"SAH"
Sebuah kata yang memiliki tiga huruf namun menimbulkan banyak tanya dalam benak Laras san Bima kini. Papa Rasyid menyalami penghulu dan dua orang saksi yakni Pak RT dan Pak RW yang sengaja diminta datang agar pernikahan Laras dan Bima bisa SAH meski hanya baru sebatas agama. "Pa, jadi Aku sekarang sudah nikah sama Om Bima?" Laras menatap sendu wajah Papa Rasyid yang kini duduk bersandar di sofa. Sejujurnya tak pernah terbayangkan oleh Papa Rasyid san Mama Lana akan menikahkan Laras dengan cara seperti ini. Bagaimanapun Laras adalah Putri Semata Wayang Mereka, bukan berharap pesta mewah namun Pernikahan yang terencana dan Ia memang restui dengan pertimbangan matang. "Kamu sekarang sudah SAH secara agama sebagai Istri Bima Laras, dan Kamu Bima, sudah resmi secara agama sebagai Suami sekaligus Imam bagi Laras." Bima bukan anak kemarin sore. Setiap kata yang Papa Rasyid lontarkan syarat makna dan kata Imam Bima pahami betul bahwa mulai detik ini Laras adalah tanggung jawabnya. "Baik, Pak Rasyid. Saya terima Laras dan Saya berjanji akan berusaha semampu Saya membimbing Laras agar menjadi Istri yang baik." "Em, Apa gak sebaiknya Pak, aduh, gimana ya, Maksud Ma, Saya, Em, duh kok jadi gak enak begini ya," Mama Lana terlihat sekali canggung akan situasi yang saat ini tengah terjadi. "Baik, Pa, Ma, Boleh Saya panggil begitu?" Seketika jantung Papa Rasyid seakan berhenti berdetak. Pria dihadapannya yang hanya berbeda lima tahun darinya kini memanggilnya Papa setelah resmi menikah dengan Putrinya. Tak berbeda dengan Mama Lana yang kini harus terbiasa dengan Menantunya yang berusia sama dengannya. Bukan Laras memang kalau tidak mengejutkan kedua orang tuanya. Tapi sepanjang hidup ini adalah yang paling mengejutkan bagi Papa Rasyid dan Mama Lana. "Ya, mungkin begitu lebih baik." Mama Lana menyikapi karena Papa Rasyid memilih diam. Bukan karena belum ikhlas Laras diperistri Bima namun ini semua mengejutkan. "Ras, ajak, Suamimu istirahat. Mungkin Bima lelah." Mama Lana tidak hanya membuat Laras terkejut, namun Papa Rasyid dan Bima menoleh tak percaya dengan ucapan Mama Lana. "Ada apa? Apa Aku salah?" Seolah kata-katanya barusan adalah kesalahan hingga membuat dua laki-laki dewasa yang hampir sebaya namun berstatus Menantu dan Mertua kompak memberikan tatapan tak percaya pada ucapan Mama Lana. "Om mau ke kantor kan? Iya dong!" Laras tentu saja menolak. Apa-apaan. Masa Ia harus berbagi ruang kecil dan tempat privasinya dengan pria asing. Wait? Tapi kan Om Bima sudah jadi Suaminya sekarang. Nanti dulu ya! Nafas dulu Boss! Ini sih lebih dadakan dari tahu bulat yang dijual pakai mobil pick keliling komplek dengan sound template. "Iya Pa, Ma, Saya mau ke kantor dulu. Memang sebetulnya Saya ada urusan, meeting di kantor. Jadi Saya sekalian pamit." Bima juga masih delay, meski Ia sudah sadar kini kesendiriannya sudah berakhir dengan ijab kabul yang baru saja Ia lakukan. "Oh iya, maaf, ini mohon diterima." Bima menyerahkan cek yang tadi Ia jadikan Mas Kawin untuk Laras. Bukan perhiasan atau bahkan sesuatu yang spesial namun Cek Senilai Satu Milyar yang Ia berikan untuk Mahar dan memang di sakunya ada itu saja. "Maaf ini mohon diterima," Sekali lagi Bima menyodorkan cek tersebut karena seorang pun belum ada yang menerima. "Ya udah, bener nih buat Aku Om? Wah lumayan buat jajan!" Laras enteng saja dan memilih asal ngomong demi menutupi kegugupannya. "Ngomong yang bener Laras! Itu mahar dari Suamimu. Harus dijaga baik-baik! Masa buat jajan!" Mama Lana kembali dalam mode Emak-Emak pada umumnya yang kesal saat anaknya asal dan serampangan dalam bersikap. Sambil menarik nafas, berat sekali rasanya jadi Papa Rasyid hari ini, "Laras, itu uang Mahar yang diberikan Bima memang hak Kamu, tapi gunakan dengan bijak uang itu, jangan asal saja." "Iya. Becanda doang kali Pa. Tapi Om ikhlas kan ngasih ini ke Aku? Aku baru kali ini tahu megang cek semilyar? Biasanya boro-boro Papa kalau minta uang buat shopping pertanyaannya ngalahin sidang skripsi." "Laras," Papa Rasyid mengkode. Masa jujur banget didepan Menantunya soal begitu. Cie Papa Menantu nih ye! "Bersyanda." Laras memberikan tanda peace pada Papa Rasyid. "Astaga, anak begini yang jadi Istriku?" "Dosa apa yang Aku lakukan, Apa mungkin anakku bisa menjadi Istri yang baik?" "Nih anak, jodohnya emang deket! Tapi kudu Mamanya tatar nih! Bima kayaknya buang orang sembarangan! Laras, tenang, come to Mama!" "Hello! Kenapa jadi bengong begini ya?" Laras memecah lamunan ketiganya. "Oh ya Pa, Ma, Saya sekalian mau pamit." Bima meraih tangan Mama Lana dan Papa Rasyid hendak salim. Tentu saja keduanya awalnya sungkan namun mengingat status Mereka akhirnya tangan keduanya resmi officially dicium oleh Sang Menantu Baru, BIMA. "Loh Ras, Kamu kok malah diem aja? Salim! Suami mau berangkat ngantor biasain salim! Kamu kan sering lihat Mama ke Papa gimana." Mama Lana mulai mentatar sang anak agar perlahan bisa beradaptasi. Laras tanpa banyak cingcong meraih tangan Bima dan menyalaminya. Bagi Laras hal biasa saja. Anggaplah seperti sedang salim dengan Papa Rasyid. Namun bagi Bima, ini adalah salim kedua Laras setelah tadi setelah ijan kabul dan kini ketika Ia akan berangkat kantor. Entah gelayar aneh dalam relung hati Bima yang tak pernah Ia rasakan selama ini begitu hangat namun membekas dalam hatinya. Perasaan yang entah apa namanya namun ada keterikatan yang terasa mulai merenda di dalam sanubari Bima manakala jemari Laras bersentuhan dengan tangannya dan bibir lembut itu mendarat diatas telapak tangannya. "Om, kok bengong! Katanya mau meeting!" "Oh iya. Kalau gitu Saya pamit Pa, Ma, Laras. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Loh, kok balik lagi?" "Saya lupa, Kamu nanti Saya jemput ya." "Loh memang mau kemana?" "Ya pulang?" "Pulang kemana? Ini rumah Saya." "Kan sekarang Kita sudah Suami Istri, Kamu ikut pulang ke rumah Saya." "Apa!" Sepeninggal Bima, Laras di dalam kamarnya malah mondar-mandir gak jelas. "What! Masa sih Gue harus ikut Om Bima ke rumahnya. Yang ada Gue bakal ketemu Si Brengsek! Gak mau!" "Loh Mama, kok gak ngetuk dulu sih! Main masuk aja!" "Kamunya aja yang gak denger! Mama lihat Kamu di dalam kamar mondar-mandir kayak setrikaan rusak! Kenapa?" "Mama sama Papa kok gak ngelarang sih Laras mau dibawa sama Om Bima." "Ya bener dong! Toh Kamu mau diajak tinggal di rumah suami Kamu! Masa Papa sama Mama larang!" "Ya tapi, Laras kan nikahnya dadakan Ma. Belum dicatat KUA juga!" "Walau begitu, kewajiban Kamu tetap harus taat suami Ras! Udah mending Kamu siap-siap! Bawa Pakaian Kamu seperluanya aja. Nanti kalau mau nginep disini jadi masih ada baju!" "What! Mama! Kok jadi disini Nginep! Teganya Laras di usir! Papa, Mama jahat!" Di bawah Papa Rasyid mengusap dahinya sambil menghela nafas, "Ya Allah, semoga keputusanku menikahkan Mereka tepat dan benar."25 Tahun Kemudian"Sayang, Kamu kok melamun sendirian disini?" Revano berjalan menuju balkon kamsr Merek, mendapati Sandra sedang menatap arra taman belakang sambil menyilang tangan dan tatapan teduh menikmati udara sore."Mas, Kaget Aku. Kapan pulang Mas?" Sandra merentangkan kedua tangannya, Revano dengan segera membawa Sandra dalam dekapan hangatnya.Bagi Sandra pelukan Suaminya adalah tempat ternyaman. Revano adalah rumah sekaligus pelipur lara dan temoat berbagi semua perasaan."Masih kaget aja lihat ketampanan Suaminya. Oh iya Sayang, Lusa ikut Mas yuk."Sandra masih betah menghirup aroma yang sejak dulu selalu membius dan memberikan ketenangan."Ada acara apa Mas?" Sandra melepaskan pelukannya namun Revano yang masih betah, hanya memutar tubuh Istrinya, kembali memeluk dari belakang."Mitra kerja Kita ada yang mengundang, Mereka mau merayakan ulang tahun pernikahan. Datang ya temani Mas. Gak enak kalau Mas gak datang.""Iya. Aku selalu temani Mas, kapan Aku pernah gak nemenin?"
Seminggu sudah sejak kepulangan Sandra dari Rumah Sakit. Melahirkan dua bayi kembar laki-laki. Paras keduanya masih bayi saja sudah tampan rupawan.Mereka plek ketiplek mewarisi gen Revano. Dengan bangga Revano bahkan memperkenalkan kedua anak Mereka dihadapan para undangan yang datang keacara Aqiqah kedua Putra Kembarnya.Acara aqiqah untuk Putra Kembar Sandra dan Revano berlangsung megah di salah satu ballroom hotel berbintang lima di Jakarta. Dekorasi bernuansa putih dan emas menghiasi ruangan, menciptakan suasana hangat dan khidmat sekaligus elegan. Sandra tampil anggun dalam balutan kebaya modern berwarna pastel, sementara Revano mengenakan setelan jas hitam rapi yang menambah kesan berkelas.Kerabat dekat dan relasi bisnis pasangan itu hadir dengan penuh antusiasme, membawa berbagai doa dan hadiah untuk Baby Rey dan Baby Rein yang baru berusia beberapa bulan. Suara tawa dan percakapan hangat memenuhi ruangan, sesekali terdengar suara bayi yang lucu dari kedua buah hati yang teng
Sandra terbangun dengan rasa aneh di kakinya yang basah oleh air. Pagi itu udara masih dingin, tapi tubuhnya mendadak hangat oleh gelisah yang sulit diungkapkan. Opa Narendra yang sudah tua namun sigap langsung tahu apa yang terjadi. "Sandra, ini ketubanmu pecah. Kita harus segera ke rumah sakit," ucapnya dengan suara berat tapi penuh perhatian.Sandra menatap Revano yang terlihat panik, wajahnya berubah seketika dari tenang menjadi cemas. Revano menggenggam tangan Sandra erat-erat, mencoba menahan rasa takut yang menguasainya. "Sayang, bertahan ya," bisiknya dengan suara bergetar, mencoba memberikan kekuatan meski hatinya sendiri tak kalah gentar. Sandra menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri di tengah rasa sakit yang mulai merayap. Ia tahu, waktu mereka sekarang sangat berharga.Sandra terbaring lemah di ruang persalinan, wajahnya yang biasanya cerah kini tampak pucat dan penuh kecemasan. Air ketubannya sudah mulai keruh, pertanda bahaya yang mengancam dirinya dan kedua buah
"Papa sama Mama mau balik?" Suasana meja makan dirumah Bima saat menikmati sarapan."Iya Bim, Papa ada urusan di kantor." Papa Rasyid meneguk kopinya setelah menjelaskan alasan keduanya buru-buru pulang."Mama juga?" Laras kali ini menatap wajah Mama Lana yang sedang menikmati Teh Melati."Iya Sayang, Mama ada janji sama temen Mama. Gapapa ya, nanti Mama main lagi kesini. Nginap lagi. Atau Kalian yang menginap di rumah Kami.""Iya Ma, Bima dan Laras akan sering-sering mengunjungi Mama. Iya kan Sayang?" Wajah Bima berseri, mengambil jemari Laras menggenggamnya Mesra.Hati orang tua mana yang tak bahagia melihat rumah tangga anak Mereka rukun dan harmonis."Oh ya Bim, Nanti Kalian juga sudah Mama jadwalkan soal Prewed. Pokoknya Kalian tahu beres deh!" Mama Lana memang seantusias itu mempersiapkan Resepsi Laras."Iya Ma. Mama kan udah kasih tahu Kita." Laras yang menjawab."Mama itu bukannya bawel Ras, tapi Mama ngerti Bima itu sibuk makanya Mama mengingatkan."Bima tersenyum, sepertinya
"Rania? Kamu pulang sama Siapa?"Bunda Rita melangkah sambil tersenyum ramah, menyambut Rania dan Raka."Malam Tante, Saya Raka." Raka meraih tangan Bunda Rita memberi salam."Ayo masuk Nak Raka, Rania kok ada Tamu dibiarin aja." Rania ternganga, kenapa Bundanya jadi ramah banget.Tak mau repot memikirkan apa yang selanjutnya terjadi, Rania pun masuk dan kembali dibuat terkejut."Makasi Nak Raka sudah repot antar Rania, Ran, buatkan minum untuk Nak Raka." "Pak Raka mau langsung pulang Bun.""Kenapa juga mesti Gue bikinin minum nih orang! Ini lagi Bunda, malah disuruh mampir, masuk ke dalem.""Loh kok gitu Ran! Gak boleh Jutek begitu Sayang, Nak Raka memang buru-buru?"Tatapan Rania sudah ingin makan orang. Ini lagi Si Kulkas kenapa mode ramah sama Ibu-Ibu. Jangan-Jangan selera Si Kulkas yang STW begini. Rania memang suka ngawur jalan berpikirnya."Tidak kok Tante. Tante maaf tadi Saya ajak Rania dulu ke Bengkel. Mobil Saya dan Rania sekarang ada dibengkel dulu. Jadi Saya anter Rania
"Rania? Kamu pulang sama Siapa?"Bunda Rita melangkah sambil tersenyum ramah, menyambut Rania dan Raka."Malam Tante, Saya Raka." Raka meraih tangan Bunda Rita memberi salam."Ayo masuk Nak Raka, Rania kok ada Tamu dibiarin aja."Rania ternganga, kenapa Bundanya jadi ramah banget.Tak mau repot memikirkan apa yang selanjutnya terjadi, Rania pun masuk dan kembali dibuat terkejut."Makasi Nak Raka sudah repot antar Rania, Ran, buatkan minum untuk Nak Raka.""Pak Raka mau langsung pulang Bun.""Kenapa juga mesti Gue bikinin minum nih orang! Ini lagi Bunda, malah disuruh mampir, masuk ke dalem.""Loh kok gitu Ran! Gak boleh Jutek begitu Sayang, Nak Raka memang buru-buru?"Tatapan Rania sudah ingin makan orang. Ini lagi Si Kulkas kenapa mode ramah sama Ibu-Ibu. Jangan-Jangan selera Si Kulkas yang STW begini. Rania memang suka ngawur jalan berpikirnya."Tidak kok Tante. Tante maaf tadi Saya ajak Rania dulu ke Bengkel. Mobil Saya dan Rania sekarang ada dibengkel dulu. Jadi Saya anter Rania p