Share

3. Menantu Yang Tidak Diinginkan

Pak Anwar seolah terpaku ke bumi ketika melihat tangan kasarnya malah mencelakai anaknya sendiri. Khairul tergeletak di tanah tidak sadarkan diri. Kasim dan Fikri berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu.

“Ini semua gara-gara kalian!” Pak Anwar mendorong tubuh Fikri dan Kasim keras. “Jauhi anakku dan berkirab kalian dari sini! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku. Dasar anak-anak setan!”

Kasim dan Fikri masih sesenggukan. Mereka sangat ingin menolong Khairul, tetapi tidak ingin membuat Pak Anwar kian marah. Mereka mundur teratur dan perlahan-lahan menjauh dari rumah Pak Anwar.

“Rul! Bangun ….”

Khairul masih belum sadar. Pak Anwar segera membopong tubuh anaknya itu dan segera membawanya ke dalam rumah.

Buk Rosma—ibu Khairul—tidak mengetahui apa yang telah terjadi karena dia sedang sibuk di kamar menghitung uangnya yang banyak.

Dia sontak merapikan uang kertas dan koin yang bertebaran di atas kasurnya ketika mendengar panggilan suaminya—Pak Anwar.

“Lama sekali kamu, Rosma! Ini si Khairul pingsan!”

Teriakan keras Pak Anwar membuat Buk Rosma terkejut. Dia segera berlari keluar tanpa peduli lagi dengan tumpukan uang yang masih bergeletakan di atas kasur.

Pak Anwar membaringkan Khairul di kamarnya. Wajah anaknya itu terlihat pucat.

“Kenapa, Khairul, Uda?” Buk Rosma segera memeriksa keadaan anak lelaki berusia 12 tahun itu.

“Jangan bertanya dulu. Kau ambillah minyak tanak dan bawang putih. Kurasa dia ”tasapo”* di kandang sapi. Aku temukan dia pingsan tadi.”

Buk Rosma kontan terpekik. “Pingsan di kandang sapi? Tasapo? Innalilahi, anakku ….” Buk Rosma segera menyiapkan apa yang disuruh suaminya dengan pikiran berkecamuk.

Di rumah itu selain mereka bertiga juga ada orang tua Buk Rosma yang sudah sepuh. Mereka pun segera mengerubungi Khairul yang tidak sadarkan diri.

“Biar aku periksa!”

Pak Tuo, begitu kakek Khairul ini biasa dipanggil. Dia segera memeriksa keadaan cucunya. Pak Anwar memberi ruang pada bapak mertuanya tersebut.

“Sepertinya dia tidak tasapo. Kenapa cucuku ini bisa pingsan? Aneh saja. Tolong wa’ang balikkan badan Khairul, War.”

Walau tidak mengerti tujuan sang bapak mertua, Pak Anwar membalikkan badan Khairul.

“Mana senter wa’ang tadi?” Pak Tuo mengulurkan tangan ke arah Pak Anwar. Pak Anwar mengambil senter yang tergeletak di lantai, kemudian menaruhnya di atas tangan Pak Tuo. 

Pak Tuo dengan cepat menyingsingkan ke atas baju yang dikenakan Khairul. Dia memeriksa punggung bocah itu dengan saksama.

Tidak ada kejanggalan yang dia temukan. Kembali dia rapikan pakaian cucunya itu. Cahaya senter sekarang dia arahkan ke bagian kepala.

Di saat itulah wajahnya berubah ketika melihat tengkuk Khairul memerah. “Ini masalahnya. Sepertinya ada yang sengaja memukul kuduknya, sehingga menyebabkan dia pingsan.”

Mata tuanya langsung menatap Pak Anwar dengan tatapan curiga. “Apa wa’ang menyakitinya lagi, Anwar?”

Pak Anwar kontan saja gelagapan. Mimik mukanya menunjukkan kepanikan seketika. “Tidak, Pak Tuo. Ambo bersumpah, tadi ambo menemukan Khairul sudah tergeletak di dekat kandang sapi.”

Pak Tuo masih menatap menantunya itu dengan tatapan tidak percaya. “Tidak sekali dua kali wa’ang menyakitinya. Kalau sampai kali ini wa’ang terbukti melakukan kekerasan, aku tidak akan segan-segan mengusirmu dari rumah ini, Anwar!”

Pak Anwar menggeram di dalam hati. Dia sangat kesal dengan mertuanya itu. Selalu saja mencampuri urusannya.

Sementara itu, Buk Rosma sudah datang membawa minyak tanak dan bawang. Dia langsung menyerahkan bahan tersebut ke Pak Anwar. Pak Anwar segera mencampur bahan-bahan tersebut.

“Maaf, Pak Tuo. Ambo balurkan dulu minyak ini ke badannya.”

“Tidak perlu!” Pak Tuo mengambil bahan yang ada dalam piring kecil itu. “Dia jelas dipukul di bagian leher. Obat ini tidak akan mengobatinya. Mending sekarang kau ambil minyak urut, Rosma. Anak kau ini dihajar orang. Manusia macam apa yang tega menjatuhkan tangan keras ke anak-anak kecil.”

Rosma semakin kaget mendengar ucapan ayahnya itu. “Dipukul? Siapa yang berani memukul anakku?” Rosma pun naik pitam. Dia hendak mengatai-ngatai, tetapi segera dibentak oleh Pak Tuo.

“Cepat kau ambil obat yang kusuruh, Rosma. Nanti kita cari tahu siapa yang berani menyakiti Khairul! Begitu anak ini siuman, dia pasti akan memberitahu pelakunya. Aku akan hajar manusia terkutuk itu sampai berpisah nyawa dari badannya.”

Pak Anwar merinding mendengar ucapan bapak mertuanya tersebut. Dia diam saja di belakang kedua orang itu. Sementara itu Mak Tuo hanya diam menyaksikan ketegangan yang terjadi di antara mereka. 

Rosma segera mengerjakan apa yang ayahnya katakan. Dia setengah berlari masuk ke dalam kamar dan mengambil minyak urut yang biasa dia gunakan ketika memijat Pak Anwar. Setelah mendapatkan minyak tersebut, dia kembali ke kamar Khairul.

“Ini, Yah.” 

Pak Tuo dengan cekatan segera membuka tutup botol minyak tersebut, lalu mengoleskan minyak urut itu leher Khairul. Tidak lupa dia urut pelan agar peredaran darah di bagian leher cucunya itu bisa normal kembali.

Selain memijit bagian leher, Pak Tuo juga membaui minyak tersebut ke hidung bosah yang masih tidak sadarkan diri itu. “Apalah daya anak kecil 12 tahun ini melawan kekuatan orang dewasa!”

Pak Anwar kembali merasa disindir. Dia menatap tajam ke arah Pak Tuo yang juga menatapnya penuh kemarahan.

“Pak Tuo sepertinya masih menganggap ambo yang memukul si Khairul. Berapa kali harus ambo katakan kalau bukan ambo pelakunya. Kenapa berkeras hati memakan jantung?”

Wajah Pak Anwar mengelam. Dia benar-benar tidak suka disindir-sindir oleh bapak mertuanya tersebut.

“Kenapa wa’ang merasa? Kalau bukan wa’ang pelakunya, tidak perlu takut. Itu tandanya ada yang wa’ang sembunyikan.”

“Malas ambo berdebat dengan Pak Tuo. Kalau keberadaan ambo di sini hanya membuat suasana tidak enak, biarlah ambo keluar. Tolong pastikan anak ambo aman!”

“Pergilah wa’ang!”

Pak Tuo benar-benar tidak suka dengan menantunya itu. Dia mengibaskan tangannya mengusir Pak Anwar. Pak Anwar beranjak dengan sejuta kekesalan mendekam di dalam dadanya.

‘Sial! Awas saja kalau dia mati, aku yang akan berkuasa di rumah ini nanti. Pak Anwar membatin di dalam hati sambil mengepalkan tinju. Dia sadar, semenjak menjadi suami Rosma, Pak Tuo acap kali bermuka masam kepadanya.

Pak Anwar tahu, Pak Tuo terpaksa menerima pinangannya karena menimbang sebuah janji yang terikat antara ayah Pak Anwar dengan Pak Tuo.

Mereka berjanji akan menikahkan anak mereka kelak agar hubungan persahabatan mereka tidak terputus.

Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, Pak Anwar ternyata memiliki karakter buruk yang tidak disukai oleh Pak Tuo.

Pak Anwar hobi berjudi, suka menyabung ayam, mabuk-mabukan, dan yang paling membuat Pak Tuo marah, Pak Anwar tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan kepada Rosma.

Lelaki yang usianya kepala tiga itu memilih keluar dari rumah dan berjalan cepat menuju kedai kopi yang ada di Balai Raba’a.

Malam masih belum terlalu larut ketika Pak Anwar akhirnya memutuskan untuk ikut bermain kartu dengan pelanggan kedai kopi lainnya.

“Ha, datang juga wa’ang rupanya, Anwar!” Seseorang berteriak dari sudut kanan kedai. Anwar menoleh ke arah sumber suara. Parasnya berubah untuk sesaat.

“Uday?”

Pak Anwar langsung teringat dengan Kasim. Apakah Pak Uday tahu dengan apa yang Pak Anwar lakukan ke anaknya? Perasaan lelaki itu langsung tidak enak. Dia tidak ingin ada masalah malam ini.

“Kenapa bingung wa’ang, Anwar? Duduklah sini!”

Pak Uday kembali berteriak memanggil Pak Anwar yang hampir sebaya dengannya itu. Pak Anwar segera mendekat dan duduk di samping lelaki bertubuh tegap tersebut.

“Aku mendapat pengaduan dari anakku, Anwar! Apa yang wa’ang lakukan ke si Kasim?”

Di keramaian itu, Pak Uday berbisik dengan napas kasar di telinga Pak Anwar. Wajah Pak Anwar langsung pucat. Dia sadar betul siapa Pak Uday. 

“Aku tunggu di luar. Aku harus bikin perhitungan dengan wa’ang!”

Kali ini kilatan kemarahan berkelebat di mata Pak Uday. Hati Pak Anwar goyah seketika. Apa yang akan terjadi?

Catatan:

1. Tasapo : Diganggu makhluk halus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status