Share

Bab 2

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2022-09-25 14:26:11

Mana mungkin karma secepat itu? Hanya hitungan bulan Kak Murni mengalami goncangan keuangan. Rasanya mustahil sekali karena tidak pernah terlihat susah hidupnya.

"Kak Murni minjam uang padaku? Ini aku nggak salah dengar, kan?" Aku bertanya balik kepadanya karena bukankah ia banyak uang? Aku rasa telingaku salah dengar. 

"Raya, Kakak serius. Kakak butuh uang besok juga jam 10 pagi harus ada 2 juta." Kak Murni menegaskan sekali lagi jumlah uang yang ia butuhkan. Aku tidak berani bertanya kenapa bisa berhubungan dengan rentenir. 

"Aku nggak ada uang segitu banyak, Kak." Aku berkata benar, memang saat ini aku tidak memiliki uang simpanan sebanyak itu. Uang yang kupegang hanya untuk belanja sehari-hari. Kebutuhan lainnya, diurus oleh suamiku.

"Adanya berapa, Ray? Kakak butuh banget," ucapnya melas. Aku jadi tidak tega mendengarnya.

"Dua juta ada Kak, namun untuk aku masak nanti bagaimana? Kakak sudah pinjam dengan Mama?" tanyaku.

"Kakak nggak berani, khawatir Mama mikirin Kakak," ucapnya.

Kalau aku berikan uang belanjaku 2 juta, nanti Mas Fariz menanyakan uangnya dikemanakan. Lalu aku harus jawab apa nantinya?

"Kak, aku pinjemin sejuta aja ya, Kak. Bagaimana?" tanyaku. 

"Kamu dulu kalau susah Kakak bantu, Ray. Kenapa sekarang giliran Kakak susah nggak dibantu? Itukan ada uangnya, urusan makan mah ada rezeki lagi nanti." Kak Mur memaksa untuk menggunakan semua uang belanja yang aku pegang. Namun, aku masih berpikir panjang ke depannya. Kata-kata Kak Murni selalu menyayat hati. Ia ungkit semua kebaikan yang ia berikan. Jadi teringat masa-masa itu, tiap kali pinjam uang padanya harus ada caci maki terlebih dahulu, setelah ia puas memaki barulah memberikan pinjamannya.

"Kak, kalau aku kasih Kakak semua, nanti bagaimana dengan perutku?" tanyaku lagi.

Kak Murni mencari pinjaman untuk bayar rentenir, lalu dia makan sehari-hari bagaimana? Kenapa ia tidak mikir ke sana?

"Tolonglah, Ray. Aku akan kembalikan nanti. Seminggu kemudian, kalau sudah balikin ke rentenir, aku bisa pinjam kembali lebih dari itu." Sepertinya ia memang sedang terlilit hutang dengan rentenir. 

"Astaga, Kakak. Lalu Kak Murni makan bagaimana?" tanyaku lagi. 

"Kamu tuh sebenernya mau minjemin nggak sih? Buang-buang waktu Kakak tahu nggak!" Kak Murni terdengar kesal di telepon. Padahal ini sudah malam, namun ia masih saja bicara keras. Sepertinya tidak ada pilihan lain, aku akan pinjamkan padanya semua jatah masak yang Mas Fariz berikan. Aku tidak mau saudara kandungku tertimpa masalah besar dengan rentenir.

"Iya, besok aku pinjemin. Aku setor tunai dulu uangnya," sahutku agar cepat ia tutup teleponnya.

"Nah gitu kek dari tadi, kudu dimarahin dulu baru dikasih." Astaga ini kakak emang bikin darahku bergemuruh terus, jika bicara tak pernah disaring ucapannya.

"Ya sudah, ini sudah malam. Sebentar lagi Mas Fariz pulang, aku nggak mau Mas Fariz tahu. Kalau tahu juga nggak akan dikasih," ucapku padanya. Namun sambungan teleponnya sudah ia matikan. Aku menghela napas dalam-dalam, punya kakak kok langka begini sifat dan tingkahnya!

Tidak lama kemudian, aku lihat isi story W******p atas kontak Kak Murni.

[Semoga dimudahkan segala urusanku ya Allah.]

[Coba ah ... Dulu dia suka ngerepotin gue ... Sekarang pengen tahu bisa diajak gantian nggak!] Astaga, nggak mulutnya nggak jarinya selalu saja nyakitin hati.

[Untung dikasih, kalau nggak, liat aja nanti kalau dia susah. Gue bakal balas ....]

Aku mendesah kesal melihat story W******p Kak Murni, seharusnya tak usahlah buat story seperti itu. Aku juga paham karena dulu sering berada di posisi sulit.

Sebaiknya aku curhat sama mama saja. Biasanya mama satu-satunya orang yang bisa menenangkan kami berdua saat bertengkar dan salah paham.

"Hallo, Mah. Udah tidur, ya?" tanyaku melalui telepon.

"Baru mau tidur. Kenapa, Ray?" tanya mama.

"Status WhatsAppnya Kak Murni, Mama baca nggak?" tanyaku. 

"Iya, memang kenapa Murni? Dia nggak cerita ke Mama."

"Minjem uang ke Raya," sahutku. Namun aku tidak cerita untuk apa Kak Murni minjam uang padaku.

"Kalau kamu ada uang, kasih saja ya, Nak. Jangan ribut hanya gara-gara uang." Mama betul, mungkin saat ini aku sedang ada uang, dan ujian untukku adalah melalui Kak Murni. Ia tiba-tiba membutuhkan uang. Sepertinya ini memang rezekinya Kak Murni. Aku tidak boleh egois dan ungkit-ungkit ucapannya segala.

"Ada, Mah. Namun belum ngomong dengan Mas Fariz. Kira-kira aku ceritakan nggak, Mah?" tanyaku meminta pendapat mama.

"Cerita, Fariz yang cari uang harus tahu masalah utang." Mama memberikan saran padaku.

"Ya sudah, kalau gitu, Raya tutup teleponnya, Mah. Mama jangan banyak pikiran, ya!" pesanku saat ingin menutup telepon.

"Iya, kamu jangan ikut-ikutan nulis status, ya!" pesan mama juga. Akhirnya telepon pun terputus. 

Lega rasanya sudah cerita pada mama. Setelah ini, aku akan ceritakan pada Mas Fariz. Semoga ia mengizinkan aku meminjamkannya. Sebab kalau tidak, sudah terlanjur mengiyakan nanti Kak Murni bisa marah padaku. 

Kemudian orang yang aku tunggu sedari tadi datang. Mas Fariz baru pulang kerja. Ia sekarang jadi kaki tangan bos, jadi pulangnya agak malam. Biasanya jika pulang jam segini ia selalu berpesan padaku untuk tidak menyisakan lauk karena justru ia pulang kerja yang membawa lauk untukku.

Tak lupa aku siapkan baju ganti agar ia langsung mengenakan pakaian ganti untuk tidur.

"Kamu belum tidur?" tanya Mas Fariz.

"Belum, Mas. Kamu capek nggak? Aku mau bicarakan sesuatu," ucapku agak ragu. Khawatir Mas Fariz lelah dan jadi emosional jika mendengar ceritaku.

"Cerita saja, aku siap mendengarkannya," ucap Mas Fariz.

"Mas, Kak Murni mau minjam uang 2 juta." Mas Fariz menoleh ke arahku. Kemudian menghela napas panjang.

"Terus kamu kasih?" tanya Mas Fariz.

"Aku sudah bilang iya, namun uangnya belum aku setorkan," ucapku sambil menatapnya.

"Bilang saja mau dipakai olehku," ucapnya menyarankan untuk tidak memberikan pinjamannya. Otakku kini berputar keras, ternyata suamiku tak mengizinkan memberikan pinjaman ini pada Kak Murni. 

"Mas, dulu aku sering ditolong oleh Kak Murni," ucapku padanya.

"Iya, tapi nolongnya menghina dulu." Mas Fariz kesal mengingat masa-masa itu. Memang tidak sekali saja Kak Murni berkata kasar saat kami hendak meminjam uang. Tiga bulan lalu terakhir kalinya. Sebelum itu, sering melontarkan kata-kata kasar pada kami. Hingga kami sempat berpikir bahwa kami memang orang hina, hina sekali di mata orang yang banyak uang. Namun, kini roda itu sedang berputar dan posisi itu sedang berbalik 180°. 

Aku berpikir ulang, apakah harus mengikuti jejak Kak Murni saat berada di atas? Aku tidak ingin juga merasakan berada di posisi Kak Murni saat seperti ini. Apakah Sebaiknya aku bicarakan lagi dengan Mas Fariz pelan-pelan?

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 32 Extra Part

    Ekstra PartPOV MurniSyukur alhamdulilah, Tuhan berikan nikmat padaku dengan bertemunya orang-orang baik. Padahal, bisa dibilang tingkah laku yang dulu aku lakukan itu sangatlah tidak terpuji. Sering merendahkan orang lain, bahkan adik kandung sendiri.Begitu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Terutama mengenai semua yang telah aku perbuat di masa lalu. Itu semua kembali menimpaku. Kala itu, aku tak pernah berpikir bahwa semua perbuatan tak mungkin jadi boomerang untuk diriku sendiri. Namun, hukum alam memang begitu adanya. Siapa yang menabur, maka bersiaplah untuk menuai.Hari ini, aku dilarikan ke rumah sakit. Ini semua terjadi karena kelelahan. Beberapa hari ke belakang, aku memang sering begadang untuk menyelesaikan tulisan.Mertuaku yang kepanikan melarikan ke rumah sakit. Akibatnya seluruh warga jadi heboh karena kecemasan mertuaku. Wajar saja, karena saat aku pingsan, Mas Aldi tidak berada di rumah.Mama dan Raya pun panik, begitu juga dengan Tante Lira yang ikut datang

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 31 End

    Pikiranku tak karuan, apalagi dengan mama, ia tak henti-hentinya menangis sambil berdoa di dalam mobil. Tante Lira yang berada di samping mama hanya bisa menenangkan dengan caranya."Kak, jangan terlalu panik kenapa. Kan Kakak sendiri yang sering memberi nasihati untuk pasrah!" ujar Tante Lira, aku hanya berharap Kak Murni baik-baik saja. "Iya, gue udah mulai tenang. Sampai ke rumah sakit, berapa lama lagi, Bang?" tanya mama pada supir."Kita sudah di depan rumah sakit, Bu. Itu rumah sakitnya," ucap supir sambil melipir. Ia tak bisa masuk, karena ingin melanjutkan tarikan lagi.Kami memberikan ongkos pada supir, lalu turun dan beranjak ke UGD rumah sakit. Setelah sampai ke depan UGD, mertuanya sudah masuk menemani Kak Murni. Aku dan yang lainnya dicegah oleh petugas."Maaf, Bu. Mau bertemu dengan siapa?" tanya satpam di depan."Saya mau menemui pasien yang bernama Murni, barusan dibawa ke sini." "Maaf Bu, sudah ada dua orang di dalam, kalau bisa bergantian." Pak satpam menghalangi k

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 30

    "Mah, Kak Murni sombong banget, aku hubungi dia malah matikan telepon!" ucapku kesal. Kemudian mama dan Tante Lira berusaha menenangkan aku.Aku terus mengelus dada, agar tidak timbul rasa kesal pada Kak Murni. Ia sudah lama berubah. Masa iya kembali ke sifatnya yang dulu lagi?"Jangan buruk sangka dulu, nanti kita ke rumahnya, bagaimana?" tanya mama menawarkan berkunjung ke rumah Kak Murni. Aku yakin sebenarnya Mama pun khawatir, tapi ia berusaha menutupi itu.Ada baiknya juga, jangan-jangan Kak Murni tersiksa lagi hidupnya di sana. Ada mertua yang menggembleng kerjaan rumahnya. Astaga, kenapa aku jadi buruk sangka begini!"Aku izin Mas Fariz dulu, Mah. Jangan sampai Mas Fariz cemas dengan keadaanku.""Ya sudah kirim pesan pada Fariz dulu sana! Mama juga ingin melanjutkan masak dulu." Mama kembali ke dapur. Aku masih bersama dengan Tante Lira di sini.Tante Lira sudah dua bulan lebih tinggal bersama mama di sini. Sepertinya uangnya belum cukup untuk renovasi rumahnya yang dilahap si

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 29

    "Mah, kok malah diam. Jawab dong!" tanyaku memaksanya untuk menjawab.Kemudian Tante Lira menghampiriku. Ia mengajakku untuk bicara. Kenapa tiba-tiba tubuhku jadi bergetar seperti ini. Ada apa dengan mereka? Rahasia apa yang tidak aku ketahui?"Raya, memang kamu belum tahu?" tanya Tante Lira membuatku semakin bingung. Ini ada apa sih? Kenapa mereka aneh begini. Perasaan kemarin masih lihat status di Facebook Kak Murni normal-normal saja."Ada apa, Tante? Jangan bertele-tele deh!" ucapku dengan nada menekan. Rasanya sudah dongkol sekali, sedari tadi belum diberitahu kenapa Kak Murni tidak ada di rumah."Murni sudah dijemput oleh mertuanya, ia sekarang tinggal bersama mertua di rumahnya." Ucapan Tante Lira membuatku terkejut. Astaga, ini akan menjadi tekanan untuk Kak Murni, jika mertuanya membandingkan ia dengan adik iparnya bagaimana? Bukankah mereka selalu saja bersaing."Kenapa dikasih, Tante? Aku nggak rela jika Kak Murni kenapa-kenapa lagi," ujarku kesal."Mertuanya sudah melunasi

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 28

    Aku dan Mas Fariz terkejut, mata kami saling bertatapan. Ada rasa takut dan cemas di dalam hatiku.Kemudian kami beranjak dari tempat tidur. Melihat ke arah sumber suara tersebut. Aku berada di belakang Mas Fariz yang mengendap-endap. Begitu terkejutnya kami, saat melihat ada tiga orang anak muda sedang menyongkel pintu tetangga.Tanpa berpikir panjang, kami berdua berteriak sekeras-kerasnya. Agar warga sekitar bangun dari tidur lelapnya."Maling ... maling ...." Ketiga orang tersebut terperanjat saat mendengar teriakkan kami berdua. Kemudian kami ke luar. Namun, belum sempat warga mengeroyok, mereka kabur mengendarai motor yang mereka bawa. Satu motor tiga orang, itu artinya belum ada yang kebobolan saat itu."Pak Fariz, terima kasih banyak," ucap tetangga yang hampir kebobolan. Mereka terbangun karena mendengar teriakkan kami berdua dan suara motor yang tiba-tiba ngebut."Sama-sama, Pak." Mas Fariz pun menjadi saksi untuk melaporkan ke RT setempat."Ada apa, Pak? Bagaimana kejadian

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 27

    "Mah, memang dompetnya isi apa aja?" tanyaku penasaran, setahu aku tadi mama bawa dompet yang biasa ia bawa ke tukang sayur, bukan untuk bepergian ke pasar. Biasanya dompet itu memang hanya berisikan uang receh seadanya.Mama mengerenyitkan dahi. Ia masih panik dengan perampasan tadi."Tadi Mama hanya membawa uang receh, tapi tiba-tiba kepingin bawa uang lebih. Jadi, tadi ambil duit di dompet 500.000 rupiah," ucap mama. Ini pasti memang feeling kuat akan kehilangan uang."Ya Allah, duit segitu lumayan, Mah," ucap Kak Murni. Mungkin ia menyayangkan karena ia tidak punya uang sebanyak itu saat ini.Semoga saja malingnya segera tertangkap. Agar tak begitu membuat mama sesak. Aku dan yang lainnya menghabiskan makanan yang masih tersisa banyak. Namun, jantungku tak hentinya berdetak lebih cepat. Makan pun jadi tidak kuhabiskan.Padahal, tadi kami sedang bersenang-senang dan bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan ada saja masalah yang kami hadapi ini. Saat ini pesan mama jadi terngiang-ngia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status