Home / Young Adult / Just Friend (Trilogi Just, Seri-1) / BAB 5: Terpaksa Berbohong Demi Kebaikan

Share

BAB 5: Terpaksa Berbohong Demi Kebaikan

Author: LeeNaGie
last update Huling Na-update: 2024-06-03 20:25:33

ARINI

Si Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.

“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.

Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.

“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.

What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.

Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertinya harus berdiri di sini dulu sampai beliau pergi.

Begitu Pak Bambang keluar lagi, gue langsung melangkah cepat mendekati si Kunyuk. Gigi rasanya sudah menggeletuk erat. Napas keluar dari bibir dan hidung dalam waktu bersamaan.

“Nih, bersihkan sendiri! Gue datang ke sini buat latihan, bukan jadi babu lo!” sergah gue tepat di depan si Kunyuk.

Dia kaget dong mendengar perkataan gue. Mungkin dalam pikirannya, diri ini sama kayak siswi yang mau saja diintimidasi tanpa perlawanan.

Sorry, Nyuk. Pikiran lo salah tentang gue. Meski nggak berasal dari keluarga kaya, tapi gue masih punya harga diri, bisik gue dalam hati.

Air muka si Kunyuk kembali berubah datar kayak biasanya. “Lo masih mau main basket nggak di sini? Kalau masih, lakukan apa yang gue minta.”

“Emang ada peraturan tertulis harus melakukan apa yang diminta Brandon Harun, agar bisa latihan di sini?” tantang gue semakin maju ke depan.

Mata sayu si Kunyuk jadi tajam sekarang. “Di klub ini gue kaptennya. Suka-suka gue dong mau kasih syarat apa sama anggota klub.”

“Ada peraturan yang menyatakan kapten bebas mengubah atau menambahkan peraturan?” Gue masih belum mau kalah.

“Lo—” geramnya.

“Kenapa? Bingung mau beralasan Apalagi?” Gue mendongakkan kepala dengan tatapan menantang. “Atau lo benar-benar niat banget bikin gue mundur dari sini?”

Gue malah tertawa singkat. “Jangan bilang lo masih berpikir kalau gue ikut klub ini biar bisa deketin lo.”

Ya Tuhan, leher pegel juga lama-lama. Ini anak tinggi banget.

“Faktanya begitu. Mana ada sih cewek yang suka rela masuk ke klub basket cowok, kalau bukan incar anggotanya?!”

Lama-lama kesel juga sama nih anak. Emang sebelumnya gue sudah sebal dengan si Kunyuk ini.

“Gue masuk klub ini murni karena hobi main basket. Lo mau lihat gimana cara gue main? Dari sini, gue bisa masukin bola ke dalam ring sana,” kata gue menunjuk ke arah ring yang berjarak tiga meter.

Setelah mengembuskan napas keras, gue melangkah menuju keranjang yang berisi bola basket dan mengambilnya satu. Jari telunjuk dan jari tengah diarahkan ke dua bola mata, memberi kode agar si Kunyuk melihat permainan ini dengan saksama. Senyum miring diberikan kepadanya.

Gue mengambil posisi dengan jarak yang sama dengan tadi. Pertama kali yang dilakukan sekarang adalah menekuk sedikit kaki sambil melakukan stationary dribble dengan mata fokus melihat ke depan sambil memantulkan bola ke lantai. Dalam hitungan detik, gue sudah berdiri dengan posisi untuk melakukan shooting dan … bola masuk ke dalam ring dengan sempurna.

Mata ini mengerling ke tempat si Kunyuk berdiri. Kayaknya dia terkesima dengan apa yang gue lakukan.

“Gue masuk ke sini buat deketin lo? Jangan mimpi! Gue udah punya pacar,” pungkas gue meninggalkannya.

Begitu tubuh berbalik arah, gue menarik napas sebanyak-banyak mungkin saat tubuh memberi reaksi karena berbohong. Punya pacar? Siapa? Sampai sekarang nggak ada satupun cowok yang dekat sama gue.

Ah, bodoh amat. Yang paling penting, biar si Kunyuk nggak kepedean lagi. Kesel banget. Sumpah!

“Buktinya apa kalau lo udah punya pacar?” teriak si Kunyuk membuat gue menghentikan langkah.

Mampus, Ri. Dia tanyain bukti. Mau kasih bukti apa?

Gue memejamkan mata dua detik mencari jawaban, sebelum memutar balik tubuh.

“Lo nggak lihat gue tadi datang diantarin siapa? Itu cowok gue. Anak kuliahan.” Gue menaikkan sedikit dagu, mencoba berlagak sombong. Terpaksa berbohong demi kebaikan diri sendiri.

“Level gue bukan anak sekolah yang masih ingusan kayak lo,” sambung gue sambil mencibir kepadanya.

Well, Ri. That’s crazy! Saking frustasinya sampai bilang kakak kandung lo itu pacar. Mulai senewen lo, gerutu gue dalam hati.

Ketika mengambil tas, ponsel gue berbunyi. Pesan masuk dari Uda David.

My Brother: Udah pulang belum, Ri? Uda lagi di depan gerbang nih. Kalau belum pulang, Uda tungguin ya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Senyum kemenangan terbit di bibir ini, setelah membaca pesan dari Uda David. Gue bisa kasih bukti secara langsung sama si Kunyuk, biar nggak kepedean lagi.

“Lo tanya buktinya, ‘kan?”

Dia mengangguk.

Gue menggoyang-goyangkan ponsel. “Pacar gue udah nungguin di gerbang tuh. Mau kenalan sekalian?”

Sialan, Arini. Ngomong apa sih lo? Kalau dia beneran mau kenalan gimana? Jadi ketahuan bohong, ‘kan?

Si Kunyuk diam, mungkin sekarang merasa malu karena sudah kepedean berpikir gue suka sama dia. Sumpah demi apapun, orang yang berdiri di depan ini bukan kriteria cowok impian gue. Nggak ada manis-manisnya yang ada pahit. Iyeuks!

Tanpa menunggu respons darinya, kaki ini melangkah keluar gedung menuju gerbang karena pacar bohongan gue sudah menunggu di luar sana. Duh, Uda David datang tepat waktu untuk menyelamatkan adiknya yang tertindas ini.

Begitu melihat Uda David menunggu dengan senyum merekah di depan gerbang, gue langsung berlari. Senang banget deh bisa lepas dari si Kunyuk. Syukur-syukur habis ini sadar kalau tujuan diri ini bergabung di klub murni karena hobi bermain basket, bukan deketin dia.

“Katanya suruh Ari pulang sendiri, tapi dijemput juga,” ujar gue sok manja sama kakak sendiri.

“Kebetulan kuliah ditunda tadi, dosen ada keperluan mendadak jadinya baru kelar deh. Sekalian aja jemput adik tersayang, khawatir diculik juga kalau pulang sendirian,” goda Uda David sambil mengusap puncak kepala.

Gue berdecak sambil memasangkan helm. Pandangan ini nggak sengaja melihat ke tempat parkiran, ternyata si Kunyuk sudah duduk di atas motor gedenya.

“Berangkat sekarang yuk, Da,” ajak gue langsung naik ke atas motor. Bisa ketahuan nanti kalau lihat wajah kami berdua mirip pake banget.

Kening Uda David berkerut tampak jelas di kaca spion. “Kenapa sih, Ri? Kok cemas gitu?”

“Nanti aja Ari ceritain. Ayo pulang sekarang,” desak gue sambil menepuk bahunya.

Tanpa bertanya lagi, Uda David langsung menggas motor meninggalkan sekolah. Kami berkendara dalam keadaan hening. Gue larut dengan pemikiran, apa si Kunyuk percaya ya dengan apa yang dikatakan tadi? Berharap sih dia nggak cari gara-gara lagi besok.

“Tumben diam? Biasanya bawel kalau lagi di jalan,” teriak Uda David.

“Lagi nggak mood aja,” sahut gue sekenanya.

“Ada yang gangguin kamu di sekolah?” tanyanya lagi.

Gue memilih diam nggak menjawab pertanyaannya. Takut kualat juga kalau bohong sama kakak sendiri.

“Ari?” Tuh ‘kan jadi penasaran.

“Entar aja deh Ari ceritain di rumah.”

Uda kemudian mengangguk dan kembali fokus lagi melihat jalanan. Lima belas menit kemudian kami tiba di rumah, karena sedikit macet di jalan.

“Kamu kenapa sih, Dek? Cerita dong. Ada masalah di sekolah?” Uda bertanya lagi waktu motor terparkir di garasi rumah.

Dia kayaknya tahu ada yang aneh dengan gue tadi.

Gue mendesah pelan dengan kepala tertunduk. “Itu ada cowok resek yang ngeselin banget.”

“Oya? Siapa? Orangnya gimana? Ganteng nggak?”

Idih kok Uda David responsnya kayak gini sih?

Dia tertawa lebar sambil mengibaskan tangan. “Uda bercanda. Siapa yang berani macam-macam sama adik kesayangan Uda?”

“Itu Si Kunyuk nyebelin,” jawab gue tanpa sadar.

“Si Kunyuk?” Uda semakin terpingkal.

“Maksudnya si Brandon, kapten tim basket sekolah.”

Gue menceritakan semuanya sama Uda. Sejak dulu, dia yang selalu dijadikan tempat curhat. Enaknya punya kakak cowok yang perhatian tuh begini, beda sama adik gue yang cari ribut mulu, rasa pengin ditenggelamkan ke segitiga Bermuda. Eh, kasihan juga. Mau kayak apapun dia tetap adik kandung gue.

“Naksir kali sama kamu, Dek. Jadinya gitu, sengaja bikin kamu kesal,” komentar Uda David.

“Hah? Si Kunyuk naksir Ari?” Kini giliran gue tertawa keras.

“Anak gadis ketawanya kenapa begitu?” Terdengar suara Papa dari pintu yang terhubung dengan garasi. Gue auto diam mendengar suara beliau.

“Nggak sengaja, Pa. Kelepasan,” risik gue pelan.

“Siapa yang suka sama kamu? Bilang sama Papa,” tutur Papa membuat gue menelan ludah.

Uda sih pakai bilang si Kunyuk naksir gue segala, jadi runyam nih urusan kalau Papa sudah tahu.

Bersambung....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 74: From Just Friend to Just for Fun

    BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 73: Ingin Berjumpa denganmu Sekali Saja

    BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 72: Perasaan yang Tidak Tenang

    BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 71: Sesuatu yang Salah

    ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 70: Missing You

    ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 69: My (Her) Wedding Day

    ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status