Mag-log inDibuang oleh Ibu tirinya ke hutan, Cailin bertemu dengan pria yang terluka parah. Saat ia menolongnya, justru tubuhnya menyerap energi hingga nyaris merenggut jiwanya. Yang ia tidak tahu, pria itu adalah Kaisar Spiritual, Shangkara, yang kekuatannya termasyhur. Untuk menyelamatkannya, Shangkara melakukan hal terlarang dengan memberikannya darah-nya. Tindakan itu menyelamatkan nyawa Cailin, tetapi sekaligus mengikat mereka dalam ikatan jiwa-raga yang misterius. Kini, rasa sakit, kelemahan, dan bahkan perasaan mereka saling terpengaruh. Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah melalui Ritual Penyatuan Yin-Yang—sebuah ritual sakral yang tak pernah ada berani menggunakannya. “Ritual apa?” “Ritual Penyatuan. Tidurlah denganku. Sekali saja. Maka kau akan selamat… sekaligus menjadi milikku.” [MATURE 21+]
view more“Kau membawa sial!” bisik wanita itu, matanya penuh kebencian. “Pergi! dan jangan pernah kembali!”
Kabut masih menyelimuti hutan, cahaya matahari menerobos di antara celah pepohonan yang sudah hidup selama berabad-abad. Dinginnya menusuk tulang, namun tidak lebih dingin dari rasa hampa di dada Cailin. Ia tinggal sendiri sejak ibu tirinya membuangnya ke tempat terpencil ini, dengan alasan yang tidak bisa ia pahami.
Cailin menyampirkan kantong anyaman di bahunya, jari-jarinya yang kotor mencengkeram erat tali kantong. Isinya sedikit—beberapa umbi-umbian liar dan jamur yang dia temukan pagi tadi. Itu seharusnya cukup untuk bertahan hari ini. Napasnya membentuk kabut putih. Setiap langkah kakinya meninggalkan jejak di tanah yang basah.
Cailin menggosok-gosokkan kedua tangannya. “Kalau aku jadi es batu, mungkin wanita itu akan senang. Dasar perempuan gila.”
Tiba-tiba, langit di atasnya seakan berwarna kemerahan sesaat, diikuti gemuruh yang menggetarkan tanah. Bau besi terbakar dan sesuatu yang lain... sesuatu yang manis dan memabukkan, memenuhi indra penciumannya.
Hatinya berdebar kencang. Instingnya berteriak untuk lari, tetapi rasa ingin tahu atau mungkin hanya keputusasaan bodohnya, menariknya mendekati sumber bau itu. Dia menyusuri semak belukar, tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi.
Dan di sana, di tengah lingkaran tanah yang hangus dan pepohonan yang patah, terbaring seorang pria. Cailin menahan napas.
Pria itu tergeletak dalam kondisi yang mengerikan. Bajunya yang tadinya pasti sangat mewah, kini compang-camping dan berlumuran darah yang... aneh. Darahnya tidak berwarna seperti darah manusia biasa, melainkan berwarna merah keemasan, serta memancarkan hawa panas hingga Cailin bisa merasakannya dari jarak beberapa langkah.
Wajahnya pucat, tapi garis rahangnya menampilkan keteguhan bahkan dalam keadaan tidak sadar. Dia terlihat agung, seperti yang dia bayangkan tentang para dewa dalam cerita-cerita yang pernah ia dengar. Hanya saja, dewa tidak seharusnya sekarat di hutan.
“Lukanya aneh,” Cailin menggedikkan bahu, “tapi tampan. Apa dia dewa yang jatuh ke bumi?”
Tanpa pikir panjang lagi, naluri kemanusiaannya mengambil alih. Cailin berlutut di sampingnya, tangan gemetar menyentuh dahi pria itu. Panas! Cailin langsung menarik tangannya dan meniupnya cepat.
Itu sudah cukup bagi Cailin. Dia membalut luka dengan kain dari bajunya, berusaha menghentikan pendarahan. Saat jarinya tanpa sengaja menyentuh darah yang masih hangat, sebuah sensasi aneh merayap di kulitnya.
Seperti energi menyambar melalui jarinya, membanjiri tubuhnya. Cailin terhuyung ke belakang, dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum panas. Matanya berkunang-kunang. Dia mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya desahan napas yang tersendat.
Dia merasakan sesuatu yang asing mengalir dalam tubuhnya, membakar dari dalam. Penglihatannya mulai gelap, dan hal terakhir yang dia ingat sebelum kegelapan adalah sepasang mata yang tiba-tiba terbuka—mata yang berwarna merah vermilion, menatapnya penuh dengan kejutan.
Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.
***
Bau darah dan tanah basah memenuhi penciuman Shangkara saat kesadarannya perlahan kembali. Rasa sakit yang luar biasa di dadanya mulai mereda. Luka di tubuhnya masih terbuka, tapi darahnya sudah bekerja, menyembuhkan dengan perlahan namun pasti.
Lalu ia membuka mata. Pandangannya samar, tapi ia bisa menangkap sosok seorang yang terhuyung kemudian jatuh tak jauh dari tempatnya.
Seorang gadis. Wajahnya pucat bagai bulan, dan napasnya tersengal-sengal.
Orang biasa? Pikirnya bingung. Apa yang dia lakukan disini?
Kemudian, pandangannya jatuh pada jari gadis itu. Ada bekas noda merah keemasan. Darahnya.
Sial.
Shangkara mencoba bergerak, tapi tubuhnya masih cukup lemah. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. Ia tidak hanya celaka, tapi malah membawa gadis tidak bersalah dalam bencana.
Energinya yang membara terlalu kuat untuk tubuh yang tidak terlatih. Gadis ini akan mati.
“Demi langit…” gumamnya, suaranya serak.
Tiba-tiba bayangan bergerak dari balik pohon. Shangkara langsung siaga walau tubuhnya masih lemah.
“Yang mulia!”
Seorang pria gagah dengan bekas luka di alis segera mendekat. “Aku menemukan jejak energi yang mulia,” lapor Ren, orang kepercayaannya. “Apa yang terjadi? Siapa… ini?” Pandangannya beralih pada gadis yang sekarat tak jauh dari Shangkara.
“Jangan tanya,” potong Shangkara, “Dia menyentuh darahku. Energinya terserap.”
Ren—ajudannya—langsung memeriksa nadi Cailin, menghela napas dan menggeleng perlahan. “Dia tidak akan bertahan, yang mulia. Energi milik Anda membakarnya dari dalam.”
Shangkara menatap gadis malang itu. Seorang kaisar tidak boleh berhutang budi, dan tidak akan membiarkan orang tak bersalah mati karenanya.
“Ren,” ucapnya tegas penuh wibawa, mengesampingkan rasa sakitnya. “Bawa dia. Bawa dia ke Istana. Sekarang.”
Ren terlihat ragu, “Yang mulia? Itu terlalu berisiko—”
“Sekarang!” suara Shangkara bergetar, meski lemah. Cahaya vermilion menyala singkat di matanya. “Dia menyelamatkanku. Dia tanggung jawabku sekarang.”
Kalimat itu menggantung di udara, lebih berat dari kabut pagi. Ren mengangguk patuh. Ia tidak memahami, tetapi ia taat.
“Istana adalah satu-satunya tempat yang memiliki sumber daya untuk menyelamatkan nyawanya.” Shangkara berhenti, matanya tertuju pada gadis itu.
Ia menekan dadanya yang tiba-tiba berdebar tak karuan. Bukan karena luka, tapi karena ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi kalau ia membiarkan gadis ini kehilangan nyawanya.
“Dengarkan aku, Ren!”
Suara tegas Shangkara membuat gerakan Ren yang hendak mengangkat Cailin terhenti, “Baik, Tuan.”
“Jangan sampai dia tahu siapa aku sebenarnya.”
Ren melihat mata tuannya. Itu bukan hanya perintah. Itu adalah keputusasaan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. "Seperti yang Tuanku perintahkan."
“Langsung bawa ke kamar rahasia,” instruksi Shangkara, suaranya pelan tapi tegas. “Ciptakan kabut sebagai pelindung,” tambahnya.
Ren mengangguk. Dengan sigap, dia mengeluarkan energinya, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti mereka, menyembunyikan mereka dari pandangan siapa pun.
Mereka melesat masuk ke dalam kegelapan hutan. Di pundak Ren, Cailin tergantung lemas. Shangkara berjalan tertatih di samping ajudannya. Setiap langkah terasa lebih berat daripada luka di dadanya, seolah ia sedang menyeret sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada tubuh lemah seorang gadis.
Oke, izinkan aku sedikit curhat, karena mungkin di antara kalian ada yang mikir: “KENAPA CAILIN PUNYA API VERMILION DAN ES BULAN, GILA, GAK NGOTAK NIH AUTHOR!” Jawaban singkatnya: iya, gila. Tapi gila dengan alasan. 😌 Aku tuh dulu suka banget sama konsep dual core power, dan yang pertama kali ngenalin itu ke otak aku ya ... Tang San, Soul Land. Kalian tahu kan? Dua martial soul, dua sistem energi, dua takdir yang harus ditanggung satu tubuh. Aku suka karena dia bukan sekadar kuat — tapi dia punya beban “dua dunia” di dirinya, kayak nggak pernah bisa jadi satu orang penuh. Nah, dari situ aku mikir: gimana kalau ide kayak gitu dibawa ke dunia Vermilion? Tapi jangan salin konsepnya mentah. Aku pengen versiku tuh lebih emosional, bukan cuma teknikal. Jadi, jadilah Cailin, gadis yang dibuang ibu tirinya ke hutan yang aslinya adalah pewaris klan bulan, tapi tiba-tiba dapat energi Vermilion gara-gara satu kaisar sok pahlawan ngasih darahnya tanpa mikir dulu. Boom. Dua energi yang s
Cahaya pagi yang lembut menyelimuti kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin bangun, tidak ada raut kelelahan di wajah Shangkara setelah malam yang intens. Justru wajahnya berseri-seri dan inti Qi Vermilion nya berdenyut dengan stabil dan kuat.“Tidak lelah, Yang Mulia?” bisik Cailin, tangannya membelai Segel Vermilion di dada Shangkara.Shangkara tersenyum puas. “Tentu saja tidak, kalau kau mau lagi, aku siap,” godanya.Tawa lepas lolos dari bibir Cailin. “Aku harus kembali.”Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan. Ada jejak samar cahaya merah di kulitnya, seolah Vermilion tadi malam masih menolak pergi.Shangkara bangun dan duduk di sebelahnya. Tangannya merapikan ramb
Tetua He menatap ketiganya — Shangkara, Cailin, dan Guru Fen — dengan sorot mata dalam, seperti sedang membaca garis takdir.“Langit jarang memberi dua cahaya dalam satu kerajaan tanpa alasan,” katanya akhirnya. “Tapi arah cahaya itu … belum selesai ditulis.”“Dan bintang yang kau lihat itu?” tanya Shangkara.“Bintang itu, Putri Bulan," jawab Tetua He, menunduk ke arah Cailin. “Bintang baru belum sepenuhnya stabil. Langit belum selesai menulis.”Guru Fen menunduk hormat. “Apakah artinya bintang itu membawa pertanda baik, Tetua He?”Tetua He menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. “Baik atau buruk bukan urusan manusia. Langit h
Cahaya matahari menembus kisi jendela, menciptakan garis-garis lembut di lantai batu. Cailin terbangun, menikmati kehangatan yang luar biasa di pelukan Shangkara. Ia enggan beranjak. Ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan momen itu berlangsung sedikit lebih lama. Shangkara terbangun, tapi ia juga tidak bergerak. Tangannya masih melingkari pinggang Cailin. Ia menyentuh rambut Cailin pelan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya menolak meninggalkan ketenangan itu. Cailin bergerak pelan, matanya terbuka sedikit. “Kau sudah bangun?” bisiknya. “Sudah dari tadi,” jawab Shangkara lembut. “Tapi aku tidak mau bergerak, takut kau menghilang.” Cailin tersenyum samar, matanya ditutup kembali. “Kalau begitu, aku akan disini dan biarkan dunia menunggu sebentar.” Mereka diam cukup lama, menikmati ketenangan dan kehangatan di antara mereka. Sampai akhirnya, Shangkara berbisik, “Hari ini Dewan Langit akan melapor soal tanggal pernikahan spiritual itu.” Cailin membuka
Malam itu, kabut tipis turun di sebuah jalan kecil yang cukup jauh dari Istana Vermilion.Cailin mengenakan jubah abu-abu polos, rambutnya disembunyikan di balik tudung. Di sampingnya, satu Pasukan Bayangan berjalan tanpa suara, membawa lentera spiritual yang nyalanya nyaris tak terlihat.“Kita akan masuk lewat terowongan yang langsung ke ruang meditasi Kaisar,” bisik prajurit itu. “Jalur ini hanya Kaisar dan kami para pengawal bayangan yang tahu.”Cailin tersenyum samar. “Aku pernah melewati jalan ini,” bisiknya pelan.Saat mereka muncul dari balik dinding batu yang tersembunyi di balik altar, udara di ruang meditasi menyambutnya. Dingin, berat, dan penuh kenangan.Cailin memandang ranjang
Pagi itu, Aula Dewan Agung Istana Vermilion dipenuhi gema suara para tetua. Suara jubah sutra berdesir, suara kipas dibuka-tutup, dan kata-kata “keseimbangan spiritual” disebut berulang kali seakan itu adalah mantra yang tak boleh tidak diucapkan.Shangkara duduk di singgasananya, menatap dingin para tetua. Aura Vermilion-nya ditahan rapat.Tetua Wen berdiri di tengah ruangan, membacakan gulungan yang sudah disegel dengan stempel merah Dewan Agung.“Demi stabilitas spiritual dan keseimbangan kekaisaran, Dewan menuntut pelaksanaan Upacara Pernikahan Spiritual antara Kaisar Vermilion dan Tunangannya, Nona Daiyu, dalam waktu dekat.”Shangkara diam. Tatapan matanya






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments