POV DIlA
Aku menelan ludah saat mendengar suara Lingga berteriak ingin ikut juga ke rumah. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak dapat berkata apa-apa. Aku bingung ….' "Sayang, dia siapa?" Pertanyaan perempuan di samping Lingga tadi itu, membuatku terasa sesak kembali. Entah kesialan apa aku bisa bertemu mereka di sini. Harusnya aku tidak menuruti rengekkan Gara untuk bermain di pantai. "Hai, Gara!" sapanya pada anakku saat dia sudah berhasil menyusul kami dengan nafas yang masih terdengar ngos-ngosan. Aku diam saja sambil tetap berjalan. Kebetulan rumahku tidak terlalu jauh dari pantai. Jadi masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. "Hai, Om," balas Gara. "Kamu anak siapa? Ganteng banget kaya om waktu kecil?" tanyanya, aku menelan air liur, segera Lingga mengangkat Gara dan menggendongnya. Sementara Rara dan Mas Bima hanya terdiam sambil sesekali tersenyum. "Anak Mama!" jawab Gara.POV LINGGA Kenapa kamu diam saja? Tidak ada jawaban?" tanyanya menghujam hatiku. Bukan aku tidak punya jawaban, hanya saja aku menyaring ucapannya saat ini. Kalau aku tidak menikahi Dila, selain harus mengesampingkan perasaanku, juga bagaimana dengan Gara? Aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Aku bingung dengan perasaan saat ini. Benar kata Dila, harusnya aku menunggu kalau memang aku mencintainya. Bukan seperti ini, mudah sekali aku berpaling. "Dila, tekadku sudah bulat. Akan kukatakan pada Keyla masa lalu kita. Aku yakin Keyla akan mengerti. Lama aku mencarimu, aku takan pernah lagi melepaskanmu!" 'Aku harus bisa mendapatkanmu, Dil.' "Lihat mata aku!" ucapku sambil meremas bahunya. Dila menunduk. "Aku bilang lihat mata aku, Dil. Aku tidak memintamu untuk menunduk!" "Apa kamu tidak mencintaiku?" tegasku bertanya. "Dila jawab!" Aku masih meremas kedua bahunya. "Sakit! Lepasin!" ucapny
POV Dila Aku tidak dapat berpikir dengan jernih malam ini. Aku benar-benar tidak tahu apa tindakanku salah atau benar. "Mama, Om Tampan mana? Mama dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Gara saat aku baru saja masuk ke rumah. Ya, setelah meninggalkan Lingga tadi, aku tidak langsung masuk dan memilih untuk duduk di teras. Menikmati cahaya bintang yang berkedip-kedip. Tak bisa aku bohongi perasaanku pada Lingga. Aku mencintainya tapi, aku sendiri tidak ingin menyakiti hati Keyla. Aku yang meninggalkannya, kenapa aku harus mengharap kembali padanya saat dia sudah menjadi milik orang lain? Dasar aku ini memang egois. "Mama!" panggil Gara lagi. Aku bersimpuh di hadapannya lalu memegang tangannya. "Kenapa, Sayang? Mama tadi duduk di teras. Lihat bintang yang bertaburan di atas langit," kilahku. Gara mengusap air mata yang menetes tiba-tiba di pipiku. "Mama kenapa nangis?" "Mama senang, bangga, punya Gara di dunia ini. T
POV LINGGA "Gara, Papa boleh tanya sesuatu?" ucapku bersimpuh di hadapannya saat telah selesai membelikannya es krim. Saat ini, aku berada di taman dekat rumah Dila. Kubayangkan juga saat ini Dila duduk di samping Gara. "Boleh. Papa mau tanya apa?" Kugenggam sebelah tangan anak itu. "Gara sayang, Papa?" tanyaku. Gara mengangguk. Secepat kilat anak itu turun dari tempat dudukku dan memelukku erat. Sontak saja aku kaget dibuatnya. "Gara sayang, Papa. Gara mohon, Papa jangan pergi ke laut lagi," ucapnya masih memelukku erat. Dapat kurasa mataku berkaca-kaca mendengar ucapannya. "Papa janji. Papa tidak akan tinggalin Gara. Kecuali jika nyawa Papa tiada," lirihku memeluk Gara. Rasanya aku sayang banget sama dia. Berat hati ini kalau harus berpisah dengannya. "Sekarang Gara duduk lagi dan makan es krimnya ya?" "Baik Papa." Beberapa kali kuambil fotonya takut kalau suatu saat aku tid
POV ADI Malam ini, di rumah kami masih membicarakan Lingga. Membicarakan bagaimana kalau Lingga tidak kembali dan lebih memilih Dila. Keyla juga masih berada di sini. Mama yang memintanya untuk menginap karena perempuan itu masih saja menangis. Keluarganya berada di Jakarta. Rencana, besok dia akan kembali ke Jakarta diantar oleh karyawan Papa. "Mama benar-benar tak habis pikir dengan Lingga, Pa. Bisa-bisanya dia lebih memilih anak dari perempuan gila itu!" kesal Mama. "Pokoknya Mama nggak mau, nggak rido. Amit-amit Mama harus punya besan orang gila. Nanti nikah sama Lingga, malah Lingga diselingkuhin bagaimana? Ngeri ah!" cerocos Mama. "Mama tenang saja. Lingga pasti kembali. Mana mungkin dia bisa hidup tanpa kita? Papa akan blokir semua aksesnya supaya dia tidak punya apa-apa. Mau cari kerja dimana? Sedangkan ijasah dan semua berkas ada di rumah ini. Berani dia menikahi perempuan itu, maka … Papa coret namanya dari kartu
POV KEYLA Aku masih tak habis pikir dengan kejadian yang baru saja kualami. Diputusin pacar, gara-gara pacar ketemu mantan? Emang sih aku salah. Aku yang memaksa Lingga membuka hati untukku. Dia terus menolak, tapi aku meyakinkan kalau aku bisa mengobati luka hatinya. Awalnya hanya hubungan antara bos dan karyawan. Namun, karena kelihaianku yang pandai mengambil hati semua orang, aku dan Lingga naik status jadi seorang teman. Lalu seringnya berkomunikasi, naik lagi jadi sahabat, setelah mengerti kegundahan hatinya, aku mulai ingin menjadi pasangannya. Aku juga yang mengungkapkan perasaan lebih dulu. Karyawan mana sih yang tidak jatuh hati pada bosnya yang tampan juga single? Banyak yang mencari perhatian Lingga disana, termasuk cewek asli Jepang juga ada yang mengincarnya. Tapi Lingga terlalu dingin. Pun dia mau membuka hatinya karena aku yang pengaruhi otaknya. Setiap kali bertanya, kujawab bisa saja perempuan itu sudah me
POV Lingga Kesal dengan mulut Mama yang berbicara seenaknya, kutinggal saja masuk ke kamar. Biar saja Mama bicara sampai mulut berbusa aku tak peduli. Toh mereka tidak lebih pintar dari aku. "Kak, Lo masih nyimpen kontak Bima dan Rara 'kan?" tanyaku saat Kak Adi sudah masuk ke dalam kamar. "Masih dong," jawab Kak Adi sigap. "Bagus, kita telepon Bima sekarang," ujarku. Tut…! Tut ….! Tak lama panggilan tersambung. "Halo, Di," ucap Bima. "Halo, Bim. Dimana?" tanya Kak Adi. "Masih di Bali nih. Nanti mau berangkat ke Surabaya. "Bim, Dila ada nggak?" Aku langsung menyambar ponsel Kak Adi. Kami beralih pada panggilan VC. "Ada lagi bersiap sama Gara. Kebetulan Gara libur sekolah, jadi kami semua berencana pergi ke Surabaya." Senang sekali mendengar penuturan Bima. "Dil! Telepon dari Lingga nih!" Terlihat Bima memanggil Dila. Tak lama per
POV TANIA Tiga hari berlalu …. Setelah sekian lama akhirnya aku kembali lagi ke kota ini, sudah banyak yang berubah. Mbak Lirna dia semakin maju. Hidup anaknya juga enak. Dapat menantu tampan, kaya, berpendidikan. Keluarga Bima juga sangat menyayanginya. Sementara aku dan anakku? Bernasib buruk. Keluargaku hancur, anakku hamil di luar pernikahan. Jujur saja aku iri dengan kehidupan Mbak Lirna. Kenapa dia itu selalu saja beruntung dari aku. Padahal aku yang seharusnya menang. Tapi, sekarang wajahku seperti terlempar kotoran. Wajar aku sebagai manusia biasa iri melihat kebahagiaan keluarganya. Munafik kalau aku bilang tidak sakit hati melihat Mbak Lirna bahagia. Tapi aku bisa apa selain diam dan menonton kebahagiaan mereka. Sedih sih sebenarnya. Sedih karena sekarang aku jadi seperti ini. Melihat kebahagiaan mereka entah kenapa hatiku merasa panas dan menjerit? Aku tidak suka, aku ingin mereka juga menderita sepertiku, tapi takdir berpihak baik padanya.
POV DiLA…. Setelah semua orang kembali ke kamar masing-masing, aku kembali memikirkan ucapan Mama. Meminta Lingga segera menikahiku. Gara, anak itu sudah terlelap. Mungkin kini berada di alam mimpi. Bocah kecil tampan itu memang sangat dekat dengan Ayahnya kini. [Malam, Sayang] Orang yang tengah Kupikirkan mengirim pesan. Ah, kebetulan sekali. [Malam, sedang apa kamu] balasku. [Memikirkan untuk bisa segera menikah dengan kamu. Kumpul jadi keluarga yang bahagia.] Membaca pesan darinya membuat bibirku mengulum senyum. [Hum, kalau aku mau menikah bagaimana? Rencana, Gara akan pindah sekolah disini. Dia tidak mau kembali ke Bali.] [Bagus dong. Serius kamu mau nikah meskipun tanpa restu dari orang tuaku?] [Aku serius.] [Demi Gara atau karena kamu cinta sama aku?] Dasar Lingga. [Demi Gara dan karena aku cinta sama kamu. Sepertinya aku memang tidak bisa menjauh dari