Malam ini udaranya tak sesejuk malam-malam sebelumnya. Iskha mengeluh karena gerah. Tak mengerti kenapa Tuhan memberikan malam ini lebih gerah daripada malam-malam lainnya. Dia menyalakan kipas angin yang berada dekat dengan meja belajarnya.
“Ini malam kok panas banget sih?” keluhnya.
Dia masih harus mengerjakan dua halaman lagi dari lembar buku LKS yang harus dikumpulkan besok. Segera saja ia beranjak dari kursi kesayangannya menuju ke jendela kamar. Digesernya kain gorden jendelanya lalu dia membuka daun jendela kamarnya. Udara sejuk segera masuk ke dalam kamarnya memberikan suasana lain. Paling tidak hawa panas itu sedikit mereda dengan dibukanya jendela kamar tersebut.
Saat itulah dia merasa ada yang aneh dengan suasana malam itu, padahal masih pukul 20.00, tetapi jalanan sudah lengang. Biasanya jam-jam seperti ini beberapa penjual mie ayam dan bakso sedang berkeliaran menjual dagangannya keliling kampung. Terkadang pula beberapa anak muda dengan sepeda motornya hilir mudik, ditambah lagi ada anak-anak kecil yang bermain di jalanan kampung. Tapi hari itu berbeda seperti biasanya. Memang hawanya lebih panas dari biasanya.
Keanehan itu makin bertambah ketika lampu kamarnya tiba-tiba redup dan berkedip-kedip. Iskha menderum seperti onta. Ia tahu kalau ini pertanda buruk. Pasti sebentar lagi listrik akan padam. Dan benar saja listrik pun padam menyisakan kekesalan yang ia rasakan. Ia melihat ke sekeliling kampung yang juga padam. Lampu penerangan di pinggir jalan pun terlihat padam membuat jalanan lebih gelap dari biasanya. Hanya cahaya rembulan saja yang menerangi.
“Iskha, nyalain lampu emergency-nya buat belajar!” terdengar suara ibunya di luar.
Iskha segera menghampiri meja belajarnya. Dia lalu mengambil lampu emergency berbentuk oval yang biasa dia gunakan ketika listrik padam. Memang terkadang listrik di tempatnya padam mendadak seperti ini. Hal ini terkait dengan penghematan daya yang dilakukan PLN beberapa waktu terakhir ini guna untuk memenuhi kebutuhan listrik di beberapa bagian wilayah di Indonesia. Hal itu membuat jengkel, khususnya kepada beberapa para pelajar dan pekerja yang memang sedang membutuhkan listrik di malam hari untuk belajar. Sebagian menggunakan alat seperti petromaks atau lilin untuk belajar.
“Ah, nyebelin banget,” gumam Iskha. “Mana PR belum selesai lagi.”
Tiba-tiba ada kilatan cahaya menyala-nyala di luar. Petir? Tetapi bukankah langit tidak mendung? Ataukah ada kabel listrik yang putus maka dari itu sengaja PLN memutuskan aliran listrik?
Penasaran, Iksha pun melongok keluar jendela. Dia memperhatikan dari mana arah kilatan cahaya tadi berasal. Lagi-lagi terlihat kilatan cahaya tersebut dan sepertinya tak jauh dari tempat ia berada. Mungkin asalnya masih berada di kampung ini. Kemudian cahaya yang sangat terang muncul seperti pijaran listrik. Iskha melihatnya dari kejauhan. Jangan-jangan memang benar ada travo yang meledak atau ada kabel putus, makanya listrik dipadamkan. Kalau begitu bakalan lama ini listriknya nyala lagi.
Dia jadi malas untuk melanjutkan PR-nya. Lebih baik berbaring di tempat tidur sambil menunggu listrik nyala lagi atau biarlah ia tak menyelesaikan sisa PR-nya. Lagipula dia punya alasan untuk tidak mengerjakan PR bukan? Listrik mati. Alasan klasik tapi itu masih lebih baik daripada alasan lupa, bukan?
* * *
Esoknya hari sedikit lembab. Udara sejuk bahkan tambah sejuk ketika embun menyelimuti kampung tempat Iskha tinggal. Listrik padam hingga pagi hari saat adzan Subuh berkumandang bersahut-sahutan. Sangat kontras dengan yang terjadi tadi malam di mana udara panas sekali. Ini masih musim kemarau, bulan Agustus saja baru saja masuk. Hari ini sungguh tidak memperlihatkan kalau sekarang ada di musim kemarau. Pergeseran iklim sebagai isu dari pemanasan global mulai terasa sekarang. Polusi yang menekan ozon hingga mencairnya es di kutub merupakan hal serius yang sering dibahas saat ini. Tapi bagi anak sekolah seperti Iskha, persetan dengan hal itu semua.
Apa yang dipikirkannya sekarang ini yaitu bagaimana ia bisa mengerjakan sisa pekerjaan rumahnya yang tertunda tadi malam gara-gara pemadaman listrik. Bahkan sampai sekarang pun tak jelas kenapa listrik bisa padam di daerahnya.
“Apa ada travo meledak tadi malam, pa?” tanya Iskha saat bertemu ayahnya di meja makan.
Tampak sebakul nasi goreng pagi yang terhidang hangat siap diciduk untuk sarapan keluarga. Tak lupa juga beberapa telur mata sapi tersaji hangat-hangat membuat cacing di dalam perut Iskha mulai protes untuk menikmati sarapan pagi. Tanpa perlu disuruh segera ia mengambil piring yang sudah ditumpuk di meja makan. Ia lalu mulai menyendok nasi goreng dengan berbagai campuran sosis, udang dan sayuran seperti pak choy, daun bawang serta bawang bombay. Mamanya memang sangat pandai memasak.
“Travo meledak? Nggak ada berita. Bapak-bapak kampung juga bertanya-tanya kenapa listrik bisa padam semalam, tapi katanya sih pihak PLN mengatakan ada gangguan teknis makanya beberapa gardu kehilangan daya katanya,” jawab papanya.
“Tadi malem aku melihat semacam kilatan cahaya, tak jauh dari rumah. Aku kira ada travo meleduk atau gimana gitu,” jelas Iskha.
“Oh ya? Kalau pun toh ada Pak RT bakalan ngubungin bapak-bapak di group W******p,” ujar papanya.
“Oh, ya sudahlah.”
Iskha kembali menikmati sarapannya. Pikirannya tentang apa yang dilihatnya tadi malam pun ia singkirkan jauh-jauh karena menurutnya itu tak terlalu penting sekarang. Saat sedang sibuk mengunyah ponsel Iskha berbunyi. Dia melihat kiri dan kanan mencari keberadaan ponselnya. Ia lalu menepuk jidatnya sendiri. Ponselnya masih ketinggalan di kamar. Buru-buru ia beranjak dari tempat dia makan menuju ke kamar.
Ponsel tersebut tergeletak di atas meja belajarnya. Ponsel itu berhenti berbunyi tatkala dia hampir saja mengangkatnya. Segera ia periksa siapa yang baru saja memanggilnya. Terlihat tulisan nomor panggilan dengan nama kontaknya Lusi di layar ponselnya.
Lusi, teman dekatnya di sekolah bahkan mereka duduk sebangku. Anak itu perawakannya cantik, kurus dan tak terlalu tinggi. Meskipun ada keturunan Tionghoa tapi logat bicaranya sudah mirip seperti orang-orang Jawa pada umumnya. Iskha menyukainya karena setia kawan dan juga pintar.
Iskha langsung memanggil balik temannya itu. Ponsel pun tersambung.
“Halo?” sapa Iskha saat panggilannya diterima.
“Halo, Is? Udah selesai PR-nya?” tanya Lusi.
“Belom,” jawab Iskha singkat sambil berjalan meninggalkan kamarnya.
“Wah, aku juga belum. Habis tadi malam mati lampu,” ujar Lusi.
“Yah, sama dong. Emang parah ya, lagi ngerjain tugas eh, malah mati lampu,” gerutu Iskha di telepon. “Tenang aja, ntar kalau belum selesai kita tinggal bilang ke Bu Tatik kalau semalam mati lampu.”
“Ih, emangnya beliau bakalan terima gitu? Alasan sakit aja tetep ditagih kok.”
“Udahlah, nggak usah dipikirin. Yang penting siapa sekarang yang bisa kita ambil untuk di-copy-paste kerjaannya?”
“Seperti biasa, si Arief. Siapa lagi coba?”
Arief menurutinya lalu duduk di kursi yang ada di seberang Ihsan. Dia melihat kiri kanan, ada banyak anak buahnya di sini. Apakah mereka orang suruhan pamannya? Dia tak tahu bagaimana cara pamannya berbisnis, yang jelas ia tahu pamannya orang yang sangat berpengaruh di Wijaya Group. Hampir sebagian besar usaha di Wijaya Group ini dikuasai oleh pamannya.“Aku ingin tahu dimana Kayla?” tanya Arief.Ihsan memberi isyarat menunjuk ke papan catur. “Kalau kau bisa mengalahkanku dalam permainan ini aku akan memberitahu dimana dia.”“Om, hentikan semua ini kalau ayah tahu, maka Om tahu apa yang akan terjadi,” ancam Arief.“Arief, kau itu masih naif. Kau kira aku menyuruhmu kemari tanpa persiapan? Bahkan ayahmu tak akan mampu berbuat apa-apa,” jawab Ihsan.Arief mengamati papan catur yang ada di hadapannya. Papan catur itu sudah dimainkan, posisi bidak putih tampak lebih unggul daripada bidak hitam. Tetapi bid
“Arief! Arief!? Arief!?” panggil Faiz. Dia menampar-nampar pipi saudaranya itu.Arief yang setengah sadar membuka matanya lalu tiba-tiba langsung terbangun. Dia menerkam Faiz, hampir saja ia kalap kalau Faiz bukan seorang ahli bela diri pasti sudah terjerembab oleh terjangan Arief tadi. “Kayla! Kayla!”“Woy! Sadar! Ini aku Faiz!” ucap Faiz. Segera ia mendorong Arief. Cowok itu pun berusaha berdiri.“Mana? Mana Kayla?!” tanya Arief.“Woy! Sadar! Kamu barusan pingsan di tengah lapangan basket,” jawab Faiz.Arief melihat sekelilingnya. Ada Faiz, ada Iskha dan Lusi. Dia tak melihat Kayla. Kemudian di dekat tempat dia berdiri ada ponsel yang tadi diberikan oleh orang berbaju hitam. Segera dia mengambil ponsel itu. Arief membuka kontak yang ada di dalam ponsel tersebut. Hanya ada satu nomor. Nomor itu bernama BOSS.“Kayla diculik,” ucap Arief.“Iya, kami tahu dia
“Kayla? Itu kau kan?” sekali lagi Arief memanggilnya.“Iya, ini aku,” jawab Kayla.“Ah, syukurlah. Kau membuatku gila. Kau mengerti? Kau membuatku gila. Aku kira kau itu tidak ada tetapi perasaanku mengatakan lain, kau itu ada,” ucap Arief.Kayla tersenyum. “Iya, beberapa saat lalu aku memang menghilang, tetapi sekarang aku kembali.”“Aku ingin kau ikut denganku!” pinta Arief.“Ikut kemana?” tanya Kayla.Arief tiba-tiba menggandeng tangan Kayla. Dia menarik lengan gadis itu sehingga Kayla tak bisa melawannya. Cowok itu mengajak Kayla menjauh dari keramaian, hingga akhirnya mereka sampai di lapangan basket. Suasana di lapangan itu gelap karena tak ada cahaya. Cahaya yang ada di lapangan itu hanya didapat dari koridor kelas yang ada di sekitar pinggir lapangan. Malam makin larut dan bintang-bintang mulai muncul menghiasi langit.Tangan Kayla di lepaskan. Kayla tahu
“Kau mengambilnya, sebab itulah aku bisa kembali ada,” ujar Kayla. “Aku tak percaya bisa bertemu nenek lagi.”“Kau mengatakan aku nenekmu?” tanya Iskha.“Iya, kau nenekku, kau juga sahabatku yang terbaik yang pernah ada. Aku melakukan kesalahan sebelum akhirnya kau pergi untuk selamanya. Aku kemudian ingat pesanmu ada seorang sahabat yang namanya mirip seperti namaku yang memberikan arloji itu kepadamu. Aku menyelidikinya dan tak kutemukan orang dengan nama seperti namaku di masa ini, di tempat ini. Dari situ aku sadar akulah yang kamu maksud, aku dari masa depan,” jelas Kayla. “Misiku hampir gagal. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tak mengerti kenapa aku sampai menghilang?”“Mungkin saja, itu karena hal itu. Waktu itu...aku mendengar Faiz mengucapkan perasaannya kepadamu. Aku kira, aku kira Faiz menyukaimu,” terang Iskha. “Tetapi benarkah kau cucuku dari masa depan?”&ldq
“Kau belum menjawabku,” lanjut cowok itu.Iskha lalu mendorong pemuda itu sambil berusaha merebut coklatnya. “Itu coklat milikku, balikin!”Faiz mengangkat sebungkus coklat itu tinggi-tinggi. Lucu saja melihat kedua tingkah polah dua insan ini. Iskha berusaha meraih coklatnya, tetapi Faiz yang lebih tinggi mengangkat tangannya tinggi-tinggi akhirnya Iskha seperti kucing melompat-lompat ingin meraih sesuatu. Teman-temannya tertawa melihat hal itu.“Kalau melihat mereka kok rasanya dejavu ya?” gumam Sandi.“Oh, jangan-jangan kertas ini...,” Reno menunjuk gulungan ke kertas yang ada di ransel mereka.“AAHHHH!!” keempat anggota band berseru bersamaan.Lusi terkejut ketika keempat orang itu berseru. Dia tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba keempat anggota band tadi tertawa terbahak-bahak.“Oh, jadi begitu ceritanya. Baiklah,” gelak Ucup.“Tapi boleh ju
Arief mendesah lagi. Dia masih berada di sekolahan bersama dengan pengurus OSIS lainnya sedang mengatur dekorasi panggung. Tetapi pekerjaannya sudah selesai malam itu. Dia dan teman-temannya sedang beristirahat sambil makan-makan dari nasi kotak yang sudah disediakan untuk panitia. Meskipun makanannya tak begitu mewah, hanya berupa ayam bumbu rujak dengan sambal lalu nasi putih plus acar itu saja sudah membuatnya kenyang. Setelah makan dia duduk di sudut panggung sambil melihat teman-temannya yang asyik berkelakar di antara kursi-kursi yang sudah diatur. Dia menebak, kursi-kursi itu tak akan ada gunanya besok, karena para penonton lebih suka melihat pertunjukan itu sambil berdiri.“Pastikan ya gaes sebelum pulang, tak ada kesalahan. Sound system, lighting dan lain-lain!” ujar Arief dari kejauhan.“Sudah pasti, tenang aja! Pulang aja, Rief. Kamu sudah dari pagi di sini. Biar yang lain gantiin!” ucap salah satu panitia yang juga beristirahat.