LOGINDibuang oleh Ibu tirinya ke hutan, Cailin bertemu dengan pria yang terluka parah. Saat ia menolongnya, justru tubuhnya menyerap energi hingga nyaris merenggut jiwanya. Yang ia tidak tahu, pria itu adalah Kaisar Spiritual, Shangkara, yang kekuatannya termasyhur. Untuk menyelamatkannya, Shangkara melakukan hal terlarang dengan memberikannya darah-nya. Tindakan itu menyelamatkan nyawa Cailin, tetapi sekaligus mengikat mereka dalam ikatan jiwa-raga yang misterius. Kini, rasa sakit, kelemahan, dan bahkan perasaan mereka saling terpengaruh. Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah melalui Ritual Penyatuan Yin-Yang—sebuah ritual sakral yang tak pernah ada berani menggunakannya. “Ritual apa?” “Ritual Penyatuan. Tidurlah denganku. Sekali saja. Maka kau akan selamat… sekaligus menjadi milikku.”
View More“Kau membawa sial!” bisik wanita itu, matanya penuh kebencian. “Pergi! dan jangan pernah kembali!”
Kabut masih menyelimuti hutan, cahaya matahari menerobos di antara celah pepohonan yang sudah hidup selama berabad-abad. Dinginnya menusuk tulang, namun tidak lebih dingin dari rasa hampa di dada Cailin. Ia tinggal sendiri sejak ibu tirinya membuangnya ke tempat terpencil ini, dengan alasan yang tidak bisa ia pahami.
Cailin menyampirkan kantong anyaman di bahunya, jari-jarinya yang kotor mencengkeram erat tali kantong. Isinya sedikit—beberapa umbi-umbian liar dan jamur yang dia temukan pagi tadi. Itu seharusnya cukup untuk bertahan hari ini. Napasnya membentuk kabut putih. Setiap langkah kakinya meninggalkan jejak di tanah yang basah.
Cailin menggosok-gosokkan kedua tangannya. “Kalau aku jadi es batu, mungkin wanita itu akan senang. Dasar perempuan gila.”
Tiba-tiba, langit di atasnya seakan berwarna kemerahan sesaat, diikuti gemuruh yang menggetarkan tanah. Bau besi terbakar dan sesuatu yang lain... sesuatu yang manis dan memabukkan, memenuhi indra penciumannya.
Hatinya berdebar kencang. Instingnya berteriak untuk lari, tetapi rasa ingin tahu atau mungkin hanya keputusasaan bodohnya, menariknya mendekati sumber bau itu. Dia menyusuri semak belukar, tangannya menyingkirkan ranting yang menghalangi.
Dan di sana, di tengah lingkaran tanah yang hangus dan pepohonan yang patah, terbaring seorang pria. Cailin menahan napas.
Pria itu tergeletak dalam kondisi yang mengerikan. Bajunya yang tadinya pasti sangat mewah, kini compang-camping dan berlumuran darah yang... aneh. Darahnya tidak berwarna seperti darah manusia biasa, melainkan berwarna merah keemasan, serta memancarkan hawa panas hingga Cailin bisa merasakannya dari jarak beberapa langkah.
Wajahnya pucat, tapi garis rahangnya menampilkan keteguhan bahkan dalam keadaan tidak sadar. Dia terlihat agung, seperti yang dia bayangkan tentang para dewa dalam cerita-cerita yang pernah ia dengar. Hanya saja, dewa tidak seharusnya sekarat di hutan.
“Lukanya aneh,” Cailin menggedikkan bahu, “tapi tampan. Apa dia dewa yang jatuh ke bumi?”
Tanpa pikir panjang lagi, naluri kemanusiaannya mengambil alih. Cailin berlutut di sampingnya, tangan gemetar menyentuh dahi pria itu. Panas! Cailin langsung menarik tangannya dan meniupnya cepat.
Itu sudah cukup bagi Cailin. Dia membalut luka dengan kain dari bajunya, berusaha menghentikan pendarahan. Saat jarinya tanpa sengaja menyentuh darah yang masih hangat, sebuah sensasi aneh merayap di kulitnya.
Seperti energi menyambar melalui jarinya, membanjiri tubuhnya. Cailin terhuyung ke belakang, dadanya terasa seperti ditusuk ribuan jarum panas. Matanya berkunang-kunang. Dia mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya desahan napas yang tersendat.
Dia merasakan sesuatu yang asing mengalir dalam tubuhnya, membakar dari dalam. Penglihatannya mulai gelap, dan hal terakhir yang dia ingat sebelum kegelapan adalah sepasang mata yang tiba-tiba terbuka—mata yang berwarna merah vermilion, menatapnya penuh dengan kejutan.
Dan kemudian, semuanya menjadi hitam.
***
Bau darah dan tanah basah memenuhi penciuman Shangkara saat kesadarannya perlahan kembali. Rasa sakit yang luar biasa di dadanya mulai mereda. Luka di tubuhnya masih terbuka, tapi darahnya sudah bekerja, menyembuhkan dengan perlahan namun pasti.
Lalu ia membuka mata. Pandangannya samar, tapi ia bisa menangkap sosok seorang yang terhuyung kemudian jatuh tak jauh dari tempatnya.
Seorang gadis. Wajahnya pucat bagai bulan, dan napasnya tersengal-sengal.
Orang biasa? Pikirnya bingung. Apa yang dia lakukan disini?
Kemudian, pandangannya jatuh pada jari gadis itu. Ada bekas noda merah keemasan. Darahnya.
Sial.
Shangkara mencoba bergerak, tapi tubuhnya masih cukup lemah. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. Ia tidak hanya celaka, tapi malah membawa gadis tidak bersalah dalam bencana.
Energinya yang membara terlalu kuat untuk tubuh yang tidak terlatih. Gadis ini akan mati.
“Demi langit…” gumamnya, suaranya serak.
Tiba-tiba bayangan bergerak dari balik pohon. Shangkara langsung siaga walau tubuhnya masih lemah.
“Yang mulia!”
Seorang pria gagah dengan bekas luka di alis segera mendekat. “Aku menemukan jejak energi yang mulia,” lapor Ren, orang kepercayaannya. “Apa yang terjadi? Siapa… ini?” Pandangannya beralih pada gadis yang sekarat tak jauh dari Shangkara.
“Jangan tanya,” potong Shangkara, “Dia menyentuh darahku. Energinya terserap.”
Ren—ajudannya—langsung memeriksa nadi Cailin, menghela napas dan menggeleng perlahan. “Dia tidak akan bertahan, yang mulia. Energi milik Anda membakarnya dari dalam.”
Shangkara menatap gadis malang itu. Seorang kaisar tidak boleh berhutang budi, dan tidak akan membiarkan orang tak bersalah mati karenanya.
“Ren,” ucapnya tegas penuh wibawa, mengesampingkan rasa sakitnya. “Bawa dia. Bawa dia ke Istana. Sekarang.”
Ren terlihat ragu, “Yang mulia? Itu terlalu berisiko—”
“Sekarang!” suara Shangkara bergetar, meski lemah. Cahaya vermilion menyala singkat di matanya. “Dia menyelamatkanku. Dia tanggung jawabku sekarang.”
Kalimat itu menggantung di udara, lebih berat dari kabut pagi. Ren mengangguk patuh. Ia tidak memahami, tetapi ia taat.
“Istana adalah satu-satunya tempat yang memiliki sumber daya untuk menyelamatkan nyawanya.” Shangkara berhenti, matanya tertuju pada gadis itu.
Ia menekan dadanya yang tiba-tiba berdebar tak karuan. Bukan karena luka, tapi karena ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi kalau ia membiarkan gadis ini kehilangan nyawanya.
“Dengarkan aku, Ren!”
Suara tegas Shangkara membuat gerakan Ren yang hendak mengangkat Cailin terhenti, “Baik, Tuan.”
“Jangan sampai dia tahu siapa aku sebenarnya.”
Ren melihat mata tuannya. Itu bukan hanya perintah. Itu adalah keputusasaan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk. "Seperti yang Tuanku perintahkan."
“Langsung bawa ke kamar rahasia,” instruksi Shangkara, suaranya pelan tapi tegas. “Ciptakan kabut sebagai pelindung,” tambahnya.
Ren mengangguk. Dengan sigap, dia mengeluarkan energinya, kabut tebal tiba-tiba menyelimuti mereka, menyembunyikan mereka dari pandangan siapa pun.
Mereka melesat masuk ke dalam kegelapan hutan. Di pundak Ren, Cailin tergantung lemas. Shangkara berjalan tertatih di samping ajudannya. Setiap langkah terasa lebih berat daripada luka di dadanya, seolah ia sedang menyeret sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada tubuh lemah seorang gadis.
Cahaya tipis jatuh dari celah di langit-langit ruang sempit itu. Lian duduk bersandar pada dinding batu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Gulungan kulit binatang itu ia genggam erat, seolah menggenggam benda itu adalah satu-satunya cara untuk menahannya agar tidak hanyut oleh ketakutan. Pasir masih berdesir di lorong luar—suaranya halus, sabar, seperti sesuatu yang tidak perlu terburu-buru karena tahu buruannya kehabisan ruang. Ia menatap sekeliling. Ruangan ini tidak besar. Dinding-dindingnya dipahat rapi, sudut-sudutnya bersih. Batu lantainya rata, bahkan aus di beberapa bagian—seperti sering diinjak. Lian bangkit perlahan, mengabaikan nyeri di rusuknya. Ia melangkah tertatih, menelusuri dinding dengan ujung jarinya. Di sana—di balik lapisan lumut kering—ia menemukan sesuatu yang berbeda. Sebuah pola goresan yang hampir hilang—alur tipis berulang, seperti arah hembusan angin yang dipahat dengan sengaja. Lian meletakkan telapak tangannya di dinding itu. Udar
Lian menahan napas di balik celah batu yang sempit. Dari kejauhan, suara langkah menggema di aula kuil. “Lian,” suara Ravia terdengar dingin, menggema di antara pilar batu. “Aku tahu kau belum pergi jauh.” Lian menelan ludah. Ia merapatkan tubuh ke dinding, menahan gemetar. Pasir di lantai berderak pelan, seolah merespons langkah Ravia. Suara itu terlalu dekat. Terlalu tenang. Ia menggeser tubuhnya sedikit, meraba dinding di sekelilingnya. Jarinya menyentuh permukaan batu yang berbeda—lebih halus, penuh ukiran tua yang nyaris terhapus waktu. Ia terus merayap pelan di lorong sempit itu, menggeser tubuhnya beberapa senti lebih dalam. Udara di sini pengap, berbau debu tua dan sesuatu yang busuk. Cahaya dari aula utama tidak bisa menembus masuk, memaksanya meraba-raba dalam kegelapan total. Setiap pergerakannya menyiksa. Rusuknya yang memar bergesekan dengan dinding batu, menciptakan rasa nyeri y
Di ruangan altar Kuil Tua, saat Ravia menyentuh dahi Lian, rasa sakit tajam menghantam kepala Lian. Pasir di lantai kuil bergetar pelan, mengikuti irama yang tidak bisa ia pahami. Lilin-lilin ungu di sekeliling ruangan menyala stabil, nyalanya tenang. Ravia berdiri di hadapannya. “Tenanglah,” kata wanita itu lembut. “Ini cuma sakit sedikit,” katanya, seolah rasa sakit adalah hal sepele. Lian menggertakkan gigi. Ia mencoba menggerakkan jarinya. Tidak bisa. Tubuhnya terasa terlalu berat. Ia mencoba mengangkat kakinya. Gagal. “Tidak perlu melawan,” bisik Ravia. “Aku hanya mengubah arah.” “Takdir bukan benda,” desis Lian. “Kau tidak bisa mengarahkannya sesukamu.” “Tentu saja bisa.” Ravia tersenyum tipis. “Aku membentuk jalurnya.Padahal kau angin—tapi kau memilih diam. Kau tahu?” Ia mendekat ke telinga Lian. “Angin bisa mendorong gadis bulan itu menjauh, atau menarik Kaisar ke pelukanmu. Tapi kau …,” Ravia memutar jarinya di dahi Lian. “... malah bermain dengan pengawal itu.”
Pagi itu, Istana Vermilion tidak diselimuti duka, melainkan ketidaksabaran.Daiyu sudah mati, tapi Dewan Tetua belum puas.Mereka mencium sesuatu—bukan kebenaran, melainkan kesempatan.Guru Fen membuka pintu kamar pribadi kaisar.“Yang Mulia, Dewan memanggil sidang darurat. Mereka gelisah soal pemakaman Daiyu. Mereka menuntut pemeriksaan formal.”Shangkara membuka mata, pelan. “Tentu saja,” gumamnya. Ia berdiri. Kakinya sempat goyah, tapi ia menegakkan punggungnya sebelum siapa pun sempat melihat.Guru Fen menatapnya cermat. “Kau akan kesana?”“Aku Kaisar,” jawab Shangkara. “Kalau aku tidak muncul, mereka akan mencium kelemahan.”Ia melangkah pergi.Matahari sudah tinggi ketika pintu Ruang Dewan terbuka.Para Tetua yang sejak tadi ribut menuntut penjelasan langsung terdiam.Shangkara melangkah masuk. Ia mengenakan jubah kebesaran Vermilion lengkap dengan mahkotanya. Wajahnya meman
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore