian. Hanya ia yang menyahut. Ascal hanya menatap lalu sudah, tak ada suara.

Suasana pagi terasa dingin seperti biasa. Meja makan pun hening, hanya ramai oleh celotehan khas balita dari Bariela dan suara Jillian yang sesekali bertanya.

"Bailey," Kegiatan makan sesaat berhenti begitu mendengar suara berat Ascal. Untuk pertama kalinya dalam 6 bulan terakhir, dirinya membuka suara saat sedang di meja makan. "Ayah tak mengizinkanmu bertemu Shaw dan keluarganya lagi." Tenang datar suaranya, membuat suasana di meja makan semakin dingin membeku.

"Ayah bisa melarangku sesuka hati, tapi tak bisa memaksaku." Bailey menjawab datar, mengunyah rotinya.

"Bailey ...." Ascal menoleh, tersirat dari wajahnya seakan berkata, 'Jangan membantah!'

Bailey menghela napas kecil, mengambil satu lembar roti lagi dan melapisinya dengan selai strawberry.

"Ayah mengizinkanku atau tidak, aku akan bertemu Shaw, Kakek dan Nenek lagi."

"Jangan membuat Ayah turun tangan, Bailey." Ascal menurunkan tangan, memotong roti di piring.

Jillian yang merasakan ketegangan di antara ayah dan anak segera menoleh pada Selise; menyuruh gadis itu membawa Bariela pergi. Selise mengangguk mengerti; menggendong Bariela, mengambil sarapan balita itu dan pergi ke taman.

"Aku hanya ingin memiliki teman, Ayah!" Bailey menaruh garpu dan pisau di tangannya ke piring dengan kesal. "Aku ingin memiliki teman yang benar-benar teman. Bukan penjilat yang hanya memandangku dari status sosial, yang mau berteman denganku karena aku anak Ayah!" Ia berujar dengan napas memburu. ".... Shaw mengajarkanku banyak hal baik. Shaw, Kakek dan Nenek adalah orang baik," tambahnya.

"Kau tidak tahu apa-apa. Dengarkan kata-kata Ayah dan jangan membantah." Ascal masih dengan tenangnya.

Semakin kesal Bailey mendengarnya. Pandangan sepenuhnya ditolehkan; menatap orang nomor satu di Zanwan.

"Kalau begitu beritahu aku .... Apa yang tidak kuketahui? Kenapa aku tidak boleh bertemu Shaw lagi?! Ayah takut akan sesuatu?"

"Bailey!!" Dingin dan tegas bentakan Ascal, mengejutkan Jillian dan para pelayan di dapur yang letaknya tepat di ruangan sebelah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status