Pelan-pelan Langit menutup pintu kamar, dia menebak kalau Bintang yang datang ke sana, tapi setelah di sampai di ruang tamu ternyata tebakannya salah.Mine duduk di sana dengan raut wajah khawatir.“Apa aku mengganggu kalian?”Langit menggelengkan kepalanya dan duduk berhadapan dengan Mine.“Mau minum? Atau mau sarapan sekalian?” tawar Langit pada Mine yang terlihat meremas kedua telapak tangannya.Mine menggeleng, disituasi yang menurutnya cukup membuatnya tegang, dia sama sekali tak berselera untuk makan. Setelah menerima telepon dari Bintang, Mine bergegas datang ke rumah Bulan.“Kamu mau menemuinya?”Mine mengangguk.“Aku, mau tapi dengan satu syarat.”“Apa itu?”“Aku tak ingin mengganggu kalian berdua. Saat ini yang lebih dia butuhkan adalah kamu.”Langit mengajak Mine menemui Bulan yang masih tertidur akibat obat yang dikonsumsinya.Mine tak mampu membendung lelehan bening yang menetes di pipinya. Melihat keadaan Bulan yang terpasang infus di tangannya membuatnya ing
Bulan yang mulai bosan berusaha turun dari ranjang . Dia pikir dengan menghirup udara segar dia bisa sedikit baikkan. Bulan melepas infus yang sudah habis, menutup bekasnya dengan plester yang memang sudah disediakan oleh Dokter Yoga.Dengan langkah gontai dia berjalan menuju balkon. Tubuhnya masih terasa sedikit lemas, tapi sekuat tenaga dia mencoba menopangnya, dia ingat betul pesan Dokter Yoga. Kalau keadaannya masih belum membaik, dia terpaksa harus menjalani perawatan di rumah sakit.Bulan duduk di kursi balkon, tak sengaja tatapannya tertuju ke arah bawah. Dia menegakkan tubuhnya demi melihat dengan jelas sosok yang ada di bawah sana. Tatapannya nanar melihat Langit berpelukan dengan Baby. Dia mengerjapkan matanya yang terasa berembun. Sesak merundung dadanya. Rasa itu terlalu hebat menghantamnya.“Langit,” lirihnya.Saat dia mulai mematrikan hatinya pada perasaan yang sudah dia yakini, kenapa semesta menunjukkan padanya sesuatu yang tak ingin dia lihat.Kini jiwa dan rag
Bulan berteriak histeris sembari menutupi kedua matanya.“Langit, itu. Cepat pakai bajumu.”Langit segera menaikkan kembali handuk yang jatuh dengan sempurna dia ujung kakinya. Wajahnya memerah menahan malu.“Maaf, aku tak tahu, tak sengaja. Cepat keluar sekarang.”Bulan tak menjawab, dengan langkahnya dia keluar dari walk in closet dan kembali ke peraduannya. Dadanya masih saja berdebar tak karuan melihat apa yang seharusnya tak dia lihat.“Huff sial, mataku jadi ternodai.”Bulan mengambil ponselnya, memperhatikan layar ponsel yang sejak kemarin belum dia sentuh. Gelembung chat menampilkan banyaknya pesan masuk ke dalam ponselnya, beberapa menanyakan kabarnya, beberapa lagi menanyakan pekerjaan, dan juga pesan dari Bintang yang akan datang sore ini menjenguknya.Bulan menghela nafas, dia tak tahu apa yang akan dilakukannya nanti saat dia bertemu dengan Bintang. Ada rasa bersalah yang menggerogoti dalam dirinya.“Sedang memikirkan apa?” tanya Langit pada istrinya yang tampak l
Pagi ini cuaca begitu cerah, langit bersih tanpa cela, tak ada awan menggantung di sana. Semilir angin pagi ditambah hangatnya sinar mentari membuat Bulan bangun lebih awal.Dia tak mau berdiam diri di rumah. Pagi ini dia harus datang ke pengadilan. Pekerjaannya yang menumpuk memaksanya untuk segera pergi dari kemalasan yang beberapa hari ini dia lakukan.Langit membuka matanya, dilihatnya istrinya yang sudah mengenakan setelan kerja.“Mau ke mana?”“Pengadilan.”Langit menepuk dahinya, dia hampir lupa kalau hari ini mereka ada sidang. Lngit bergegas turun dari ranjang. Karena terburu-buru dia tersandung selimutnya sendiri.“Awas Bulan,” teriak LangitSayangnya terlambat, Langit menubruk Bulan hingga tubuh mereka berdua ambruk bertindihan, tak sengaja bibir langit menyentuh bibir istrinya yang lembut.Detak jantung keduanya terdengar begitu jelas. Keduanya bahkan mampu mendengar satu sama lain.Kesadaran Langit datang lebih cepat, dia segera bangkit dan membantu istrinya berd
Keduanya saling melempar tawa. Namun beberapa saat kemudian tawa keduanya pun memudar. Mengingat kalimat yang sudah mereka ucapkan. Bulan merasa canggung sudah melemparkan godaan pada suaminya.“Aku tahu kamu bercanda, jadi jangan merasa nggak enak denganku.”Senyum mengembang di bibir istrinya, setidaknya Langit paham kalau itu hanya sebuah kalimat candaan belaka.Ponsel Langit berdering, sebuah panggilan masuk dari Baby. Langit meminta tolong pada istrinya untuk menjawabnya.“Tolong.”“Nggak, aku nggak mau.”“Please, geser saja, biar aku yang berbicara dengannya.”Dengan enggan Bulan menuruti permintaan suaminya. Dia menggeser gambar telepon berwarna hijau dan mengaktifkan speaker.“Halo, Langit.”“Ada apa, aku sedang menyetir, kalau ada yang ingin kamu katakan padaku, cepatlah.”“Kamu bisa menyambungkannya ke mobil, kan?”“Nggak bisa, ini bukan mobil milikku.”“Maksud kamu, kamu sedang bersama dengannya?”“Iya. Aku sedang bersama istriku."Mendengar Langit memanggil
Langit melongo, dia tak percaya dengan pendengarannya. “Coba ulangi ucapanmu barusan?” “Bukankah kamu yang sering mengatakan itu padaku, jadi aku menirumu, Langit.” Langit diam membisu, dia ketar-ketir saat Bulan mengatakan itu padanya. Dia tak mau berpisah dengan istrinya. Selama masih ada waktu dia ingin berusaha sebaik-baiknya agar bisa membuat perempuan keras kepala itu luluh padanya. Mobil merayap masuk ke halaman rumah “Mauku gendong sampai ke kamar?” “Nggak usah, kamu bilang aku berat, belum lagi seharian ini dosa-dosaku juga bertambah. Jadi lebih baik kamu tak melakukannya.” Alih-alih menurut dengan ucapan istrinya, Langit membopong tubuh Bulan. Bulan menjerit kaget, tapi tak urung mengalungkan kedua tangannya pada leher suaminya. Dengan langkah lebarnya dia pun naik ke lantai atas dan menidurkan istrinya di atsa ranjang. “Terima kasih, Langit.” Langit mengangguk, lalu turun lagi ke bawah mengambil barang-barang milik mereka yang masih tertinggal di m
Bulan berusaha memejamkan matanya, sayangnya pikirannya menjadi kacau mengingat Baby yang terus-terusan menelepon suaminya. Ditolehnya Langit yang tak ada di kamar. Sejak kapan suaminya itu keluar, dia sama sekali tak mengetahuinya. Bulan terlalu asyik dengan lamunan panjangnya. Bulan meraih ponsel miliknya, daripada kesepian lebih baik dia menelepon Mine. Beberapa kali deringan barulah sahabatnya itu menjawabnya.“Halo, Bul. Kamu nggak apa-apa, kan?”“Damn you! Bulan, Mine!”Di seberang sana Mine terkikik. Dia tahu Bulan tak suka saat dia memanggilnya begitu tapi tetap saja dilakukannya. Mine hanya ingin menghibur sahabatnya yang katanya pulang ke rumah.“Aku antar ke rumah sakit?”“Enggak usah, Mine, ada Langit yang menjagaku.”“Kamu selingkuh, kamu nggak setia semenjak ada Langit di sisimu.”“Bullshit!”Keduanya tertawa terbahak-bahak, walaupun kalimat yang mereka ucapkan hanya sederet kalimat receh bagi yang mendengarnya, tapi mampu mengusir rasa sepi dan kesedihan yang
Langit menatap ke bawah, dia kebingungan. Menoleh ke kanan dan kiri.“Memangnya ada apa di bawah. Ada lantai?”“Ada kita, Langit. Bulan dan Langit.”Langit tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga Bulan. Tawa Langit yang cukup renyah menular padanya.Langit memegangi perutnya yang sakit sebab sejak tadi tertawa terus. “Kamu tahu bedanya Bulan yang di atas dengan Bulan yang ada di depanku?”Bulan menggeleng, dia kembali menyibukkan dirinya dengan memakan ayam yang membuatnya terpukau dengan rasanya. Daging ayamnya begitu empuk dan bumbunya meresap ke dalam. Entah bagaimana suaminya itu memasak. Atau jangan-jangan suaminya itu koki yang menyamar menjadi lawyer.Melihat Bulan menikmati makanannya Langit tersenyum.“Mau tahu apa bedanya?” Langit mengulang pertanyaan.“Tentu saja.”“Bulan di bawah lebih cantik. Bulan di bawah mampu memberi nafas bagi orang lain.”“What the hell.”Langit terkekeh mendengar istrinya mengumpat. “Jadi kamu pikir aku orang yang biasa memberi naf