POV DILA
Sore ini aku masih berada di rumah Mas Bima dan enggan beranjak pulang. Rasanya aku ingin lebih lama berada di sini. Di rumah mertuaku, aku sama sekali tidak nyaman. Sungguh, aku ingin cepat pergi dari sana. Ingin aku ceritakan kisah rumah tanggaku pada mereka. Tapi bagaimana perasaan suamiku nantinya. Jujur, aku inginkan rumah tangga bahagia seperti Rara dan Mas Bima. Penuh suka cita dan keromantisan. Aku tidak tahu kalau syarat tinggal bersama mereka akan menyiksaku seperti ini.
"Hari ini kita makan malam bersama gimana?" tanya Rara. "Nggak usah bawa Gara. Biar kalian bisa habiskan waktu berduaan. Kaya kami gini jadi berasa menikmati masa pacaran dulu," lanjutnya."Gimana, Yang?" Aku bertanya pada Lingga. Lingga mengelus pucuk kepalaku. "Boleh juga," ucapnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan malam bersama di luar nanti.***Malam menyapa waktu juga sudah menunjukkan pukul 7 malam. STok … tok … tok …!" "Mama….!" panggil Gara. Aku segera mengusap air mata dan beranjak membuka pintu. Sebelum keluar, aku bercermin sebentar. Nampak di kaca mataku sangat sembab. "Iya, Sayang," jawabku seraya membuka pintu. "Mama, aku lapar. Tadi aku mau makan bareng dedek Ica, tapi nggak boleh sama Nenek," ucapnya menunduk. Anakku terus memegangi perutnya. Sejenak dadaku terasa sesak. Mama mertuaku benar-benar sudah kelewatan. "Tadi waktu dedek Ica makan, nggak ada Tante Rahma, Sayang?" tanyaku. "Nggak ada, Ma. Tante Rahma lagi muntah-muntah," ucapnya polos. "Ya udah, kita makan yuk ke dapur," ajakku. *** "Jangan ambil nasi itu! Saya tidak ikhlas makanan saya dimakan oleh kalian!" cegah Mama yang Tiba-tiba muncul di dapur. Aku menyunggingkan sebelah bibir tersenyum kecut. Sedikit aku gelengkan kepala menatap ke arahnya. Tatapan yang tak habis pikir dengan sikap semacam itu. Menjijikkan! Tak b
Akhirnya akupun memilih untuk mendengarkan percakapn mereka hingga seleseai terlebih dahulu. "Jujur aku mencintai istriku. Namun, aku juga masih ada rasa untukmu. Lantas bagaimana sekarang? Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur," ujar Lingga. "Brengsek. Laki-laki brengsek," gumamku. 'Tega sekali kamu Mas ….' "Aku juga tidak ingin keluargaku hancur. Tapi rasaku padamu masih besar, Kak …," ucap Asta. "Kak, aku ingin kamu. Biarkan semua mengalir dengan sendirinya. Aku tidak mampu untuk tidak bisa memikirkanmu. Aku ikhlas meski kutahu ke depannya aku akan tesisih dan tersakiti. Biarkan aku terus mencintaimu. Aku mencintaimu, Kak," lanjutnya terdengar memaksa. Tak kuat aku pun menoleh ke belakang. Dapat kulihat mereka saling berpegangan tangan dengan erat. Setelah obrolan berlanjut diantara keduanya, mereka pun sama-sama mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan hubungan yang salah itu. "Aku tahu, ini sangat salah. Tapi aku tak mampu
POV LINGGA Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Tak sadar aku dan Asta telah melakukan sebuah dosa. Entah kenapa, aku begitu menikmati saat bersamanya. Jujur saja, aku merasa bersalah pada Dila. Aku sendiri tak menyangka bisa terjebak cinta masa lalu. Masa lalu yang belum sepenuhnya dapat kulupakan. Aku bingung, sebegitu lemahkah hatiku untuk mencinta? Bahkan harus kuakui, sama Rara pun sebenarnya aku masih mencintainya. Sudah kucoba menepis bayangan tentang wajahnya, dan mensugestikan diri kalau aku hanya mencintai Dila. Namun jujur, ternyata hatiku berkata lain. Aku sangat bingung dengan hati yang mudah mencinta ini. "Kenapa melamun?" tanya Asta yang tengah bergelayut manja dipundakku. Semalam aku dan dia telah melakukan kesalahan. Tapi entah kenapa aku bahagia meski ada rasa ketakutan dan rasa bersalah dalam diri ini. "Aku tahu apa yang kita lakukan adalah hal yang salah," ujarku lirih. Asta masih bergelayut manja sembari sesekali menyentuh tengku
POV Dila …. Aku langsung menghubungi Radit untuk bersiap setelah mencium gelagat tidak beres dari Mas Lingga. Aku pun tidak tahu kenapa seakan bergantung pada Radit. Apa-apa Radit. Apa-apa Radit. Padahal aku tahu dia juga sangat sibuk mengurus kantor milik Kakak Iparku. Setelah aku tiba di rumah Mas Bima mengantar Gara untuk dititipkan pada Mama, nampak mereka tengah bersiap. "Dila kebetulan sekali mau ikut liburan kah? Kami mau pergi ke Bandung. Mau refreshing di sana. Katanya di kota Bandung wisatanya banyak dan sangat indah. Dari kota Bandung, kami juga ingin berlanjut ke kota Jogja. Bulan ini kami mau menghabiskan waktu liburan. Melepas sejenak urusan kantor," ujar Mas Bima yang tengah memeluk Rara. Melihat pasangan itu sungguh membuat setiap mata yang memandang merasa iri. Apalagi aku yang merasa bernasib sangat tidak beruntung ini. "Kamu ngapain kesini bawa Gara? terus kamu mau pergi kemana?" Mama bertanya dengan tatapan me
"Kamu ngapain disini? Sama Radit lagi. Bukannya kamu bilang mau pergi ke rumah Rara?" tanyanya sambil membukakan pintu mobil. Manis sekali. "Oh, tadi aku minta tolong diantar pulang ke rumah oleh Radit. Gara kan ikut Mas Bima dan keluarga besar liburan ke Bandung. Nah, di jalan, Radit dapat telpon dari Desi. Jadi mampir dulu. Casan hape rusak, butuh buat menghubungi kamu karena baterai ponselku habis, nakat deh ketuk pintu apartemen tetangga. Malah ada kamu di dalam," ujarku mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan. Mas Lingga sendiri sudah siap dengan kemudinya. Aku melirik ekspresi wajah Mas Lingga yang terlihat sangat cemburu. Nggak tahu masuk akal atau tidak alasanku. Masalahnya otaku saat ini sangat kalut. Rasanya ingin sekali menonjok wajah laki-laki yang ada di sampingku saat ini. "Beneran kaya gitu?" tanyanya. "Iya bener lah, Mas. Ngapain pun aku bohong. Jadi tadinya aku mau minta jemput kamu di apartemen Desi itu. Soalnya R
POV ASTA"Mm--mmaa--ss .. BBbbb---." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, pria itu membekap mulutku dan langsung menutup pintu. Bingung karena pria itu datang dengan tatapan garang."Asta, jangan pernah lari dariku, kemanapun kamu pergi aku akan mengejarmu. Ingat! Meskipun kita sudah cerai. Kamu tetap jadi milikku tak ada satupun yang akan bisa memilikimu. Aku akan menghalangi siapa saja yang akan mendekatimu," ucap lelaki itu yang ternyata adalah Mas Reno. Mantan suamiku."Mas, kita sudah tidak ada hubungan lagi, jangan ganggu hidupku. Cukup sudah aku menderita hidup denganmu. Kamu temperamental, egois dan pemalas. Kamu yang menghabiskan uangku untuk kamu bermain judi. Jika kalah kamu mengamuk dan berbuat kasar kepadaku. Aku tidak akan sudi hidup denganmu lagi Mas," ucapku sambil berusaha melepaskan diri dari cengkramannya."Asta, gara-gara kamu aku masuk penjara karena kamu telah melaporkanku ke polisi tentang perlakuanku padam
Setelah itu Reno kembali bangkit lalu lari dan naik motornya hingga hilang di tikungan.Setelah kuperhatikan ternyata yang menolongku adalah pak Bram, Ayahnya Mas Lingga.Pak Bram mendekatiku."Kamu tidak apa-apa Dek?" tanya Pak Bram. Aku tidak serta merta menjawab aku menatap wajah pak Bram, meski sudah berumur ternyata masih terlihat tampan dan gagah! Uban dirambutnya justru menambah kegagahannya. Busyet kenapa Aku jadi terpesona dengan papanya Mas Lingga? Ah! Ada yang salah ini denganku! Tapi ... Bukankah pak Bram lebih tajir dari Mas Lingga? Apa salahnya aku memanfaatkan kekayaannya. Toh dia juga masih ganteng dan masih kelihatan perkasa.Saking terkesimanya aku hingga tak sadar Pak Bram sudah dekat dengan tubuhku. Aku harus cari cara untuk mencuri perhatiannya, apa yah, oh ya, pura-pura pingsan! Akhirnya tanpa menjawab pertanyaan Pak Bram aku meluruhkan tubuhku di dada pak Bram, serta merta pak Bram langsung memegangi tu
POV RARA"Mas, aku nggak ikut jalan-jalan, hari ini, kepala tiba-tiba pusing, perut mual, badan lemas. Apa masuk angin, yah?" ucapku tidak semangat. Badan rasanya tidak karuan. Sepertinya aku merasa tidak bisa ikut menikmati liburan kali ini."Tapi badan kamu nggak panas, Yang," ucap Mas Bima sambil memegang kening dan tengkukku."Iya sih, Mas. Aku juga heran, nggak demam tapi pusing dan mual. Apa mabuk kendaraan yah?" Aku mengerutkan kening dengan bibir sedikit cemberut."Kalau mabuk kendaraan harusnya pas di atas mobil. Lah ini kita sudah beberapa hari di hotel," balas Mas Bima."Mas, aku pengen makan manggis dan rambutan, Mas, ada jual gak ya, Mas?" Entahlah, aku bayangkan menikmati dua buah segar itu sangat enak. Bahkan meski hanya dalam hayalanku saat ini. Aku seperti dapat merasakan rasa manis asemnya. Pasti seger banget. Tuh kan aku sampai hampir menelan ludahku sendiri."Kalau manggis mungkin