LOGINKeesokan paginya, Cailin duduk di dekat jendela, memandang hilir mudik aktivitas warga desa. Suara penduduk dan desiran angin gunung terdengar lembut.
Shangkara datang diam-diam, duduk di sebelahnya.
Cailin menoleh, ia menyentuh lengan Shangkara. “Lenganmu bergetar,” bisiknya. “Kau terluka lebih dari yang kau akui.”
Shangkara tersenyum tipis. “Hanya kelelahan. Aku sudah lama tidak membakar seluruh gunung.” Ia meraih tangan Cailin, menggenggamnya dengan erat. “Aku harus kembali ke istana. Sebentar.”
Cailin memandangnya dengan pengertian, “Aku tahu. Kewajibanmu sebagai kaisar—”
“Bukan sebagai kaisar,” potong Shan
Shangkara kembali ke ruang kerjanya. Ia menatap ke luar jendela, di mana langit Istana Vermilion tampak damai, sebuah kontras yang kejam dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. “Berani sekali dia mengancamku,” bisiknya pada diri sendiri. Tangannya menggenggam erat lengan kursi.Ia mengulurkan tangan, mencoba memanggil api Vermilion penuh, tetapi yang keluar hanyalah nyala api yang kecil dan berkedip.Ia mengerutkan kening. Mengingat amukannya di Pegunungan Utara malam sebelumnya, ia seharusnya merasakan letusan energi, tetapi kini, ia merasakan sumbatan. Ada tali tipis yang melilit Inti Qi-nya, terasa dingin dan memuakkan—gema dari ikatan paksa Daiyu. “Sialan!” umpatnya. Itu adalah bukti nyata, ancaman Daiyu kini memenjarakan kekuatannya.Dengan wajah tegang, ia segera bergegas menuju Kuil Guru Fen.Guru Fen menyambutnya dengan sorot mata yang serius. “Kau membuat dunia gempar, Yang Mulia.”“Biarkan,” jawab Shangkara tanpa basa-basi, ia mencengkeram dadanya. “Aku perlu penjel
Keesokan paginya, Cailin duduk di dekat jendela, memandang hilir mudik aktivitas warga desa. Suara penduduk dan desiran angin gunung terdengar lembut.Shangkara datang diam-diam, duduk di sebelahnya.Cailin menoleh, ia menyentuh lengan Shangkara. “Lenganmu bergetar,” bisiknya. “Kau terluka lebih dari yang kau akui.”Shangkara tersenyum tipis. “Hanya kelelahan. Aku sudah lama tidak membakar seluruh gunung.” Ia meraih tangan Cailin, menggenggamnya dengan erat. “Aku harus kembali ke istana. Sebentar.”Cailin memandangnya dengan pengertian, “Aku tahu. Kewajibanmu sebagai kaisar—”“Bukan sebagai kaisar,” potong Shan
Ruang belakang kedai mi di kaki Pegunungan Naga Hitam kini menjadi ruang perawatan darurat. Cahaya pagi menyelinap melalui jendela kayu, menerangi suasana kehancuran dan kelegaan yang pahit. Jenazah Moyan telah diselimuti jubah Klan Bulan dan diletakkan di sudut ruangan.Di tengah ruangan, Ren terbaring pucat di atas kasur darurat. Luka di perutnya masih menyebarkan racun spiritual hitam, yang terus menjalar.Guan berlutut di sisi Ren, tangannya gemetar. Dia menggunakan Es Bulan yang dingin untuk mengisolasi luka, mencegah racun mencapai jantung. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sangat putus asa.“Jangan menyerah, Tuan Ren,” gumam Guan, suaranya parau. Ia melihat bayangan Moyan di sudut. Ia tidak akan kehilangan orang lagi. “Kita akan singkirkan racun ini. Kita harus.”Setiap kali racun bereaksi, api Vermilion di tubuhnya menyala pelan, lalu meredup lagi.Lian hanya bisa duduk di dekatnya, air matanya menetes tanpa suara. Ia mengatupkan gigi, frustrasi karena ia tidak memil
Di ruang alkimia yang kini silau dengan aura vermilion sang kaisar, udara terasa panas dan sesak. Shangkara berdiri di ambang pintu yang hancur. Di depannya, Pemimpin Klan Naga Hitam berdiri di samping altar tempat Cailin terikat.“Mundur, Kaisar!” Pemimpin Klan Naga Hitam menyeringai, mengambil mangkuk kristal berisi ramuan darah Cailin. “Atau ramuan ini akan ku lemparkan ke wajahmu! Kau akan terikat pada sihir jiwa Naga Hitam selamanya!”“Jiwa Vermilion tak tunduk pada kegelapan,” ucapnya, suara rendah yang bergetar oleh kemarahan yang tertahan. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sang Kaisar yang perkasa itu benar-benar terpaku. Bukan karena takut pada ancaman, tapi karena takut satu kesalahan akan merenggut nyawa Cailin.Suara langkah mendekat. Batu berderak. Guan, da
Benteng Klan Naga Hitam telah berubah menjadi neraka. Batu-batu pecah. Dinding runtuh. Udara berbau darah dan abu. Shangkara berdiri di tengah kobaran api. Sayap Vermilion membentang di punggungnya, membuat langit menyala merah. Setiap langkahnya meninggalkan bara. Prajurit yang mencoba mendekat tak sempat menjerit, mereka terbakar jadi debu sebelum pedangnya terangkat.Gelombang api Vermilion raksasa menghantam formasi perlindungan benteng utama. Suara benturan energi itu memekakkan telinga, menciptakan gempa di seluruh gunung. Ribuan prajurit Klan Naga Hitam yang berada di luar benteng hancur lebur menjadi abu hanya karena panas api Vermilion sang kaisar.Shangkara terus berjalan melempar bola api vermilion tanpa henti. Napasnya berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena usaha ia menahan diri. Setiap detik ia menahan energi yang mendesak keluar dari dalam dadanya. Karena Cailin masih di dalam.Pemimpin Klan Naga Hitam menggeram dari ruang komandonya. “Sialan! Kekuatan itu! Dia tid
Malam pekat menyelimuti kaki gunung Naga Hitam. Shangkara berdiri sendirian, matanya terpejam. Fokus mengumpulkan energi vermilionnya.“Cailin … tunggu sebentar lagi. Bertahanlah,” gumannya.Ia membuka mata. Matanya yang vermilion menyala terang. Sayap vermilion muncul dari punggungnya. Dalam sekejap ia melesat menuju markas klan naga hitam. “Mari kita bermain api.”Kedua tangannya terangkat. Bola api vermilion raksasa terbentuk di atas tangannya, menerangi seluruh langit di atas markas.“Biar mereka tahu,” suaranya dalam dan berat, “apa artinya menantang Kaisar Vermilion.”Ia melempar bola api itu ke gerbang utama. Suara ledakannya memekakkan telinga. Namun, di bal







