Mana mungkin karma secepat itu? Hanya hitungan bulan Kak Murni mengalami goncangan keuangan. Rasanya mustahil sekali karena tidak pernah terlihat susah hidupnya.
"Kak Murni minjam uang padaku? Ini aku nggak salah dengar, kan?" Aku bertanya balik kepadanya karena bukankah ia banyak uang? Aku rasa telingaku salah dengar.
"Raya, Kakak serius. Kakak butuh uang besok juga jam 10 pagi harus ada 2 juta." Kak Murni menegaskan sekali lagi jumlah uang yang ia butuhkan. Aku tidak berani bertanya kenapa bisa berhubungan dengan rentenir.
"Aku nggak ada uang segitu banyak, Kak." Aku berkata benar, memang saat ini aku tidak memiliki uang simpanan sebanyak itu. Uang yang kupegang hanya untuk belanja sehari-hari. Kebutuhan lainnya, diurus oleh suamiku.
"Adanya berapa, Ray? Kakak butuh banget," ucapnya melas. Aku jadi tidak tega mendengarnya.
"Dua juta ada Kak, namun untuk aku masak nanti bagaimana? Kakak sudah pinjam dengan Mama?" tanyaku.
"Kakak nggak berani, khawatir Mama mikirin Kakak," ucapnya.
Kalau aku berikan uang belanjaku 2 juta, nanti Mas Fariz menanyakan uangnya dikemanakan. Lalu aku harus jawab apa nantinya?
"Kak, aku pinjemin sejuta aja ya, Kak. Bagaimana?" tanyaku.
"Kamu dulu kalau susah Kakak bantu, Ray. Kenapa sekarang giliran Kakak susah nggak dibantu? Itukan ada uangnya, urusan makan mah ada rezeki lagi nanti." Kak Mur memaksa untuk menggunakan semua uang belanja yang aku pegang. Namun, aku masih berpikir panjang ke depannya. Kata-kata Kak Murni selalu menyayat hati. Ia ungkit semua kebaikan yang ia berikan. Jadi teringat masa-masa itu, tiap kali pinjam uang padanya harus ada caci maki terlebih dahulu, setelah ia puas memaki barulah memberikan pinjamannya.
"Kak, kalau aku kasih Kakak semua, nanti bagaimana dengan perutku?" tanyaku lagi.
Kak Murni mencari pinjaman untuk bayar rentenir, lalu dia makan sehari-hari bagaimana? Kenapa ia tidak mikir ke sana?
"Tolonglah, Ray. Aku akan kembalikan nanti. Seminggu kemudian, kalau sudah balikin ke rentenir, aku bisa pinjam kembali lebih dari itu." Sepertinya ia memang sedang terlilit hutang dengan rentenir.
"Astaga, Kakak. Lalu Kak Murni makan bagaimana?" tanyaku lagi.
"Kamu tuh sebenernya mau minjemin nggak sih? Buang-buang waktu Kakak tahu nggak!" Kak Murni terdengar kesal di telepon. Padahal ini sudah malam, namun ia masih saja bicara keras. Sepertinya tidak ada pilihan lain, aku akan pinjamkan padanya semua jatah masak yang Mas Fariz berikan. Aku tidak mau saudara kandungku tertimpa masalah besar dengan rentenir.
"Iya, besok aku pinjemin. Aku setor tunai dulu uangnya," sahutku agar cepat ia tutup teleponnya.
"Nah gitu kek dari tadi, kudu dimarahin dulu baru dikasih." Astaga ini kakak emang bikin darahku bergemuruh terus, jika bicara tak pernah disaring ucapannya.
"Ya sudah, ini sudah malam. Sebentar lagi Mas Fariz pulang, aku nggak mau Mas Fariz tahu. Kalau tahu juga nggak akan dikasih," ucapku padanya. Namun sambungan teleponnya sudah ia matikan. Aku menghela napas dalam-dalam, punya kakak kok langka begini sifat dan tingkahnya!
Tidak lama kemudian, aku lihat isi story W******p atas kontak Kak Murni.
[Semoga dimudahkan segala urusanku ya Allah.]
[Coba ah ... Dulu dia suka ngerepotin gue ... Sekarang pengen tahu bisa diajak gantian nggak!] Astaga, nggak mulutnya nggak jarinya selalu saja nyakitin hati.
[Untung dikasih, kalau nggak, liat aja nanti kalau dia susah. Gue bakal balas ....]
Aku mendesah kesal melihat story W******p Kak Murni, seharusnya tak usahlah buat story seperti itu. Aku juga paham karena dulu sering berada di posisi sulit.
Sebaiknya aku curhat sama mama saja. Biasanya mama satu-satunya orang yang bisa menenangkan kami berdua saat bertengkar dan salah paham.
"Hallo, Mah. Udah tidur, ya?" tanyaku melalui telepon.
"Baru mau tidur. Kenapa, Ray?" tanya mama.
"Status WhatsAppnya Kak Murni, Mama baca nggak?" tanyaku.
"Iya, memang kenapa Murni? Dia nggak cerita ke Mama."
"Minjem uang ke Raya," sahutku. Namun aku tidak cerita untuk apa Kak Murni minjam uang padaku.
"Kalau kamu ada uang, kasih saja ya, Nak. Jangan ribut hanya gara-gara uang." Mama betul, mungkin saat ini aku sedang ada uang, dan ujian untukku adalah melalui Kak Murni. Ia tiba-tiba membutuhkan uang. Sepertinya ini memang rezekinya Kak Murni. Aku tidak boleh egois dan ungkit-ungkit ucapannya segala.
"Ada, Mah. Namun belum ngomong dengan Mas Fariz. Kira-kira aku ceritakan nggak, Mah?" tanyaku meminta pendapat mama.
"Cerita, Fariz yang cari uang harus tahu masalah utang." Mama memberikan saran padaku.
"Ya sudah, kalau gitu, Raya tutup teleponnya, Mah. Mama jangan banyak pikiran, ya!" pesanku saat ingin menutup telepon.
"Iya, kamu jangan ikut-ikutan nulis status, ya!" pesan mama juga. Akhirnya telepon pun terputus.
Lega rasanya sudah cerita pada mama. Setelah ini, aku akan ceritakan pada Mas Fariz. Semoga ia mengizinkan aku meminjamkannya. Sebab kalau tidak, sudah terlanjur mengiyakan nanti Kak Murni bisa marah padaku.
Kemudian orang yang aku tunggu sedari tadi datang. Mas Fariz baru pulang kerja. Ia sekarang jadi kaki tangan bos, jadi pulangnya agak malam. Biasanya jika pulang jam segini ia selalu berpesan padaku untuk tidak menyisakan lauk karena justru ia pulang kerja yang membawa lauk untukku.
Tak lupa aku siapkan baju ganti agar ia langsung mengenakan pakaian ganti untuk tidur.
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Fariz.
"Belum, Mas. Kamu capek nggak? Aku mau bicarakan sesuatu," ucapku agak ragu. Khawatir Mas Fariz lelah dan jadi emosional jika mendengar ceritaku.
"Cerita saja, aku siap mendengarkannya," ucap Mas Fariz.
"Mas, Kak Murni mau minjam uang 2 juta." Mas Fariz menoleh ke arahku. Kemudian menghela napas panjang.
"Terus kamu kasih?" tanya Mas Fariz.
"Aku sudah bilang iya, namun uangnya belum aku setorkan," ucapku sambil menatapnya.
"Bilang saja mau dipakai olehku," ucapnya menyarankan untuk tidak memberikan pinjamannya. Otakku kini berputar keras, ternyata suamiku tak mengizinkan memberikan pinjaman ini pada Kak Murni.
"Mas, dulu aku sering ditolong oleh Kak Murni," ucapku padanya.
"Iya, tapi nolongnya menghina dulu." Mas Fariz kesal mengingat masa-masa itu. Memang tidak sekali saja Kak Murni berkata kasar saat kami hendak meminjam uang. Tiga bulan lalu terakhir kalinya. Sebelum itu, sering melontarkan kata-kata kasar pada kami. Hingga kami sempat berpikir bahwa kami memang orang hina, hina sekali di mata orang yang banyak uang. Namun, kini roda itu sedang berputar dan posisi itu sedang berbalik 180°.
Aku berpikir ulang, apakah harus mengikuti jejak Kak Murni saat berada di atas? Aku tidak ingin juga merasakan berada di posisi Kak Murni saat seperti ini. Apakah Sebaiknya aku bicarakan lagi dengan Mas Fariz pelan-pelan?
Bersambung
Flashback setahun lalu.Saat itu aku nggak tahu bahwa sebenarnya aku ini sedang hamil. Namun, saat pendarahan hebat, aku dan Mas Fariz tidak memiliki uang sama sekali.Kebetulan Kak Murni sedang bermalam di rumah mama. Aku menghubungi mama terlebih dahulu untuk mencari pinjaman uang. Memang aku tak pernah punya simpanan uang, jadi saat-saat urgent seperti ini membuat repot semua orang."Mas, ini kok aku keluar darah banyak? Mulesnya juga nggak tahan sakitnya." "Gimana, ya Dek. Mas juga nggak ada uang untuk bawa ke rumah sakit," ucapnya."Kalau pinjam Bos dulu gimana, Mas?" tanyaku."Bos kan orang lain, Dek. Apa tak sebaiknya pinjam saudara dulu?" "Ya sudah aku hubungi Mama," ucapku."Hallo, Mah. Mah perutku sakit terus keluar darah, aku takut sekali. Mau ke rumah sakit tapi nggak ada uang." Mama menyimak ucapanku melalui sambungan telepon."Ya Allah, bawa ke rumah sakit sekarang, nanti Mama suruh Murni transfer. Yang penting kamu selamat dulu," ucapnya menenangkan. Akhirnya aku berg
"Bagaimana, Mas? Kok melamun?" tanyaku pada Mas Fariz yang sedari tadi aku liat terdiam."Ya sudah, kebetulan aku masih pegang uang di ATM. Itu kamu pegang saja untuk masak sebulan. Kak Murni pakai uang di ATM." Ucapan Mas Fariz membuatku merasa tidak enak. Ternyata suamiku memiliki hati yang lapang. "Terima kasih, Mas. Semoga Allah selalu lancarkan rezeki Mas Fariz," ucapku. "Aamiin."***Pagi ini, tepat hari minggu. Biasanya kami berdua berkunjung ke rumah mama. Mas Fariz pun sudah bersiap-siap untuk berangkat.Namun, ada yang terlupakan. Aku lupa minta rekening Kak Murni, karena memang Kak Murni baru kali ini pinjam uang. Setiap kali aku pinjam, selalu aku kembalikan dengan uang cash. Jadi nomer rekeningnya belum aku simpan.Aku coba kirim chat meminta nomer rekeningnya. Agar Mas Fariz segera mengirimkan uang yang Kak Murni butuhkan.[Kak, nomer rekeningnya. Mas Fariz ingin transfer.][Ini Bank BCA Murni Cahyani 1111111111. Kirain nggak jadi minjemin.]Aku berikan nomer rekeningn
Tante Lira belum juga menjawab pertanyaan ada apa ke rumah Kak Murni. Ia dan Om Dio masih belum membuka rahasia yang mereka sembunyikan. Namun, mama terus memaksa adiknya.Mungkin karena penasaran, awalnya juga tadi Mama tidak ingin mencari tahu apa yang mereka rahasiakan. Namun, gelagatnya Tante Lira membuat kami jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kalau elu nggak mau cerita, gue telepon Murni sekarang." Mama mengancamnya. Sehingga membuat Tante Lira menyergap ponsel yang mama pegang."Iya Kak. Lira cerita," sahutnya. Bahasa mama ke Tante memang memakai bahasa teman. Namun Tante Lira tetap menghargai seorang kakak ia tidak berani bicara seperti teman."Bukan apa-apa, Lira. Gue takut anak pada kelilit utang, kasihan nantinya kalau nggak diingetin dari sekarang," ucap mama menjelaskan rasa penasarannya. Bukan ingin ikut campur urusan orang, namun khawatir dengan Kak Murni dan keluarganya."Iya, Kak. Semalam Murni minjam uang 3 juta. Lira adanya cash, emang sekalian mau main
POV Murni"Kalau besok nggak ada duit 5 juta gue ambil mobil elu, Murni."Tia menagih uang setoran yang sudah jatuh tempo. Aku memiliki utang dengannya 30 juta dan harus dicicil sebulan 5 juta rupiah perbulan selama 10 bulan. Aku terpaksa ngutang dengan Tia karena usaha perkreditan barangku kini bangkrut. Ini disebabkan orang yang kredit kebanyakan kabur tanpa meninggalkan jejak. Uang 30 juta tersebut aku pakai untuk nutupin cicilan-cicilanku. Pendapatan dari kredit barang sekitar 7 juta perbulan lenyap tak tersisa. Dalam waktu 3 bulan ini yang bersangkutan lari. Akibatnya aku tidak bisa membayar cicilan rumah dan mobil yang masih tersisa 2 tahun ini. Gaji suami sudah habis terpotong dengan cicilan modal saat usaha masih berjalan."Sabar kenapa Tia, 5 juta gue bayar besok!" sahutku dengan nada kesal."Elu sewot sekarang, Mur, ditagih orang?" tanya Tia dengan nada sombongnya."Bukan sewot, kesel aja elu mah nggak inget temen nagihnya dah seperti rentenir." Aku kesal dengan Tia yang me
Sesuai janji yang Kak Murni lontarkan. Aku harus menagihnya. Ini juga karena ada kebutuhan mendesak yang akhirnya aku harus tagih uang yang telah Kak Murni pinjam.Mas Fariz pun sudah berencana uang yang akan diganti oleh Kak Murni untuk transfer ibunya Mas Fariz. Aku akan merasa bersalah jika Kak Murni tak menepati janjinya.Segera aku tanyakan melalui chat WhatsApp karena sejak tadi aku tunggu belum ada kabar darinya.[Kak, bagaimana uang yang 2 juta? Aku ada keperluan mendesak untuk mertua.] Pesan yang aku kirimkan lumayan lama tak dibaca olehnya."Gimana, Dek? Dibalas nggak?" tanya Mas Fariz. Aku menggelengkan kepala. Lalu Mas Fariz mengecap bibirnya seraya kesal."Kamu nyesel, Mas, minjemin uang ke Kak Murni?" tanyaku agak sedikit sensitif. Bagaimanapun Kak Murni adalah kakakku, ia juga sering membantu saat aku susah dulu.Mas Fariz terdiam, wajahnya tampak murung saat Kak Murni tak kunjung membalas chatku."Aku kira kamu tahu kenapa aku murung, bukan karena belum ada balasan dar
"Maaf Tante, kenapa kemarin Tante bohong, bilang Kak Murni pinjam untuk usaha dagang?"Seingat aku, kemarin Tante Lira bilang bahwa Kak Murni minjam uang untuk modal usaha."Tante khawatir Mama kamu kepikiran.""Mama sudah tahu, Tante. Dari aku, saat Kak Murni minjam aku tanya Mama dulu.""Iya Raya, Tante hanya khawatir Mama kamu mikirin.""Uang Tante sudah diganti Kak Murni?" "Belum, Ray. Katanya malam ini.""Oh, aku juga belum.""Kamu juga dipinjam oleh Murni?" Astaga, aku keceplosan. Nanti Tante Lira bilang pada Kak Murni, lalu ia marah padaku, bagaimana?"Tante jangan bilang pada Kak Murni, ya. Sebenarnya dia minjam 2 juta di waktu yang sama dengan Tante.""Hem, tuh kan. Dulu aja dia selalu curhat tentang kamu yang ngandelin dia. Sejak kamu menikah dengan Fariz jadi senang ngutang uang Murni. Eh, sekarang ia yang pinjam uang kamu. Roda berputar Raya, sekarang dia ngerasain susah.""Tante jangan ngomong ini pada Mas Fariz, ya. Aku tidak enak dengan Mas Fariz. Sebenarnya kasihan de
Aku raih ponsel yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa aku bercerita pada mama agar hubunganku dengan Kak Murni kembali rukun. Jika seperti ini, biasanya Kak Murni akan marah padaku dan tidak menegur jika bertemu. Ia keras kepala seperti batu. Selalu aku yang mengalah di setiap permasalahan hubungan saudara."Assalamualaikum, Mah.""Waalaikumsalam, Raya. Ada apa, Nak?" tanya mama."Nggak apa-apa, Mah," sahutku namun diiringi isakan tangis. Mama yang di seberang sana pun dengar."Nggak apa-apa gimana? Kamu nangis, terdengar di telinga Mama." Padahal Kak Murni hanya chat seperti itu. Namun terbawa sampai ke hati. Bukan kata-kata Kak Murni yang membuatku sakit hati tapi tingkah Tante Lira yang bicarakan aku di belakang, itu yang membuatku sakit hati. Kenapa sesama saudara saling bicarakan saudaranya?"Itu, Mah. Kak Murni.""Kenapa? Belum ganti uang kamu?" "Sudah, Mah. Namun, katanya terima kasih sudah bicarakan utangnya pada Tante Lira." Tangisku semakin mendera. Mama yang mendenga
Telepon masuk kembali. Namun, itu dari Tante Lira. Sebenarnya sudah malas ngeladeninnya tapi kalau tidak aku angkat dia nanti chat panjang lebar."Hallo, Tante.""Hallo, Raya. Kamu di mana?""Di rumah, ada apa?""Ini loh, barusan Tante ada yang hubungi. Si Murni punya pinjaman online, teleponnya nggak aktif jadi nelepon ke Tante.""Jangan diladeni, kan dulu aku pernah kejebak pinjaman online. Meskipun nggak banyak, Tante juga kena telepon, kan?" Aku mencoba mengingat kenangan suram masa lalu."Loh Tante nelepon kamu untuk ingatkan waktu itu kamu kena begini Murni bicarakan kamu ke mana saja. Itu karma buat dia, Raya." Aku jadi makin malas bahas apapun pada Tante Lira. Semua ia bicarakan dengan orang lain. Malah disampaikan lagi padaku, bikin sakit hati saja.Daripada ia bicara panjang lebar dan aku jadi kesal, lebih baik aku sudahi saja pembicaraan ini."Tante, udahan dulu ya. Aku mau masak," ucapku pamit."Yah, ya sudah. Kamu jangan bilang tahu dari Tante ya!" pesannya. Selalu ia tek