Share

4. Pertarungan

last update Last Updated: 2023-09-07 15:40:29

Denyut malam kian melemah seiring dengan berjalannya waktu. Pak Uday membawa Pak Anwar ke suatu tempat yang cukup jauh dari kedai kopi. Wajah Pak Uday menegang, penuh dengan kemarahan. Sedangkan Pak Anwar mencoba menenangkan diri.

Di bawah pokok beringin, mereka berdiri saling berhadap-hadapan.

“Apa yang ingin kawan

bicarakan? Sepertinya penting sekali.” Pak Anwar berusaha melihat binar mata Pak Uday di bawah suramnya cahaya rembulan. Walau tidak jelas, dia yakin Pak Uday pasti akan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan si Kasim.

“Langsung saja, Anwar! Apa yang telah wa’ang perbuat ke si Kasim? Pulang-pulang dia merasakan punggungnya sakit.” 

“Apa yang aku perbuat? Aku tidak berbuat apa-apa. Apa maksud wa’ang, Uday?” Pak Anwar menjawab dengan nada meremehkan. 

“Jangan berucap dusta wa’ang, Anwar! Si Kasim mengatakan kalau wa’ang membanting tubuhnya. Aku melihat dengan kepala sendiri lecet dan memar di badannya. Kenapa wa’ang tega menganiaya anak kecil? Apa salah anakku ke wa’ang?”

Pak Uday sudah mencengkeram kerah baju Pak Anwar. Tinggi badan mereka sama. Jarak mereka yang begitu dekat, memungkinkan ketegangan kian memuncak.

“Baik, jika wa’ang memaksa. Andai wa’ang tahu, anak wa’ang yang bernama si Kasim itu telah menyuruh anakku mencuri makanan. Aku hanya memberi pelajaran agar dia tidak mengulangi perbuatannya. Seharusnya wa’ang malu, Uday, membiarkan anak wa’ang kelaparan lalu meminta-minta ke anakku biar perutnya kenyang. Wa’ang yang tidak bisa mengurus anak.” Pak Anwar mendengkus kuat sambil menyentakkan tangan Pak Uday di lehernya. 

Wajah Pak Uday merah padam mendengar perkataan lelaki di depannya itu. Darah seakan-akan naik ke ubun-ubun kepalanya.

“Jangan berani wa’ang mengarang cerita, Anwar! Aku tidak pernah mengajari anakku mengemis kepada siapa pun. Justru otak wa’ang yang tidak berjalan. Hanya karena makanan, wa’ang hampir membunuh anak kecil.”

Anwar mendecih marah. Kepalanya sudah penuh dengan masalah. Dia tidak ingin berlama-lama melayani Pak Uday.

“Sekarang, apa yang wa’ang inginkan, Uday?” Mata Pak Anwar membelalak lebar. Dia tidak takut sama sekali ke lelaki yang mengalungkan sarung di lehernya itu. 

“Apa yang aku inginkan? Hmm—sudah berani wa’ang menantang aku, Anwar?”

Pak Anwar benar-benar tidak menduga sama sekali ketika tinju Pak Uday menghantam pipinya. Dia merasakan rasa perih dan kebas di bagian wajahnya dalam cara bersamaan.

“Jahanam! Berani wa’ang menurunkan tangan kasar, Uday! Jangan dikira aku takut.”

Dua orang dewasa itu saling baku hantam. Di bawah rindangnya pohon beringin tua mereka menunjukkan ego masing-masing. Pak Uday yang selama ini dikenal sebagai “urang bagak” alias preman, tentu saja murka ditantang berkelahi oleh Pak Anwar yang terkenal kaya, tetapi pelit.

“Selama ini tidak ada yang berani melawan wa’ang, Uday! Wa’ang tahu kenapa? Karena mereka masih menghormati istri wa’ang yang wa’ang jadikan kuda pelajang bukit! Dasar sampah tidak berguna! Kita seperguruan silat, ilmu wa’ang tidak lebih tinggi dari aku. Yang besar selama ini, hanya omongan wa’ang saja.”

Sambil terus melayangkan tinju, Pak Anwar melontarkan ejekan dan cacian yang membuat amarah Pak Uday kian tersulut. 

“Banyak bicara wa’ang, Anwar! Terima ini!”

Tendangan Pak Uday melayang di udara. Jika Pak Anwar tidak mengelak, sudah pasti serangan itu hinggap di dadanya. Kesempatan itu dia gunakan menyerang balik ketika Pak Uday hanya menghantam tempat kosong.

“Aku ajarkan wa’ang apa itu sadar diri, Uday! Mampus, wa’ang!”

Kali ini, Pak Uday yang dibuat terkejut. Tanpa dia duga, tinju Pak Anwar mendarat di tengkuknya, membuat pandangannya nanar seketika. Kakinya sempoyongan, sesaat kemudian dia jatuh ke tanah. Anwar tertawa terbahak-bahak melihat Pak Uday yang terduduk sambil memegang lehernya.

“Jika bukan aku yang mati, maka wa’ang yang mampus, Anwar! Cukup aku memberi wa’ang waktu main-main.”

Dari balik punggungnya, Pak Uday mengeluarkan sebuah keris yang masih tersimpan di dalam sarungnya. Paras Pak Anwar seketika berubah. Dia tidak menyangka kalau lawannya itu benar-benar berniat membunuhnya.

“Tahan, Uday! Apa yang wa’ang lakukan?”

Bagaimanapun, melihat keris beraura gelap dan dingin itu membuat tengkuk Pak Anwar meremang. 

“Wa’ang telah berani menyinggung harga diriku, Anwar! Tidak ada seorang pun yang pernah selamat jika aku sudah mengeluarkan keris ini. Berikan nyawa wa’ang, Setan!”

Pak Uday melompat ke arah Pak Anwar sambil menghunuskan keris berluk tiga tersebut. Tidak mau mati konyol, Pak Anwar melompat ke samping, berusaha mengelakkan senjata tajam tersebut. Walau dia sudah bergerak cepat, ujung keris tetap menyambar lengannya. Seketika lengannya terluka, meski tidak dalam, tetapi darah mulai mengalir membasahi bajunya.

“Uday! Wa’ang jangan memperturutkan amarah. Jika aku mati, wa’ang kira masalah akan selesai begitu saja? Ingat anak dan bini wa’ang, Uday! Jangan sampai wa’ang membusuk di penjara karena menghabisi nyawaku!”

Sebagai seorang preman, peringatan semacam itu tentu saja tidak berguna bagi seorang Pak Uday. Dia justru semakin yakin kalau lawan berada di bawah rasa takut. Semakin ketakutan Pak Anwar, semakin semangat Pak Uday menyerangnya dengan keris.

“Takut wa’ang, Anwar? Ha? Seharusnya wa’ang berpikir sebelum menantang duel denganku. Seharusnya wa’ang berpikir sebelum mencari masalah denganku. Oh, kaya wa’ang tu yang wa’ang banggakan? Ingat, Anwar! Yang kaya itu istri wa’ang, keluarga istri wa’ang! Jadi, jangan merasa jumawa di depanku.”

Darah Pak Anwar seketika menggelegak. Dia tidak terima dikatakan penakut apalagi Pak Uday menyinggung-nyingung keluarganya. Amarahnya pun tidak terbendung.

“Tadinya aku mengira, dengan bicara baik-baik wa’ang masih bisa hidup tenang, Uday. Namun, ucapan wa’ang barusan membuatku berubah pikiran. Mari kita selesaikan duel ini. Aku atau wa’ang nan mati malam ini!”

Pak Anwar membusungkan dada. Dia mengambil ancang-ancang. Baginya menghadapi Pak Uday tidaklah sulit karena mereka berasal dari perkumpulan silat yang sama. Semua jurus-jurus andalan Pak Uday dia tahu, begitu juga dengan kelemahannya.

“Tidak berpanjang mulut, Anwar! Wa’ang rasakan ini!”

Keris kembali melaju secepat kedipan mata. Kalau tadi Pak Anwar masih ragu melayani serangan Pak Uday, kali ini dia pun tidak segan-segan lagi. Sembari menghindari sabetan dan tusukan keris, dia mulai mengeluarkan silat andalannya.

Namun, tetap saja Pak Anwar mulai terdesak. Melawan orang bersenjata, tentu berbeda dengan yang tidak memakai senjata.

Satu jam lamanya mereka terus bertarung. Puncaknya, Pak Anwar tidak mampu menangkis serangan keris yang melaju ke arah dadanya. Sesaat lagi ujung keris menembus tubuh Pak Anwar, tiba-tiba seseorang berteriak nyaring sambil mendorong tubuh Pak Uday kuat.

“Setan alas! Siapa yang berani mengganggu? Benar-benar mencari mati!” Pak Uday marah besar. Dia sampai terpelanting saking kuatnya daya dorong di tubuhnya.

“Hentikan, Uday! Memalukan!”

Sebuah suara kembali menggelegar. Di depan Pak Uday dan Pak Anwar berdiri seorang kakek-kakek yang seluruh rambut, alis, dan janggutnya sudah memutih semua. Di bahunya tersampir kain sarung kotak-kotak berwarna kecoklatan.

“Datuak Rajo Balang!”

Pak Anwar dan Pak Uday sontak terkejut menatap orang tua yang berdiri marah di depan mereka. Keduanya segera menjura hormat. 

“Maafkan kami, Tuan Guru!”

Pelipis Datuak Rajo Balang menegang. “Dasar murid-murid bodoh! Jadi, untuk ini ilmu silat yang aku ajarkan kalian gunakan? Menyerang sesama murid seperguruan? Di mana otak kalian!”

Tangan kurus Datuak Rajo Balang berkelebat, menampar pipi kedua lelaki dewasa tersebut.

“Jauh-jauh aku pergi merantau, pulang dari rantau, ini hadiah yang aku dapatkan! Andai ada orang yang melihat kebodohan kalian tadi, ke mana hendak aku sembunyikan maluku? Dasar anak-anak setan!”

Keduanya menunduk tanpa sanggup bicara lagi. Pipi mereka terasa panas. Sang tuan guru tidak tanggung-tanggung memberi tamparan.

“Mulai hari, keris yang ada di tangan wa’ang, Uday, aku sita! Menyesal aku memberikan benda keramat ini. Hampir saja wa’ang membunuh saudara seperguruan wa’ang sendiri. Kalian benar-benar membuat aku menyesal telah mengajari kalian ilmu silat! Sangat menyesal!”

Habis berbicara seperti itu, Datuak Rajo Balang seketika merampas keris yang masih ada di tangan Pak Uday. Dia juga mengambil sebuah kopiah yang tadi terlepas dari kepalanya ketika mendorong Pak Uday. Kopiah hitam dan bermotif itu, dia kenakan di kepalanya, menutupi rambutnya yang beruban.  Tanpa bicara lagi lelaki tua itu pun pergi meninggalkan murid-muridnya yang terdiam dalam keheningan malam.

Pak Uday menatap Pak Anwar masih dengan tatapan membara. Akankah mereka kembali baku hantam?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
sempatkan up
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
sempatkan baca sambil meninggalkan komentar ya guys
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   20. Malin Palito

    Pak Anwar tergagau dari tidurnya ketika mendengar bunyi gedoran di pintu masuk Rumah Gadang. Dia yang tadinya masih terlelap dibuai mimpi, sontak melompat dari tempat tidur.“ANWAR! Ada wa’ang di dalam? KELUARLAH!”Teriakan menggelegar disertai guguhan pintu membuatnya mengernyitkan kening. Hatinya mendadak tidak enak. ‘Mungkinkah jasad si Abdul sudah ditemukan?’Setelah menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang, dia segera keluar dari kamar, berjalan malas menuju sumber suara.“Kalau wa’ang tidak buka, jangan salahkan jika aku hancurkan pintu rumah wa’ang, Anwar!”Semakin dia dekat, suara teriakan di luar semakin nyaring di telinga. Hatinya jadi kesal dan mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa manusia kurang etika yang berteriak-teriak di depan pintu.Begitu pintu terbuka, tiga sosok lelaki berdiri dengan wajah penuh kemarahan. Salah satu dari mereka adalah Malin Palito. Lelaki bertubuh k

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   19. Rencana Jahat

    “Tidak bisa ambo percaya dengan apa yang Mak Datuak katakan. Bukankah mamak-mamak sekalian yang menjodohkan ambo dengan Uda Abdul? Sekarang, kenapa semuanya seolah-olah ambo yang bersikeras menjadi istrinya?”Buk Suna terisak pelan di depan Datuak Gadang Dirajo yang sekarang seperti kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan keponakannya itu.“Dengar, Suna!” Pakiah Basa yang ada di samping Datuak Gadang Dirajo merasa tidak enak melihat pemimpin tertinggi di kaumnya itu disudutkan. “Maksud Mak Datuak itu baik. Sekian tahun kawu menikah dengan si Abdul, lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Sudah berapa kali kawu atau si Fikri habis ditanganinya? Kalau bukan karena kebaikan kami sebagai keluarga kawu, sudah jauh-jauh hari dia tidak lagi berada di rumah ini. Lagi pula, ada atau tidak ada pun dia, tidak ada gunanya. Buktinya saja, anaknya sakit seperti ini saja dia tidak mau tahu. Penting baginya memenuhi perutnya itu dengan tuak.”Buk Suna tidak ber

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   18. Inyiak Tigo Tampat

    Suasana di luar kamar Fikri terasa mencekam. Ke lima orang yang ada di ruangan itu menunggu dengan perasaan tidak menentu. Belum pernah mereka mendengar auman harimau yang begitu mengerikan. Mengingat namanya saja sudah membuat bulu kuduk meremang.Inyiak Tigo Tampat!Inyiak yang dalam bahasa Minang merupakan sebutan untuk harimau jadi-jadian. Sosok harimau yang ada di alam gaib. Kebiasaan di kampung ini pantang menyebut harimau dengan kata harimau. Konon, jika ada yang berani menyebut harimau, maka binatang buas itu akan mendatangi kediaman orang yang menyebut namanya tadi pada tengah malam, dan bisa mencelakainya dengan mudah.Tigo Tampat merupakan tiga kuburan keramat yang dijaga sampai sekarang. Menurut cerita orang dahulu, jasad yang bersemayam di dalam makam tersebut adalah jasad orang-orang alim dan berilmu tinggi. Baik secara mental atau pun spiritual.Masyarakat di kampung itu percaya kalau ketiga penghuni makam itu ad

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   17. Racun Jarum Narako

    Mak Naro sudah sampai di halaman rumah Pak Abdul di saat hujan masih mendera bumi. Hebatnya, tidak setetes pun air hujan yang membuatnya kebasahan.Dari luar dia mendengar ratapan mengiba hati. Secepat kilat dia melesat memasuki pintu rumah yang tidak tertutup. Di dalam rumah ada tiga orang laki-laki separuh baya dan dua orang perempuan.“Mana si Fikri?”Kedatangan Mak Naro dan pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan orang di dalam rumah. Mereka sontak menoleh ke arah Mak Naro yang berdiri di depan pintu.“Mak Naro?” Buk Suna salah satu perempuan di ruangan itu segera berdiri. Dia mendekati lelaki tua itu dengan terisak-isak. “Di sini dia, Mak. Tolong Fikri, Mak. Tolong ….” Sambil terisak dia memasuki kamar di mana Fikri masih terbaring tidak berdaya. Bocah itu sudah tidak mengeluarkan suara bahkan tidak bergerak sama sekali.Mak Naro segera mendekatkan jemarinya di hidung anak laki-laki Pak Abdul

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   16. Kurambiak

    Pak Anwar menganggap ucapan Pak Abdul hanyalah lelucon belaka dan dia tidak punya waktu untuk meladeninya. Segera dia memutar badan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, begitu dia membelakangi Pak Abdul, hal tidak dia sangka-sangka pun terjadi.Lelaki berperawakan jangkung itu terpental ke depan, lalu jatuh terjerembab ke lantai ketika Pak Abdul menendang punggungnya telak. Rasa sakit seketika mendera. Tulangnya terasa patah, dadanya pun sesak untuk sesaat.“Bangsat wa’ang, Abdul! Beraninya wa’ang membokongku. Benar-benar pengecut tidak beradab.” Pak Anwar segera bangkit dan menerjang Pak Abdul yang berdiri berkacak pinggang. Tinju Pak Anwar mengarah ke kepalanya. Ayahnya si Fikri ini pun segera mengelak, lalu membalas dengan menyikut tulang rusuk Pak Anwar.Teriakan kesakitan kembali melompat dari mulut Pak Anwar. Ini jauh lebih sakit dari pada tendangan di punggungnya tadi. Dia megap-megap dan sempoyongan

  • KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN   15. Gedoran Tengah Malam

    Hujan yang mengiringi langkah Pak Abdul masih mendera dengan lebatnya. Lelaki bertubuh kecil itu melangkah dengan setengah berlari dan terseok-seok diterpa badai. Badannya yang masih terasa sakit, tidak dia pedulikan. Dia menggertakkan rahang mencoba menghalau rasa dingin yang menyergap.“Aku harus tuntaskan malam ini. Tidak tenang hidupku jika aku tidak berhasil membuat si Anwar meminta maaf dan sujud di kakiku. Apa pun yang terjadi pada malam ini, semoga alam berpihak kepadaku.”Kaki kurusnya terus menderap menyibak jalanan berlubang yang tergenang air. Sesekali dia terperosok dan membuatnya terjatuh. Di sekitarnya sawah menghampar dengan luas. Tidak jelas kelihatan apakah padi sedang berbuah atau sudah siap untuk dipanen.Semakin cepat dia berlari, semakin cepat dia sampai di rumah Pak Anwar. Rumah besar itu berdiri menjulang menggapai langit. Atap yang terbuat dari ijuk sama pekatnya dengan malam yang tanpa bintang. Tidak terlihat pelita sedikit pun da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status