Share

4. Pertarungan

Denyut malam kian melemah seiring dengan berjalannya waktu. Pak Uday membawa Pak Anwar ke suatu tempat yang cukup jauh dari kedai kopi. Wajah Pak Uday menegang, penuh dengan kemarahan. Sedangkan Pak Anwar mencoba menenangkan diri.

Di bawah pokok beringin, mereka berdiri saling berhadap-hadapan.

“Apa yang ingin kawan

bicarakan? Sepertinya penting sekali.” Pak Anwar berusaha melihat binar mata Pak Uday di bawah suramnya cahaya rembulan. Walau tidak jelas, dia yakin Pak Uday pasti akan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan si Kasim.

“Langsung saja, Anwar! Apa yang telah wa’ang perbuat ke si Kasim? Pulang-pulang dia merasakan punggungnya sakit.” 

“Apa yang aku perbuat? Aku tidak berbuat apa-apa. Apa maksud wa’ang, Uday?” Pak Anwar menjawab dengan nada meremehkan. 

“Jangan berucap dusta wa’ang, Anwar! Si Kasim mengatakan kalau wa’ang membanting tubuhnya. Aku melihat dengan kepala sendiri lecet dan memar di badannya. Kenapa wa’ang tega menganiaya anak kecil? Apa salah anakku ke wa’ang?”

Pak Uday sudah mencengkeram kerah baju Pak Anwar. Tinggi badan mereka sama. Jarak mereka yang begitu dekat, memungkinkan ketegangan kian memuncak.

“Baik, jika wa’ang memaksa. Andai wa’ang tahu, anak wa’ang yang bernama si Kasim itu telah menyuruh anakku mencuri makanan. Aku hanya memberi pelajaran agar dia tidak mengulangi perbuatannya. Seharusnya wa’ang malu, Uday, membiarkan anak wa’ang kelaparan lalu meminta-minta ke anakku biar perutnya kenyang. Wa’ang yang tidak bisa mengurus anak.” Pak Anwar mendengkus kuat sambil menyentakkan tangan Pak Uday di lehernya. 

Wajah Pak Uday merah padam mendengar perkataan lelaki di depannya itu. Darah seakan-akan naik ke ubun-ubun kepalanya.

“Jangan berani wa’ang mengarang cerita, Anwar! Aku tidak pernah mengajari anakku mengemis kepada siapa pun. Justru otak wa’ang yang tidak berjalan. Hanya karena makanan, wa’ang hampir membunuh anak kecil.”

Anwar mendecih marah. Kepalanya sudah penuh dengan masalah. Dia tidak ingin berlama-lama melayani Pak Uday.

“Sekarang, apa yang wa’ang inginkan, Uday?” Mata Pak Anwar membelalak lebar. Dia tidak takut sama sekali ke lelaki yang mengalungkan sarung di lehernya itu. 

“Apa yang aku inginkan? Hmm—sudah berani wa’ang menantang aku, Anwar?”

Pak Anwar benar-benar tidak menduga sama sekali ketika tinju Pak Uday menghantam pipinya. Dia merasakan rasa perih dan kebas di bagian wajahnya dalam cara bersamaan.

“Jahanam! Berani wa’ang menurunkan tangan kasar, Uday! Jangan dikira aku takut.”

Dua orang dewasa itu saling baku hantam. Di bawah rindangnya pohon beringin tua mereka menunjukkan ego masing-masing. Pak Uday yang selama ini dikenal sebagai “urang bagak” alias preman, tentu saja murka ditantang berkelahi oleh Pak Anwar yang terkenal kaya, tetapi pelit.

“Selama ini tidak ada yang berani melawan wa’ang, Uday! Wa’ang tahu kenapa? Karena mereka masih menghormati istri wa’ang yang wa’ang jadikan kuda pelajang bukit! Dasar sampah tidak berguna! Kita seperguruan silat, ilmu wa’ang tidak lebih tinggi dari aku. Yang besar selama ini, hanya omongan wa’ang saja.”

Sambil terus melayangkan tinju, Pak Anwar melontarkan ejekan dan cacian yang membuat amarah Pak Uday kian tersulut. 

“Banyak bicara wa’ang, Anwar! Terima ini!”

Tendangan Pak Uday melayang di udara. Jika Pak Anwar tidak mengelak, sudah pasti serangan itu hinggap di dadanya. Kesempatan itu dia gunakan menyerang balik ketika Pak Uday hanya menghantam tempat kosong.

“Aku ajarkan wa’ang apa itu sadar diri, Uday! Mampus, wa’ang!”

Kali ini, Pak Uday yang dibuat terkejut. Tanpa dia duga, tinju Pak Anwar mendarat di tengkuknya, membuat pandangannya nanar seketika. Kakinya sempoyongan, sesaat kemudian dia jatuh ke tanah. Anwar tertawa terbahak-bahak melihat Pak Uday yang terduduk sambil memegang lehernya.

“Jika bukan aku yang mati, maka wa’ang yang mampus, Anwar! Cukup aku memberi wa’ang waktu main-main.”

Dari balik punggungnya, Pak Uday mengeluarkan sebuah keris yang masih tersimpan di dalam sarungnya. Paras Pak Anwar seketika berubah. Dia tidak menyangka kalau lawannya itu benar-benar berniat membunuhnya.

“Tahan, Uday! Apa yang wa’ang lakukan?”

Bagaimanapun, melihat keris beraura gelap dan dingin itu membuat tengkuk Pak Anwar meremang. 

“Wa’ang telah berani menyinggung harga diriku, Anwar! Tidak ada seorang pun yang pernah selamat jika aku sudah mengeluarkan keris ini. Berikan nyawa wa’ang, Setan!”

Pak Uday melompat ke arah Pak Anwar sambil menghunuskan keris berluk tiga tersebut. Tidak mau mati konyol, Pak Anwar melompat ke samping, berusaha mengelakkan senjata tajam tersebut. Walau dia sudah bergerak cepat, ujung keris tetap menyambar lengannya. Seketika lengannya terluka, meski tidak dalam, tetapi darah mulai mengalir membasahi bajunya.

“Uday! Wa’ang jangan memperturutkan amarah. Jika aku mati, wa’ang kira masalah akan selesai begitu saja? Ingat anak dan bini wa’ang, Uday! Jangan sampai wa’ang membusuk di penjara karena menghabisi nyawaku!”

Sebagai seorang preman, peringatan semacam itu tentu saja tidak berguna bagi seorang Pak Uday. Dia justru semakin yakin kalau lawan berada di bawah rasa takut. Semakin ketakutan Pak Anwar, semakin semangat Pak Uday menyerangnya dengan keris.

“Takut wa’ang, Anwar? Ha? Seharusnya wa’ang berpikir sebelum menantang duel denganku. Seharusnya wa’ang berpikir sebelum mencari masalah denganku. Oh, kaya wa’ang tu yang wa’ang banggakan? Ingat, Anwar! Yang kaya itu istri wa’ang, keluarga istri wa’ang! Jadi, jangan merasa jumawa di depanku.”

Darah Pak Anwar seketika menggelegak. Dia tidak terima dikatakan penakut apalagi Pak Uday menyinggung-nyingung keluarganya. Amarahnya pun tidak terbendung.

“Tadinya aku mengira, dengan bicara baik-baik wa’ang masih bisa hidup tenang, Uday. Namun, ucapan wa’ang barusan membuatku berubah pikiran. Mari kita selesaikan duel ini. Aku atau wa’ang nan mati malam ini!”

Pak Anwar membusungkan dada. Dia mengambil ancang-ancang. Baginya menghadapi Pak Uday tidaklah sulit karena mereka berasal dari perkumpulan silat yang sama. Semua jurus-jurus andalan Pak Uday dia tahu, begitu juga dengan kelemahannya.

“Tidak berpanjang mulut, Anwar! Wa’ang rasakan ini!”

Keris kembali melaju secepat kedipan mata. Kalau tadi Pak Anwar masih ragu melayani serangan Pak Uday, kali ini dia pun tidak segan-segan lagi. Sembari menghindari sabetan dan tusukan keris, dia mulai mengeluarkan silat andalannya.

Namun, tetap saja Pak Anwar mulai terdesak. Melawan orang bersenjata, tentu berbeda dengan yang tidak memakai senjata.

Satu jam lamanya mereka terus bertarung. Puncaknya, Pak Anwar tidak mampu menangkis serangan keris yang melaju ke arah dadanya. Sesaat lagi ujung keris menembus tubuh Pak Anwar, tiba-tiba seseorang berteriak nyaring sambil mendorong tubuh Pak Uday kuat.

“Setan alas! Siapa yang berani mengganggu? Benar-benar mencari mati!” Pak Uday marah besar. Dia sampai terpelanting saking kuatnya daya dorong di tubuhnya.

“Hentikan, Uday! Memalukan!”

Sebuah suara kembali menggelegar. Di depan Pak Uday dan Pak Anwar berdiri seorang kakek-kakek yang seluruh rambut, alis, dan janggutnya sudah memutih semua. Di bahunya tersampir kain sarung kotak-kotak berwarna kecoklatan.

“Datuak Rajo Balang!”

Pak Anwar dan Pak Uday sontak terkejut menatap orang tua yang berdiri marah di depan mereka. Keduanya segera menjura hormat. 

“Maafkan kami, Tuan Guru!”

Pelipis Datuak Rajo Balang menegang. “Dasar murid-murid bodoh! Jadi, untuk ini ilmu silat yang aku ajarkan kalian gunakan? Menyerang sesama murid seperguruan? Di mana otak kalian!”

Tangan kurus Datuak Rajo Balang berkelebat, menampar pipi kedua lelaki dewasa tersebut.

“Jauh-jauh aku pergi merantau, pulang dari rantau, ini hadiah yang aku dapatkan! Andai ada orang yang melihat kebodohan kalian tadi, ke mana hendak aku sembunyikan maluku? Dasar anak-anak setan!”

Keduanya menunduk tanpa sanggup bicara lagi. Pipi mereka terasa panas. Sang tuan guru tidak tanggung-tanggung memberi tamparan.

“Mulai hari, keris yang ada di tangan wa’ang, Uday, aku sita! Menyesal aku memberikan benda keramat ini. Hampir saja wa’ang membunuh saudara seperguruan wa’ang sendiri. Kalian benar-benar membuat aku menyesal telah mengajari kalian ilmu silat! Sangat menyesal!”

Habis berbicara seperti itu, Datuak Rajo Balang seketika merampas keris yang masih ada di tangan Pak Uday. Dia juga mengambil sebuah kopiah yang tadi terlepas dari kepalanya ketika mendorong Pak Uday. Kopiah hitam dan bermotif itu, dia kenakan di kepalanya, menutupi rambutnya yang beruban.  Tanpa bicara lagi lelaki tua itu pun pergi meninggalkan murid-muridnya yang terdiam dalam keheningan malam.

Pak Uday menatap Pak Anwar masih dengan tatapan membara. Akankah mereka kembali baku hantam?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
sempatkan up
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
sempatkan baca sambil meninggalkan komentar ya guys
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status