LOGINLangkah Hera terdengar pelan di lorong hotel. Sepatu hak pemberian tamu ke-2 ini terlalu sempit, itu sudah 5 tahun lalu, tapi ia belum mampu mengganti sepatu prada yang seperti itu . Bagi orang lain, gaun merahnya mungkin tampak mewah. Bagi Hera, itu cuma seragam. Topeng. Tangannya menggenggam erat tas kecil Hermes pemberian tamu ke-3. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, lipstik murahan, dan kartu mahasiswa yang hampir jatuh tempo. Mahasiswa. Ya, itulah Hera di siang hari. Mahasiswi Sastra tahun akhir. Tapi di malam hari… ia menjual dirinya. Ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Semua karena satu hal, uang. Adiknya butuh operasi, dan orangtuanya bahkan tak mampu bayar listrik. Hera belajar terlalu dini bahwa cerita di buku-buku tak pernah menyelamatkan orang miskin. Dan malam ini, ia harus menghadapi klien yang berbeda. Klien yang bahkan manajer tempat “kerjanya” tadi berulang-ulang, mengingatkannya, “Jangan macam-macam. Dia bukan orang biasa.” "hmm memangnya tamu seperti apa dia?" Hera menghitung jemarinya "oh, pria ini adalah tamu yang ke-9" Hera menghitung mereka untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidaklah semurahan itu. Managernya selalu bilang " Jangan banyak pilah pilih, untung cantik kalau tidak mah bisa gawat!" Pintu kamar 1705 terbuka otomatis. Sosok pria duduk di kursi dekat jendela, punggungnya menghadap Hera. Gelas anggur di tangannya berkilau diterpa cahaya lampu kristal. Pria itu bahkan tidak menoleh ketika Hera masuk. “Duduklah.” Suaranya berat, dalam, tapi tenang. Hera menelan ludah. Biasanya klien akan langsung tersenyum, meraba atau yang paling ekstrim langsung menerkamnya tanpa busana. Tapi pria ini? Ia hanya memandang keluar jendela, seolah keberadaan Hera bukanlah hal penting.
View MoreLangkah kaki Hera terdengar pelan di lorong hotel. Sepatu hak "mahal" ini sudah terlalu sempit, tapi ia belum punya sepatu pengganti. Bagi orang lain, gaun merahnya mungkin tampak mewah. Tapi bagi Hera, itu adalah seragam kerja
Tangannya menggenggam erat tas Hermes kecil. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, lipstik murahan, dan kartu mahasiswa yang hampir jatuh tempo.
Mahasiswa. Ya, itulah Hera di siang hari. Mahasiswi sastra inggris tahun akhir.
Tentu saja dahulu ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Semua karena satu dan lain hal, situasi tidak terelakkan. Hingga pada akhirnya ia bertemu tamu ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 dan pada malam ini, ini adalah tamu ke-9 miliknya.
“Jangan macam-macam. Dia bukan orang biasa.” Ucap manajer berulang-ulang padanya, seperti mengingatkan Hera, bahwa satu kesalahan saja, Hera bisa tiada dari dunia ini.
Pintu kamar 1705 terbuka otomatis.
Sosok pria duduk di kursi dekat jendela, punggungnya menghadap Hera. Gelas anggur di tangannya berkilau diterpa cahaya lampu kristal.
Pria itu bahkan tidak menoleh ketika Hera masuk.
Ini tentu sangat aneh baginya, biasanya tamu akan segera memeluknya, meraba bagian bagian tubuhnya, atau yang paling ekstrim langsung tanpa busana diatas ranjang. Bibir Hera terkatup, kedua alis nya tertaut, ia sedang mencerna keadaan.
"Duduklah" Suara itu begitu dingin dan serak
"Terimakasih" Sahut Hera, ia duduk di kursi bersebelahan dengan pria itu.
Hera memandangi pria disebelahnya, "hmmm lumayan, dia tidak gendut dan botak"
"Apa aku menggangu kamu melamun?" tanya Hera berusaha mencairkan suasana
"Tidak terlalu" Jawab pria itu pendek
Hera berusaha tidak terlalu agresif karena ia juga memiliki harga diri yang tersisa untuk tidak menjadi terlalu betina pada tamu manapun. Ia lebih suka menunggu bola, meski ia ingin semuanya langsung terjadi dan ia bisa pulang cepat ke rumah.
"Tapi instruksi manager memang agak berbeda malam ini, ia tidak bilang ini one night atau..."
Hera berusaha mengingat hal-hal kecil yang mungkin menjawab pertanyaannya ini. Bibirnya yang berisi membuat gerakan gerakan aneh. Sambil menatap jalanan lalu lalang diluar jendela, semuanya tampak dibawah kaki mereka, pikiran Hera melayang layang, terbang kesana kemari, matanya tidak lepas memandang kebawah, disana tampak lampu-lampu rumah yang sangat kecil, bagaikan kotak kotak hitam beraneka bentuk dan ukuran diterangi cahaya bulat kecil yang banyak.
"Ini pasti akan menjadi malam yang panjang!" pikir Hera
Setelah menit menit yang canggung, pria itu akhirnya menoleh. Tatapan matanya menusuk, dalam, seakan menelanjangi jiwa. Ia menatap wajah Hera, mata mereka bertemu, pria itu seperti membaca catatan yang rumit, dan menemukan jawabannya di kening Hera.
"Oh tidak, dia sangat tampan"
Hera merasa sangat gelisah, ia membuang pandangannya keluar jendela.
“Kau Hera?.” tanya pria itu
Hera tersentak. "Ya?" jawabnya pelan dan canggung
Pria itu tersenyum samar, “Mahasiswi sastra inggris. Proofreader sekaligus editor freelance di majalah cetak, Introvert, dan punya satu adik laki-laki".
Napas Hera tercekat.
"Itu… tidak mungkin informasi dari manager kan?" batinnya berkata-kata
Keringat dingin membasahi tengkuknya.
“Aapaa..... maksud... kenapa?” Hera mulai takut.
Pria itu bangkit, langkahnya tenang. Ia mendekat, berhenti tepat satu jengkal di depan wajah Hera. Tidak menyentuh. Namun aura dinginnya sudah cukup menekan dada Hera.
“Aku Ruben.” senyum Ruben merekah indah, sangat indah.
"Sial, kenapa senyumnya begitu mempesona?" Hera menunduk dengan cepat. pipinya terasa panas.
Ia mengerjapkan matanya, perasaannya campur aduk antara bingung, takut dan terpesona. Ya benar, ia sedang terpesona meskipun ia sangat tidak suka mencampur adukkan perasaan dengan pekerjaannya. Hera selalu menjaga profesionalitasnya.
"wanita penghibur tidak di izinkan untuk memiliki perasaan pada klien" ia mengulang ulang kalimat itu didalam hati.
Pria dingin ini, tapi dia sangat sesuai dengan tipe pria yang Hera impikan. Mungkin ini terdengar lucu, tapi sebenarnya Hera juga wanita normal.
Deg.
Jantung Hera berdetak kencang. Ia tidak tahu kenapa, tapi matanya tak bisa lepas dari pria itu. Bukan hanya karena ketampanan Ruben semata, tapi karena tatapan dinginnya… tatapan penuh misteri seolah sedang menyimpan sesuatu. Hera menggilai tatapan itu.
Hera tiba tiba merasa benci pada dirinya sendiri. Ia ingin melawan, namun di saat yang sama, ia merasa tidak berdaya.
“Kalau aku menolak?” suara Hera serak.
Ruben merogoh saku jasnya, meletakkan sebuah amplop di meja. Amplop putih tebal.
“Kalau kau menolak,” Ruben mendekatkan wajahnya ke telinga Hera, ia mulai berbisik, “kau tetap akan kembali padaku.”
Hera berusaha menenangkan diri. Ia duduk tegap dan menunggu instruksi selanjutnya.
Ruben meninggalkan Hera yang duduk di dekat jendela, Hera berbalik menghadap kliennya, yang kini sedang membuka Jas hitamnya, menggantung di lemari, menggulung lengan kemeja hitamnya dan membuka kancing depan sebanyak tiga kancing, itu cukup menunjukkan dada putih Ruben yang bidang.
Hera menelan ludah.
Semua godaan itu tidak berhenti sampai disitu. Ruben kembali membuka tali pinggang ber-merek yang Hera bisa pastikan harga tali pinggang itu bisa membeli sepeda motor baru.
Hera masih mematung disana, duduk manis tanpa bergerak. Tapi matanya menjelajah dan mengukur pria itu.
Kemeja hitam yang digulung sampai siku, dan jam tangan sederhana namun mahal, kontras dengan kulit Ruben yang putih dan tatapan dingin yang mematikan. Bagi Hera, semuanya terasa salah, Ia seharusnya tidak ada di sini. Jelas sekali pria itu tidak ingin menyentuhnya.
Hera memaksa dirinya untuk tenang, tapi tangannya gemetar ketika tatapan Ruben tetap menatap matanya, kupu-kupu terbang di perutnya, ia pernah merasakan ini, tiga tahun lalu. Rasa ini persis sama, seperti perasaannya pada Darma, lelaki yang ia cintai di bangku SMA, kekasih sekaligus rumahnya, tempat ia kembali dan bersandar dari kerasnya beban hidup. lelaki yang kini menghilang entah kemana, lenyap ditelan bumi.
Hera masih membeku. Ruben yang tadinya berdiri di samping ranjang, kini sudah merebahkan tubuhnya yang tinggi diatas kasur.
“A...aku juga tidur disana?" akhirnya suara Hera keluar,cepat dan canggung, sedikit melengking.
Ruben mengangkat bahu, seolah tidak peduli.
Hera menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Akhhh apa sihhh?” pekiknya dalam hati
Dia mendekat. Langkahnya pelan, tapi aura yang dibawa Ruben membuat udara di sekitarnya menegang. Dengan sangat pelan Hera melepas sepatu, satu persatu, lalu menaikkan pantatnya sedikit di atas kasur. Ia berusaha membuat Ruben tidak terganggu. Setelah menahan nafas selama beberapa menit, Ia akhirnya bisa membaringkan tubuhnya disamping pria itu sambil menatur nafas pelan,ia takut suara nafasnya mengganggu Ruben.
Ruben membalikkan tubuhnya menghadap Hera, kedua matanya merah menatap Hera lama, seakan membaca setiap celah pikiran yang ada dikepala Hera. Ini membuat suasana semakin tegang, dan kedua kaki Hera lurus seperti kejang. Ia berusaha bertahan dengan tidur telentang seperti manekin, ia sangat ketakutan bahkan untuk sekedar bergerak.
“tik tik tik tik tik tik”
Suara detik jam yang samar akhirnya memecah kesunyian. Hera memandang langit langit kamar hotel, ia memjamkan matanya, ia ingin segera tertidur agar pagi segera tiba.
"Zzzzzzzzzzz" suara dengkuran pelan terdengar dari sebelah Hera, ia masih terjaga sejak tadi meski matanya dipejamkan secara paksa. Ia melirik ke arah jam dinding, pukul 03.25 dini hari. Hera akhirnya bisa tenang karena mengetahui Ruben sudah tertidur sejak tadi.
"Haahhhhhh" ia menarik nafas panjang.
###
Hera tersentak bangun, otaknya membuat dirinya mengingat cepat kejadian malam tadi yang luar biasa menegangkan. Dibalik kesempurnaan tingkah dan perilakunya, Hera memiliki kelainan yang sering ia kutuk, yaitu kebiasaan bangun telat. Entah kenapa ia selalu merasa ngantuk dan capek di pagi hari.
"Dimana dia?" Hera menyapu pandangannya, berkeliling dengan gerakan kepala yang tersentak sentak.
Ruangan itu kosong, hanya dia seorang. Ruben sudah tidak ada disana.
Hera turun dari kasur, berusaha mendengarkan suara air dari dalam kamar mandi, tapi semuanya senyap. seolah tadi malam keteganan itu hanyalah mimpi
Hera melirik jam dinding, ini sudah pukul sembilan pagi "akhhhh" pekiknya
"Selelap apa aku tertidur tadi, ini memalukan". Hera memegangi kepalanya, menangisi kebodohannya.
"tingggggg................................tingggggggggggggg" suara bel pintu mengejutkan Hera.
Ia membuka pintu hotel sedikit, dan bertanya dengan suara nyaring "ada apa ya?"
"layanan kamar......"
Sebuah Goodie Bag disodorkan ke wajah Hera.
"Baiklah terimakasih" Hera menutup kembali pintu itu.
Hera membuang nafas lega. Membuka paket dan mendapatkan jaket hitam mahal disana. "Wah perhatian sekali diluar nurul" Gumam Hera
Tentu saja jeket itu berguna disaat seperti ini. Mengingat bajunya merah dan sangat tidak pantas dikenakan disiang hari.
Ia tiba-tiba teringat amplop yang diletakkan Ruben di atas meja, tangannya menyambar dan membuka amplop itu tergesa-gesa. Seperti dugaan Hera, uang itu sangat banyak dan ada secarik kertas lusuh bertuliskan nomor handphone.
Hera tidak tertarik dengan kertas itu, ia hanya tertarik dengan uangnya. Itu adalah Dollar, "Oh...my...."
Jantung Hera berdebar tidak beraturan. "Gila ini banyak banget, aku bahkan gak disentuh. apa ini mimpi?"
Hera menggelengkan kepala cepat dan berkali-kali. Tapi semua sangat nyata.
Kini ia merasa sangat senang dan bergegas mandi, setengah jam lagi ia punya mata kuliah "Semantic".
15 menit kemudian, Hera sudah tampil cantik didepan cermin, ia menutupi gaun merahnya dengan jacket hoodie yang entah bagaimana bisa sampai padanya tepat waktu, ia juga memastikan Uber yang dipesannya sejak tadi. Tidak lama telponnya berdering ia segera turun kebawah. Ia buru-buru keluar, meninggalkan kamar hotel dan secarik kertas bertuliskan nomor handphone entah punya siapa.
###
Hera sampai ke kampus tepat waktu, tentu saja dia sudah mengganti kostumnya dengan layak, ini semua berkat uang Dollar yang masih bersisa di dalam tas ransel barunya. Ia sangat bahagia hari ini, seperti anak perempuan yang mendapat mainan pertamanya.
Ruben menarik napas panjang, “Sebenarnya, bukan artefaknya yang menghubungkan, tapi teknologi di dalamnya” katanya akhirnya. “Kau tahu prinsip resonansi elektromagnetik?”Hera tampak bingung. "Apa itu?"“Itu semacam gelombang yang bisa saling mengenali, benda ini bekerja seperti resonant transmitter. Di dalamnya ada logam khusus, campuran nikel, perak, dan serpihan unsur yang sekarang hampir punah, disebut lutetium compound. Unsur ini punya sifat unik, ia bisa menyimpan frekuensi elektromagnetik dan mengulanginya secara terus-menerus, bahkan tanpa sumber daya eksternal. Dalam kata lain, benda ini bisa menjadi pemancar sinyal yang abadi.”“Beberapa dekade lalu, mafia Italia menemukan cara untuk memodifikasi resonansi alami bumi untuk komunikasi bawah tanah. Mereka menyebutnya Silent Frequency Project. Artefak yang ada padamu ini adalah salah satu ‘node’nya, alat penghubung. Tidak butuh satelit, tidak butuh jaringan. Frekuensinya berjalan lewat medan magnet bumi. Itulah kenapa mereka me
"Kau tidak sedang bercanda?" Hera mulai gusar, ia menatap mata Ruben dengan serius."Tidak" Sahut Ruben datar."Apakah kau sedang merekam kita berdua?" Hera menunjuk Layar Monitor"Satu-satu nya orang yang punya akses penuh dalam hidupku adalah kakekmu""Kau serius?" Hera menyilangkan kedua tangannya "Lalu bagaimana dengan LUMINA?"Ruben terdiam."Jawab aku" Mata Hera berair tidak terkontrol "Apakah LUMINA itu hanya rekayasa gila? ""Tidak, kau boleh bertanya hal lainnya selain itu""Kenapa?""Kakekmu yang memerintahkan LUMINA ada, untuk mengontrol mu" Ruben mulai tak sabar. Ia menjelaskan dengan nada tinggi."Untuk apa?"Ruben melempar kepalanya kebelakang, ia menghela nafas panjang. "Ia ingin kau patuh dan tidak lari seperti ibumu""Apa?? Kakek macam apa yang sudah menelantarkan anaknya selama bertahun-tahun?""Dia tidak seperti yang kau tuduhkan Hera, kami berusaha mencari kalian""Kau?" Hera memberikan tatapan menyelidik."Maksudku, kakekmu sudah mencari kalian bertahun-tahun yang
Hera masih berjongkok memegangi lututnya, Jeni yang melihat hal itu merasa iba padanya,“Alexa pasti akan ditemukan, cepat atau lambat” Ruben nyaris seperti sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.Jeni yang berdiri di antara Ruben dan Hera, mengenakan Jaket abu-abu yang keren, entah bagaimana matanya tampak letih tapi hangat. Mereka bertiga tenggelam dalam pikiran masing-masing, membuat keheningan malam itu semakin mencekam. Setelah beberapa menit demikian akhirnya Ruben menarik napas panjang, lalu menatap ke arah Jeni yang berdiri tak jauh dari situ.“Jeni, kau tetap di sini, panggil orang-orangmu untuk berjaga disekitar sini.”“Baik, ”Ruben berbalik menatap Hera. “Ayo ikut aku.”"Kemana?" Hera masih butuh waktu untuk mencerna semua informasi itu, tapi Ruben tampak sudah tidak sabar untuk mengatakan sesuatu padanya, Ruben menarik tangannya ke tempat ia memarkirkan mobil hitamnya. Tanpa menjawab pertanyaan Hera.Hera mengikutinya dari belakang, sambil menunduk. Ia menggigit bibir
Ponselku hampir meledak, sekitar pukul empat pagi. Bukan karena alarm, melainkan deretan notifikasi dari grup chat kelas yang biasanya penuh dengan stiker dan meme bodoh. Kali ini, berisi tautan blog dan ribuan komentar panas disana.Aku melihat fotonya, foto Hera. Tepatnya, foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi, buram, tetapi cukup jelas untuk dikenali. Dan di bawahnya, judul mengerikan itu.Tubuhku lemas, lututku menyentuh lantai dingin kamar kos. Ini bukan hanya gosip murahan. Ini adalah eksekusi karakter yang dilakukan secara terencana. Dan pelakunya… Leli Anindya. Aku membaca namanya di kolom ‘sumber informasi’ yang tertulis samar-samar. Dosen structure kami. Sungguh ironis.Pikiranku langsung tertuju pada Hera. Bagaimana ia bisa menghadapi ini? Aku buru-buru mematikan notifikasi, tahu betul bahwa membaca setiap caci maki itu sama saja dengan menimpakan beban batu ke punggung Hera.Saat aku tiba di kampus sedikit terlambat, hari hujan rintik-rintik, aku berniat mencari Hera
Damar berdiri di lorong sempit, tangannya gemetar menekan tombol telepon. Di ujung sana suara kasar ayah mertuanya, Don Valentino memerintahkannya “Bawa file itu ke gudang, jangan buat kesalahan”.Ia menutup telepon. Mata Damar menatap foto kecil yang ia jadikan wallpaper ponselnya, istrinya tertawa di hari ulang tahun anaknya. Gambar itu seperti cambuk yang menuntut kepatuhan dan belenggu yang menuntut pengorbanan. Ia menghela napas, lalu melangkah ke mobilnya.Di kepalanya, rencana kecil sudah tersusun, bukan untuk melawan Don, itu mustahil, tapi untuk menaburkan pola yang bisa ditangkap oleh pria seperti Ruben. Bukan petunjuk eksplisit. Hanya kesalahan kecil, hal-hal kecil yang bisa saja dilewatkan oleh awan, tapi tidak untuk orang yang sangat teliti seperti Ruben.Damar tidak ingin terjerat, setiap kesalahan kecil darinya yang tidak sesuai dengan rencana Valentino akan mudah terbaca, ia tidak akan mengambil resiko itu.Untungnya saat ia sedang mengikuti Hera seperti biasa, ia meli
Musim gugur tahun itu dingin di Wina.Leli baru lima bulan menjalani program riset pascasarjana ketika profesor senior, Lucian Vargos, memintanya datang ke ruang dosen selepas jam kuliah. Saat Leli bertanya ia hanya menjawab. “Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya.”Kepercayaan, pikir Leli, itu adalah kata yang aneh untuk seorang dosen asing yang baru mengenalnya beberapa minggu. Tapi ia mengesampingkan semua keraguannya.Dan tetap pergi kesana saat itu.Di ruang Lucian yang sepi, ada satu buah Personal Computer menyala di atas meja kerjanya. Lucian duduk di balik komputer itu, sementara layar menampilkan deretan grafik dan angka yang cukup rumit untuk urusan kampus.“Ini bukan data eksperimen biasa,” katanya tanpa menoleh. “Ini... simulasi ekonomi manusia.” Ucap Lucian VargosLeli mengernyit. “Ekonomi manusia?”Lucian menatapnya lama, lalu tersenyum mengejek.“Kau punya otak yang tajam, Leli. Jangan buat dirimu bodoh. Dunia ini dikendalikan oleh dua tipe manusia, siapa yang menceta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments