LOGINMarinne ingin lepas dari pernikahannya dengan Moss, tetapi suaminya menahannya dengan alasan tak di mengerti, saat rahasia gelap dan masa lalunya muncul, Ia harus memilih antara menuruti aturan keluarganya atau menghadapi bahaya yang mungkin akan mengubah kehidupannya di masa depan.
View MoreMarinne Voss menarik napas panjang sebelum memasuki rumah besar itu — rumah yang secara hukum adalah miliknya juga, tetapi terasa seperti museum yang dijaga oleh hantu. Rumah keluarga Voss memang selalu sunyi, selalu dingin, selalu terasa mengawasi. Seolah dindingnya mengingat setiap rahasia.
Begitu pintu digeser, suara engsel memecah ketenangan, lalu mengembalikannya menjadi sunyi lagi.
Ia baru saja pulang dari kantor lamanya; tempat ia mencoba kabur dari perannya sebagai “Nyonya Voss” meski hanya dua jam.
Di ruang tengah, koper pakaian Marinne tergeletak begitu saja. Terbuka. Berantakan. Seakan dicampakkan.
Marinne memicingkan mata. “Serius?”
“Selamat malam, Ny—”
“Ke mana?”
“Keluar dari kamar utama.” Aster menelan ludah, tak sanggup menatap mata Marinne. “Kamar-kamar lain… semuanya juga sudah dikunci.”
Tangan Marinne mengepal. “Dia menganggap ini permainan?”
Aster terdiam. Tak mungkin ia mengiyakan.
Marinne mengangkat koper itu dengan kasar. Lalu menunjuk pintu kamar tamu di sebelah barat. “Buka.”
“Tidak bisa, Nyonya.”
Marinne mendekat, menarik napas panjang, lalu memutar kenop. Terkunci. Sama seperti semua pintu sepanjang lorong. Seolah rumah ini menolak keberadaannya.
“Kalau begitu,” Marinne berujar getir, “aku tidur di ruang tengah. Seperti gelandangan.”
Aster hampir ingin menawarkan selimut, tapi ia tahu Darian akan marah. Jadi ia hanya menunduk sebelum mundur.
Ketika rumah akhirnya benar-benar sunyi, Marinne merebahkan tubuh di sofa. Lampu-lampu kristal di atasnya redup, membuat bayangan-bayangan panjang bergerak seolah rumah itu bernapas.
Ia mencoba memejamkan mata, tetapi udara terlalu dingin. Atau mungkin hatinya yang dingin.
Darian Voss — suaminya — sudah tiga minggu tak pulang. Atau mungkin pulang diam-diam dan pergi tanpa suara lagi. Ia memang begitu; pria yang bisa ada dan tiada tanpa jejak.
Dan tetap saja ia sempat mengusir istrinya dari kamar, padahal ia bahkan tak ada di rumah.
“Brengsek,” gumam Marinne, lebih lirih daripada marah.
Pagi datang seperti kabut — pelan, berat, dan tidak membawa kehangatan apa pun.
Saat Marinne bangun, koper make-up-nya sudah ada di meja. Diletakkan rapi. Sangat rapi. Terlalu rapi.
Ia menatapnya curiga. “Jadi semalam dia pulang?”
Tidak ada jawaban, tentu saja.
Marinne berdandan cepat. Ia menatap cermin dan melihat versi dirinya yang semakin asing: rapi, kaku, wajah elegan namun kosong. Pernikahan membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya — atau lebih letih.
Saat ia turun, suara Aster terdengar tergesa. “Nyonya, Anda harus kembali siang ini. Ada pertemuan keluarga mendadak.”
“Pertemuan apa?”
“Saya… tidak diberi penjelasan.”
“Tentu saja,” Marinne mendecak, “keluarga ini tidak pernah menjelaskan apa pun.”
Ia keluar rumah sebelum Aster sempat menawarkan mobil. Ia butuh udara. Ia butuh jarak.
Namun baru saja sampai kantor, teleponnya berdering tiga kali — pola yang hanya digunakan keluarga Voss jika keadaan genting.
Marinne menjawab. “Halo?”
Suara tante iparnya, Lady Celestine, terdengar pecah.
Marinne langsung tegak. “Jatuh? Maksud Tante—”
“Beliau tidak sadar. Cepat pulang.”
Telepon terputus sepihak.
Tubuh Marinne memanas dingin. Tanpa pikir panjang, ia memerintahkan sopir kembali. Seluruh perjalanan seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu lambat.
Saat tiba di Estate utama keluarga Voss, para pelayan berseragam hitam sudah berkerumun. Wajah-wajah tegang, bisikan panik. Dokter keluarga berdiri di depan kamar Patriark dengan wajah tak baik.
“Bagaimana keadaan beliau?” suara Marinne bergetar.
Dokter itu hanya menggeleng. “Kami… sudah terlambat.”
Dunia berhenti.
Patriark — ayah mertua yang meski dingin namun selalu adil — tidak mungkin pergi begitu saja.
Ketika kain putih menutupi tubuh tua itu, dada Marinne sakit. Bukan karena kedekatan, tetapi karena firasat: ini tidak wajar.
Bisikan pelayan di belakangnya menegaskan itu.
“Tadi malam… beliau menolak ditemani siapa pun di ruang anggur.”
Bisikan terputus.
Karena Darian muncul.
Dan untuk pertama kalinya, tatapan mata itu bukan marah.
Tapi… takut.
Anshel mengeluarkan handphone dan menunjukkan sebuah berita. Fleur membacanya. “Kenapa beritanya menjelek-jelekanku? Harusnya mereka memberitakanmu, dengan simpananmu.” Diduga rumah tangga Anshel Robinson Noble dan istrinya, Princetta Fleur Ruthven, sudah tidak harmonis. Mereka jarang terlihat bersama di depan publik, dan dari beberapa foto yang beredar, Fleur tampak sangat dingin terhadap suaminya. Fleur mendengus. Tatapan Anshel langsung mengeras. Ia menarik Fleur ke ranjang, memaksa wajah mereka begitu dekat. Fleur refleks mengalihkan pandangan, tapi Anshel menahan dagunya dengan kuat. “Jangan memancing kemarahanku, Fleur,” desisnya. “Ini ulahmu yang keras kepala. Seharusnya kau tetap di sisiku, ke mana pun aku pergi.” Anshel mendekat ke telinganya. Fleur bisa merasakan napasnya sebelum giginya menyentuh kulit itu. “…termasuk di tempat tidur, bukan?”
Fleur menahan napas di balik rak server, menunggu suara langkah itu menjauh. Setelah yakin area aman, ia keluar perlahan, namun baru beberapa langkah, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya dan membantingnya ke dinding. Dingin logam pistol menempel di pelipisnya. “Siapa kau?!” Suara itu dalam, tenang, terlalu tenang untuk orang yang panik. Jantung Fleur berdetak hebat karena terkejut, lalu ia mulai menenangkan diri. “Aku—” “Jangan bergerak. Ini zona terbatas. Bagaimana kau bisa masuk?” Fleur bisa merasakan kesigapan militer dari caranya menahan posisi. Tidak gemetar. Tidak ragu. “Hanz, tahan!” seru Benjamin dari pintu. “Ini istri Tuan Anshel!” Serentak, ia me
Fleur dan Anshel sedang bertengkar di kantor Noblecrest Systems. Fleur menutup telinganya, mencoba menahan kebosanan sekaligus amarah, tapi setiap kata yang diucapkan Anshel tentang masa lalunya membuat dadanya semakin sesak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Aku akan mengembalikan semua uang itu padamu,” katanya dengan suara bergetar tapi tegas. “Aku menyetujui kesepakatan awal, dan seharusnya kita segera mengakhiri pernikahan sialan ini, Tuan Anshel.” Anshel menatapnya lama, senyum tipisnya seperti pisau. “Oh ya?” bisiknya. “Sayangnya, Ayahmu sudah memberimu padaku sepenuhnya, Fleur.” Fleur menatapnya dengan mata membara. Rasa marah bercampur kecewa, membakar dari dalam. Tanpa sadar ia melangkah mendekat dan menarik kerah suaminya. Bibirnya bergetar saat bicara.
Fleur sedang mengobati mata Anshel yang kesakitan karena kena tinjunya. Tapi ia melihat samar merah di lehernya, ia meyakini kalau Anshel telah bercumbu dengan kekasihnya, hingga membuatnya tersulut amarah. Ia menyuruh Anshel mengobatinya sendiri. Ketika Fleur hendak pergi, Anshel menarik pinggang Fleur hingga ia terduduk di pangkuannya. Anshel juga sempat melihat lehernya yang merah di cermin dan ia tidak membiarkan Fleur pergi saat mencoba membebaskan diri. “Fleur, apa kau cemburu?” Fleur menyipitkan matanya. “Kau tahu kau itu menjijikan, kau punya istri tapi masih tidur dengan wanita lain?” Anshel menyeringai. “Jadi kau mau melayaniku?” Fleur panik, dan gugup. “Bu.. Bukan seperti itu maksudku?” desisnya. Anshel berdiri sambil me






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.