Share

6. Bukan Tak Sayang

Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.

Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.

Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.

Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.

Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Ini sudah seminggu lebih lamanya sang istri menjajakan dagangannya berupa gerabah dari satu desa ke desa lainya. Tidak kenal hujan dan panas. Semua itu dia perjuangkan agar kehidupan tetap berjalan dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.

“Seharusnya dia sudah pulang malam ini. Apa karena hujan deras?” Pak Uday mendorong pintu masuk rumah. Bau lembab papan lantai seketika menyapa hidungnya. Suasana gelap gulita. “Sial. Minyak tanah di lampu pasti habis ini. Kenapa si Kasim betah berkelam-kelam di dalam kamar?”

Di luar hujan sudah mulai mendera dengan hebatnya. Sesekali petir menyambar, membuat Pak Uday tersentak. “Petir sialan. Dalam keadaan seperti ini ada saja yang membuat terkejut.”

Sambil meraba dinding, Pak Uday terus berjalan ke belakang menuju dapur. Di ruangan tempat masak itu masih ada tergantung satu buah lampu teplok di dindingnya. Walau gelap, Pak Uday berhasil meraih lampu tersebut. Segera dia keluarkan korek api dari kantong celananya. Sesaat kemudian, ruangan yang gelap itu sudah terang seketika.

Pak Uday membuka songkok yang ada di meja makan. Nasi dan sambalnya masih utuh, belum tersentuh pertanda anaknya belum makan. 

“Mau mati si Kasim. Sudah tengah malam, dia tahan laparnya. Kalau nanti sakit, aku juga yang repot dibuatnya. Belum lagi kalau si Nurni tahu, bisa panjang muncungnya itu.”

Memikir sampai di sana, Pak Uday membawa lampu ke ruang tengah. Dia menatap pintu kamar Uday yang tertutup. Tanpa mengetuk, dia masuk ke dalam kamar anaknya tersebut.

Di atas kasur, Kasim terlihat pulas. Badannya bergelung di dalam kain sarung. Dia raba dengan lembut kepala si Kasim.

Ada haru yang menyelinap di dalam dada Pak Uday. “Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa sudah 12 tahun saja umur wa’ang, Kasim. Bukannya aku tidak ingin membuat wa’ang bahagia, tetapi jalan menuju kebahagiaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku minta maaf jika terlalu keras dalam membesarkan wa’ang.”

Pak Uday menghela napas dalam-dalam. Tadinya dia berniat hendak membangunkan si Kasim, tetapi urung dia lakukan melihat anaknya itu tidur begitu nyenyak. Dia kembali mengusap kepala si Kasim dan kemudian beranjak keluar dari kamar tersebut.

Sepeninggalnya Pak Uday, Kasim perlahan membuka mata. Dia memegang perutnya. Laparnya sudah tidak tertahankan. Rasa perih seakan menusuk lambungnya.

“Lapar sekali perut ini. Kalau aku tidak makan, bisa mati aku nanti.” Kasim mencoba untuk duduk. Dia berniat hendak keluar rumah, tetapi dia masih malas untuk bertemu dengan Pak Uday. Tamparan ayahnya itu masih terasa panas di pipinya.

“Kalau aku keluar dan merengek minta makan, ayah pasti akan besar hidung. Huh, malas bertemu dengan ayah. Tega sekali menampar pipiku. Dikira tidak sakit apa? Coba ada amak, mana berani ayah memukulku. Membentakku saja ayah sudah dimarahin amak habis-habisan.” Dia kembali merebahkan badan. “Sudah seminggu amak pergi, kenapa masih belum pulang? Apakah amak baik-baik saja. Ya Allah, lindungilah amak di mana saja berada.”

Buk Nurni berdagang perginya tidak sendirian. Namun, ada beberapa orang yang ikut serta. Mereka menjajakan gerabah berupa belanga atau periuk yang terbuat dari tanah liat. Barang ini merupakan kerajinan sekaligus mata pencaharian masyarakat Galogandang, tentunya selain bertani dan berladang.

Produk gerabah atau belanga ini dibuat sendiri oleh para perempuan di kampung ini. Tidak ada campur tangan lelaki. Mulai dari penyediaan tanah, mengolahnya, membakarnya, sampai menjualnya. Semuanya diurus oleh ibu-ibu dan anak anak-anak gadisnya. Kegiatan ini dinamakan dengan istilah “batampo”.

Mengenang kesusahan yang dialami ibunya, membuat Kasim bertekad di dalam hati tidak akan mau menjadi miskin. Apalagi ketika dia ingat bagaimana penghinaan yang dia terima dari Pak Anwar, membuat darah kebencian menggelegak di dalam dadanya.

“Jika nanti aku kaya, akan aku beli mulut mereka. Dendamku ke Pak Anwar tidak akan padam sebelum aku membuatnya menjilat kakiku. Saat ini dia boleh bersenang-senang dan bergembira karena punya banyak uang dan harta benda. Namun, aku pastikan dia akan mengiba, meratap, dan memohon belas kasih dariku!”

Dada Kasim terasa panas oleh amarah. Kepalanya seakan-akan berasap. Dia hela napas dalam-dalam agar pikirannya bisa tenang kembali. Wajah Khairul selintas membayang. Kebencian yang tadi menggebu-gebu, seketika berubah rasa menjadi kebingungan.

“Bagaiamana bisa aku menyakiti Pak Anwar, sedangkan anaknya adalah sahabatku. Demi menyelamatkan aku dan Fikri, Khairul rela dipukul oleh ayahnya. Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Pak Anwar begitu benci ke si Khairul? Bukankah Khairul itu anak kandungnya? Aku jadi tidak tenang. Apakah Khairul saat ini baik-baik saja?”

Ingatannya melompat ke peristiwa di dekat kandang sapi. Khairul, sahabatnya itu terkapar di tanah setelah tengkuknya dipukul secara tidak sengaja oleh Pak Anwar.

“Apakah dia sudah siuman, ya? Akh, andai Pak Anwar tidak mengusirku tadi, mungkin aku akan menjaga Khairul di rumahnya sampai dia sadarkan diri. Pak Anwar benar-benar tidak bisa dipercaya. Tega-teganya menganiaya kami yang kecil-kecil ini.”

Namun, sesaat kemudian Kasim seperti menyadari satu hal. Dia ingat ketika dari dalam kamar, melalui celah dinding dia melihat Pak Uday mengeluarkan sebilah keris berluk tiga. Awalnya Kasim tidak paham maksud ayahnya mengeluarkan senjata tajam tersebut. Namun, mengingat lelaki berbadan sempurna itu pergi dengan wajah marah, barulah Kasim paham sekarang.

“Jangan-jangan ayah sudah membunuh Pak Anwar? Ya Allah, ya Tuhan. Aku tidak ingin hal buruk terjadi. Jangan sampai ayah berurusan dengan polisi.”

Kasim merasakan kegelisahan seketika memenuhi ruang dadanya. Dia segera keluar dari kamar dan mendapati Pak Uday sedang duduk bersila di ruang tengah.

“Ayah ….”

Lidah Kasim terasa kelu. Hal-hal buruk telah mengisi kepalanya. Dia takut kalau Pak Anwar sudah tewas di tangan ayahnya. Pada masa ini, pembunuhan gampang saja terjadi kalau sudah menyangkut harga diri.

“Makanlah!”

Pak Uday tidak membuka mata. Dia langsung memerintah Kasim untuk segera makan.

“Ambo tidak lapar. Ambo ingin ….”

“Aku akan melayani semua pertanyaan wa’ang, kalau wa’ang sudah selesai makan, Kasim!”

Tidak ingin hal buruk kembali terjadi, Kasim segera pergi ke dapur. Dengan penerangan seadanya, dia mulai mengambi sepiring nasi dan sambal ikan asin yang siap digoreng.

Dia membawa makanannya ke dekat yang lebih terang. Sambil makan dia memperhatikan ayahnya yang seperti bersemedi. Barulah Kasim melihat kalau di tubuh ayahnya ada luka dan percikan darah. Hatinya benar-benar seperti diremas tangan tak kasat mata. Dadanya langsung sesak.

“Apa ayah membunuh Pak Anwar?”

Kasim tidak sanggup lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Mata Pak Uday membelalak seketika.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
wajib hukumnya untuk komentari cerita ini ya Guyys
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status