Share

Bab 3

Penulis: Siti_Rohmah21
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-25 14:26:58

Flashback setahun lalu.

Saat itu aku nggak tahu bahwa sebenarnya aku ini sedang hamil. Namun, saat pendarahan hebat, aku dan Mas Fariz tidak memiliki uang sama sekali.

Kebetulan Kak Murni sedang bermalam di rumah mama. Aku menghubungi mama terlebih dahulu untuk mencari pinjaman uang. Memang aku tak pernah punya simpanan uang, jadi saat-saat urgent seperti ini membuat repot semua orang.

"Mas, ini kok aku keluar darah banyak? Mulesnya juga nggak tahan sakitnya." 

"Gimana, ya Dek. Mas juga nggak ada uang untuk bawa ke rumah sakit," ucapnya.

"Kalau pinjam Bos dulu gimana, Mas?" tanyaku.

"Bos kan orang lain, Dek. Apa tak sebaiknya pinjam saudara dulu?" 

"Ya sudah aku hubungi Mama," ucapku.

"Hallo, Mah. Mah perutku sakit terus keluar darah, aku takut sekali. Mau ke rumah sakit tapi nggak ada uang." Mama menyimak ucapanku melalui sambungan telepon.

"Ya Allah, bawa ke rumah sakit sekarang, nanti Mama suruh Murni transfer. Yang penting kamu selamat dulu," ucapnya menenangkan. Akhirnya aku bergegas ke rumah sakit. 

Setelah sampai di rumah sakit, dokter pun menyarankan untuk kuret. Memang aku sedang hamil dan ternyata sudah mati janinnya. Ini harus dilakukan pembersihan janin. 

Ucapan dokter membuatku bingung, pinjam ke siapa lagi? Tadi pinjam dengan Kak Murni sudah di transfer 1 juta untuk periksa ke rumah sakit. Kalau aku harus kuret itu artinya keluar uang banyak. Uang satu juta pasti kurang.

"Mas, kita nggak mungkin pinjam lagi."

"Iya, Mas coba hubungi atasan, Mas."

Namun, belum beranjak pergi, mama menghubungiku kembali. Pasti ia khawatir dengan keadaanku saat ini.

"Bagaimana, Raya? Kenapa kata Dokter?" tanya mama.

"Harus dikuret, Mah," jawabku lemas.

"Ya Allah, kamu pasti bingung kuret nggak ada uang ya?" tanya mama. Namun tidak lama kemudian Kak Murni mengambil teleponnya.

"Raya, kan Kakak berkali-kali bilang pada kamu, jangan ngandelin orang lain termasuk Kakak. Kamu itu harus bisa nabung, jangan sedikit-sedikit pinjam uang!" ketusnya dalam telepon. Rasa bingung campur sedih saat ini, saudara sendiri mencaci maki saat aku sedang terpuruk seperti ini.

"Iya, Kak. Gaji Mas Fariz hanya cukup untuk makan saat ini, itupun kadang kurang, sering pinjam ke Kakak. Bagaimana mau nabung, Kak?" tanyaku agar Kak Murni tak bicarakan tentang nabung lagi.

"Gaji segitu cukup sebenarnya, bisa untuk nabung. Hanya saja kamu boros kalau ada duit, foya-foya terus kerjaannya." Astaga, Kak Murni sedang hilang ingatan atau apa? Aku lagi mendapatkan musibah keguguran, namun ia malah menceramahiku seperti hari-hari biasanya.

"Sudahlah, jangan diteruskan," ucap Mas Fariz bisik-bisik di telingaku.

Aku matikan kembali teleponnya, agar rasa sakit hati ini tak berkepanjangan.

"Mas cari uang dulu, sambil tanda tangan untuk segera tindakan."

"Mas, hati-hati, ya. Maafkan kata-kata Kak Murni, Mas." Lalu Mas Fariz berpamitan dan mencari uang untuk biaya kuret.

Setelah beberapa lama kemudian, mama menghubungiku kembali. Aku tidak ingin mengangkat telepon. Namun mama terus menerus menghubungiku.

"Iya, Mah."

"Bagaimana, sudah dapat uang untuk kuret?" tanya mama.

"Mas Fariz sedang ke luar cari pinjaman."

"Ini mama minjem ke Murni 3 juta, suruh Fariz ke sini ambil, adanya cash."

Kalau Mas Fariz ambil ke sana, ketemu Kak Murni, pasti ia mendapat ocehan dulu.

"Nanti Kak Murni ngoceh dulu, Mah."

"Nggak apa-apa, kamu jangan mudah sakit hati, begitulah resiko nggak punya uang, dihina terus. Makanya, Mama ingin bilang sekalian dengan kamu, jangan menyerah untuk jadi orang sukses. Sekarang kamu sedang berada di bawah, kamu sabar saja. Suatu saat kamu akan petik kesabaran kamu," ucap mama menasehati. 

"Kenapa Mama nggak nasehatin Kak Murni untuk tidak berkata kasar padaku?"

"Susah, Raya. Mama sudah menasehatinya, namun ia merasa masih banyak uang jadi tak butuh nasehat. Nanti kalau ia sudah ngalamin kesulitan keuangan seperti kamu, barulah ia sadar bahwa ucapannya itu telah banyak menyakiti hati orang." Mama benar, memang watak Kak Murni keras kepala, sikap sombong masih ia pelihara.

"Ya sudah, Mah. Nanti Raya coba hubungi Mas Fariz untuk segera ambil uang ke sana.

"Ya sudah, kamu sehat-sehat, ya. Jangan pikirin ucapannya Murni. Dia memang begitu sifat dan wataknya, suatu saat akan berubah. Mama yakin itu," ucap mama mengakhiri pembicaraan, membuat hatiku merasa tidak lagi dendam terhadap kakakku.

Aku coba hubungi Mas Fariz untuk segera ke rumah mama, agar tenang jika sudah pegang uang di tangan. Jadi total hutang kami pada Kak Murni 4 juta rupiah. 

"Mas, tadi Mama telepon, ada uang Kak Murni 3 juta. Kamu ke rumah Mama, ya." 

"Ya sudah, aku tidak jadi ke tempat kerja, tapi nanti aku ganti setelah semuanya selesai. Tadi sudah hubungi Bos, dikasih pinjam 7 juta untuk biaya rumah sakit, gantinya potong gaji tiap gajian Sabtu 150 ribu sampai lunas." 

"Ya sudah, Mas. Pakai uang Kak Murni dulu. Namun kamu musti ingat jangan sakit hati ya jika dia ngoceh di sana. Toh nanti uangnya kamu ganti setelah masuk kerja."

Akhirnya saat itu kami pakai uang Kak Murni terlebih dahulu, karena minjam di perusahaan itu harus datang ke sana dan menandatangani surat perjanjian pinjam meminjam. Tambah lagi kantor tempat suami kerja lumayan jauh, jadi cari yang terdekat dulu.

Tiba-tiba chat datang dari Kak Murni. Seperti biasa, ia memberikan pinjaman. Namun diiringi perkataan kasar dulu.

[Ini kesekian kalinya gue bilangin, nabung ... Jangan sampai nggak nabung, kalau seperti ini repot, kan?]

[Kak, uangnya aku pinjam sehari ini aja, besok Mas Fariz ke tempat kerja dapet pinjaman dari Bosnya. Maaf ngerepotin, meskipun sehari.]

[Bukan gitu, kamu nggak kasihan dengan Mama? Tiap kali minjam uang, Mama yang kepikiran.]

Kak Murni menjadikan mama sebagai alasan. Padahal mama sendiri menyuruhku untuk sabar menghadapi Kak Murni. Aku tak membalas pesannya lagi.

***

Mas Fariz teringat kejadian-kejadian yang telah lalu. Makanya ia agak keberatan. Namun, aku harus berhasil merayunya. Aku juga tidak menginginkan berada di posisi Kak Murni.

"Mas, saat ini kita diberikan nikmat harta. Namun aku pernah dengar ceramah, bahwa harta itu sebenarnya ujian. Kita bisa melewati ujian ini atau tidak. Kalau kita berlaku sama seperti Kak Murni, suatu saat ketika kita berada di bawah lagi, tidak ada pula yang nolong kita. Ingat, Mas. Roda kehidupan akan berputar terus menerus. Semua tergantung kitanya. Lagi pula Kak Murni tiap kali kita pinjam dikasih, kok. Meskipun harus dengar ocehannya." Aku menasehatinya, agak takut sebenarnya. Namun ini harus aku lakukan agar ia tidak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Kak Murni.

Mas Fariz terdiam, masih memikirkan jawabannya, memberikan pinjaman kepada Kak Murni atau tidak. Apa ia akan melakukan hal yang sama, memaki-maki dulu baru memberikannya?

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 32 Extra Part

    Ekstra PartPOV MurniSyukur alhamdulilah, Tuhan berikan nikmat padaku dengan bertemunya orang-orang baik. Padahal, bisa dibilang tingkah laku yang dulu aku lakukan itu sangatlah tidak terpuji. Sering merendahkan orang lain, bahkan adik kandung sendiri.Begitu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Terutama mengenai semua yang telah aku perbuat di masa lalu. Itu semua kembali menimpaku. Kala itu, aku tak pernah berpikir bahwa semua perbuatan tak mungkin jadi boomerang untuk diriku sendiri. Namun, hukum alam memang begitu adanya. Siapa yang menabur, maka bersiaplah untuk menuai.Hari ini, aku dilarikan ke rumah sakit. Ini semua terjadi karena kelelahan. Beberapa hari ke belakang, aku memang sering begadang untuk menyelesaikan tulisan.Mertuaku yang kepanikan melarikan ke rumah sakit. Akibatnya seluruh warga jadi heboh karena kecemasan mertuaku. Wajar saja, karena saat aku pingsan, Mas Aldi tidak berada di rumah.Mama dan Raya pun panik, begitu juga dengan Tante Lira yang ikut datang

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 31 End

    Pikiranku tak karuan, apalagi dengan mama, ia tak henti-hentinya menangis sambil berdoa di dalam mobil. Tante Lira yang berada di samping mama hanya bisa menenangkan dengan caranya."Kak, jangan terlalu panik kenapa. Kan Kakak sendiri yang sering memberi nasihati untuk pasrah!" ujar Tante Lira, aku hanya berharap Kak Murni baik-baik saja. "Iya, gue udah mulai tenang. Sampai ke rumah sakit, berapa lama lagi, Bang?" tanya mama pada supir."Kita sudah di depan rumah sakit, Bu. Itu rumah sakitnya," ucap supir sambil melipir. Ia tak bisa masuk, karena ingin melanjutkan tarikan lagi.Kami memberikan ongkos pada supir, lalu turun dan beranjak ke UGD rumah sakit. Setelah sampai ke depan UGD, mertuanya sudah masuk menemani Kak Murni. Aku dan yang lainnya dicegah oleh petugas."Maaf, Bu. Mau bertemu dengan siapa?" tanya satpam di depan."Saya mau menemui pasien yang bernama Murni, barusan dibawa ke sini." "Maaf Bu, sudah ada dua orang di dalam, kalau bisa bergantian." Pak satpam menghalangi k

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 30

    "Mah, Kak Murni sombong banget, aku hubungi dia malah matikan telepon!" ucapku kesal. Kemudian mama dan Tante Lira berusaha menenangkan aku.Aku terus mengelus dada, agar tidak timbul rasa kesal pada Kak Murni. Ia sudah lama berubah. Masa iya kembali ke sifatnya yang dulu lagi?"Jangan buruk sangka dulu, nanti kita ke rumahnya, bagaimana?" tanya mama menawarkan berkunjung ke rumah Kak Murni. Aku yakin sebenarnya Mama pun khawatir, tapi ia berusaha menutupi itu.Ada baiknya juga, jangan-jangan Kak Murni tersiksa lagi hidupnya di sana. Ada mertua yang menggembleng kerjaan rumahnya. Astaga, kenapa aku jadi buruk sangka begini!"Aku izin Mas Fariz dulu, Mah. Jangan sampai Mas Fariz cemas dengan keadaanku.""Ya sudah kirim pesan pada Fariz dulu sana! Mama juga ingin melanjutkan masak dulu." Mama kembali ke dapur. Aku masih bersama dengan Tante Lira di sini.Tante Lira sudah dua bulan lebih tinggal bersama mama di sini. Sepertinya uangnya belum cukup untuk renovasi rumahnya yang dilahap si

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 29

    "Mah, kok malah diam. Jawab dong!" tanyaku memaksanya untuk menjawab.Kemudian Tante Lira menghampiriku. Ia mengajakku untuk bicara. Kenapa tiba-tiba tubuhku jadi bergetar seperti ini. Ada apa dengan mereka? Rahasia apa yang tidak aku ketahui?"Raya, memang kamu belum tahu?" tanya Tante Lira membuatku semakin bingung. Ini ada apa sih? Kenapa mereka aneh begini. Perasaan kemarin masih lihat status di Facebook Kak Murni normal-normal saja."Ada apa, Tante? Jangan bertele-tele deh!" ucapku dengan nada menekan. Rasanya sudah dongkol sekali, sedari tadi belum diberitahu kenapa Kak Murni tidak ada di rumah."Murni sudah dijemput oleh mertuanya, ia sekarang tinggal bersama mertua di rumahnya." Ucapan Tante Lira membuatku terkejut. Astaga, ini akan menjadi tekanan untuk Kak Murni, jika mertuanya membandingkan ia dengan adik iparnya bagaimana? Bukankah mereka selalu saja bersaing."Kenapa dikasih, Tante? Aku nggak rela jika Kak Murni kenapa-kenapa lagi," ujarku kesal."Mertuanya sudah melunasi

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 28

    Aku dan Mas Fariz terkejut, mata kami saling bertatapan. Ada rasa takut dan cemas di dalam hatiku.Kemudian kami beranjak dari tempat tidur. Melihat ke arah sumber suara tersebut. Aku berada di belakang Mas Fariz yang mengendap-endap. Begitu terkejutnya kami, saat melihat ada tiga orang anak muda sedang menyongkel pintu tetangga.Tanpa berpikir panjang, kami berdua berteriak sekeras-kerasnya. Agar warga sekitar bangun dari tidur lelapnya."Maling ... maling ...." Ketiga orang tersebut terperanjat saat mendengar teriakkan kami berdua. Kemudian kami ke luar. Namun, belum sempat warga mengeroyok, mereka kabur mengendarai motor yang mereka bawa. Satu motor tiga orang, itu artinya belum ada yang kebobolan saat itu."Pak Fariz, terima kasih banyak," ucap tetangga yang hampir kebobolan. Mereka terbangun karena mendengar teriakkan kami berdua dan suara motor yang tiba-tiba ngebut."Sama-sama, Pak." Mas Fariz pun menjadi saksi untuk melaporkan ke RT setempat."Ada apa, Pak? Bagaimana kejadian

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 27

    "Mah, memang dompetnya isi apa aja?" tanyaku penasaran, setahu aku tadi mama bawa dompet yang biasa ia bawa ke tukang sayur, bukan untuk bepergian ke pasar. Biasanya dompet itu memang hanya berisikan uang receh seadanya.Mama mengerenyitkan dahi. Ia masih panik dengan perampasan tadi."Tadi Mama hanya membawa uang receh, tapi tiba-tiba kepingin bawa uang lebih. Jadi, tadi ambil duit di dompet 500.000 rupiah," ucap mama. Ini pasti memang feeling kuat akan kehilangan uang."Ya Allah, duit segitu lumayan, Mah," ucap Kak Murni. Mungkin ia menyayangkan karena ia tidak punya uang sebanyak itu saat ini.Semoga saja malingnya segera tertangkap. Agar tak begitu membuat mama sesak. Aku dan yang lainnya menghabiskan makanan yang masih tersisa banyak. Namun, jantungku tak hentinya berdetak lebih cepat. Makan pun jadi tidak kuhabiskan.Padahal, tadi kami sedang bersenang-senang dan bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan ada saja masalah yang kami hadapi ini. Saat ini pesan mama jadi terngiang-ngia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status