"Ayo, Tante, temani Luna makan baso. Setelah ini, Luna dan papa janji akan langsung antar Tante pulang. Gimana?" Nuri sebenarnya enggan, karena ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya, kemudian menjadi salah paham. Namun, ia sendiri merasa perlu menikmati waktu setelah semua yang ia lalui bersama Dika. "Jauh gak tempat makan basonya?" tanya Nuri ragu. "Deket kok." Luna dan Daniel menjawab serempak, hingga membuat Nuri tertawa, kemudian menyerah. Daniel mengendarai mobilnya dengan semangat, menuju restoran yang pasti sangat disukai oleh Nuri. Jika untuk makan berdua saja, Nuri sudah pasti jelas menolak, untuk itu, ia bersyukur ada Luna yang dengan dengan Nuri dan bisa membujuk mantan kekasihnya itu. "Mas masih cuti ya?" tanya Nuri membuka percakapan. Saat ini dirinya tengah duduk di depan menemani Daniel mengemudi. "Ya, hari ini terakhir. Makanya mau traktir kamu. Besok udah mulai sibuk lagi." Daniel tersenyum dengan sangat manis, membuat getar tersendiri di hati Nuri yang sud
Assalamu'alaikum, ayang, kamu dipanggil ibu ke rumahSendWa'alaykumussalam. Masa sih? Ibu apa ayang yang kangen nih? Nura tertawa membaca balasan pesan dari Willy. Beneran ibu suruh kamu ke sini. SendBesok aja ya, Sayang, bibir saya lagi sariawan. Biar sekalian gitu, sekali dayung, dua tiga kecupan kebagian. Ha ha ha Nura tidak sanggup untuk tidak terbahak. Calon suaminya ini selain sangat cerdas, juga terkenal mesum akut. Bu Fatma memutar bola mata saat menyadari putrinya malah cekikikan saat berbalas pesan. Ia hanya bisa pasrah menunggu Nuri pulang untuk bertanya lebih serius tentang gosip yang ia dengar di luaran sana. Setengah jam berselang, Nuri pun pulang. Ia masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu. Nura sudah tidur lebih awal karena sambil menyusui Baby Liam, sedangkan Bu Fatma masih terjaga menunggu putri sulungnya pulang. "Eh, Ibu, tumben belum tidur, Bu," sapa Nuri dengan canggung. "Ibu belum ngantuk, Nuri." Jawaban Bu Fatma yang santai membu
Nuri, apa kamu bisa ke rumah Mama? Ini ada surat dari pengadilan agama. Nuri membaca pesan dari mertuanya, saat ia tengah bersiap-siap pergi ke tempat kursus. Hari ini jadwalnya ia masuk lebih siang, sehingga masih mempunyai waktu untuk memasak makanan untuk Luna dan Daniel. "Loh, mau berangkat sekarang? Bukannya masuk jam sebelas, Nuri?" tanya Bu Fatma saat melihat putrinya sedang sibuk memasukkan makanan ke dalam wadah. "Iya, Bu, disuruh mampir ke rumah Mama Widya." Nuri memasukkan wadah itu ke dalam totte bag, lalu ia pun membawanya ke depan. Bu Fatma masih terus memperhatikan putrinya yang sibuk. Ada sedikit keanehan yang dilakukan putrinya hari ini, tetapi ia belum bertanya lebih detail, karena Nuri sangat sibuk. "Berangkat ya, Bu." Nuri mencium punggung tangan ibunya. Lalu berjalan cepat menuju rumah mertuanya. Begitu tiba di rumah Bu Widya, Nuri langsung masuk setelah mengucapkan salam. Bu Widya sudah duduk di ruang tamu sambil memegang kertas coklat. Wanita paruh baya it
Dika merasa pikirannya amat kacau. Ia pulang ke rumah, mengendarai motornya dengan amat lesu. Kabar penarikan promosi jabatan dari direktur kebun binatang langsung tersebar di lingkungan kantor dan seharian ini, sampai dengan di parkiran, ia selalu ditanyai oleh teman-teman yang penasaran kenapa sampai promosinya dibatalkan. Entah siapa yang mau disalahkan jika sudah seperti ini karena amarah di dadanya tak tahu mau ia luapkan pada siapa. Mesin motor ia matikan begitu sampai di garasi rumah yang gelap. Ya, ia kini tinggal sendirian, tanpa istri dan juga ART. Saat ia pulang malam seperti ini, sudah barang tentu rumahnya dalam keadaan gelap. Dika mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku celana kerjanya. Saat ia memasukkan anak kunci, ia ingin melihat kotak surat yang ada di depan. Dika bergegas menghampiri kotak surat tersebut, lalu menemukan beberapa lembar surat yang salah satunya adalah dari pengadilan agama. Dika membawa masuk surat-surat itu. Tanpa membuka baju dan mandi, surat d
Langkahnya memang belum sempurna, tetapi wanita itu tetap dengan penuh semangat meninggalkan rumah kakaknya. Ia lebih baik pergi jauh, dari pada harus dinikahkan dengan kakek tua. Tas pakaian yang ia bawa juga tidak ada. Tika hanya membawa tas kresek hitam berisi beberapa helai pakaian. Ia sengaja tidak membawa pakaian banyak agar tidak menyulitkannya untuk kabur. Tika membelah jalan malam di area persawahan tanpa rasa takut sama sekali. Tempat tinggalnya yang masih sangat desa, tidak membuatnya asing ataupun takut. Ia biasa berjalan malam, bahkan tengah malam pun pernah di lingkungan tempat tinggalnya. Setelah bertemu dengan jalan bercabang empat, jika ia ingin ke kota dan memberhentikan angkot, maka ia harus belok ke kanan, tetapi ia harus menemui seseorang terlebih dahulu sebelum ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tika sudah berdiri di depan rumah tua yang hampir dua tahun tidak pernah ia kunjungi lagi. Hanya ini satu-satunya tempat paling aman untuk ia menginap malam ini.
"Jadi kamu ingin lelaki di foto ini jatuh cinta sama kamu?" tanya Mirna sambil memperhatikan Tika dan juga foto seorang lelaki yang tidak lain adalah Dika. "Iya, namanya Dika. Sudah beristri dan pernikahannya gak benar karena dia gak cinta sama istrinya. Sampai sekarang aja kayanya istrinya masih perawan. Aku minta tolong sama kamu, Mir, gimana caranya biar Pak Dika tergila-gila denganku dan mau menikahi aku." Mirna tidak langsung menjawab. Ia membakar dupa, dengan bibir komat-kamit. Foto Dika terbakar habis menjadi abu, lalu abu tersebut dimasukkan Mirna ke dalam botol. "Ini, pastikan dia menghabiskan minum air ini!" "I-ini, aku gak harus melakukan apa-apa lagi, Mir? Ada syarat apa gitu untuk memuluskan rencanaku?" tanya Tika dengan gugup. Rasanya senang dan gembira tidak terkira di hatinya karena mendapat pertolongan tanpa syarat dari Mirna. Jika saja ia mengetahui hal ini lebih awal, sudah pasti ia sejak lama menjadi istri dari Dika. "Siapa bilang tidak ada? Syaratnya ada di ak
Willy mengendarai mobil Dika untuk membawa kakaknya itu ke rumah sakit. Dika tidak bisa banyak bicara karena pria itu benar-benar sakit. Jangankan bicara, sejak Willy menemukan kakaknya terkapar di tempat tidur, Dika hanya bisa merintih kesakitan. Pria itu memegang perutnya sambil merasakan suhu tubuh yang tinggi. "Sabar, Mas, dikit lagi kita sampai," kata Willy mencoba menenangkan Dika yang masih merintih sakit. Mobil pun berhenti di depan lobi IGD sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari rumah Dika. Dengan bantuan kursi roda dan salah satu staf keamanan rumah sakit, Dika dibawa masuk ke ruangan IGD, sedangkan Willy membetulkan parkir mobilnya terlebih dahulu, barulah ia menyusul masuk ke ruangan IGD. Kring! Kring! "Halo, Sayang.""Halo, kamu di mana? Katanya mau pilih souvenir.""Sayang, aku lagi bawa Mas Dika ke IGD, apakah Mbak Nuri udah pulang dari pengadilan?""Apa? Pulang dari pengadilan? Siapa?" Willy menepuk keningnya dengan kuat. Ia sudah keceplosan pada Nura. Calon istrin
"Terima kasih kamu mau menjaga saya di rumah sakit dalam tiga hari ini, Nuri. Kalau kamu lelah, pulang dulu gak papa. Kondisi saya sudah baikan kok." Dika berujar sambil tersenyum pada Nuri. Senyuman yang sejak awal menikah, tidak pernah ia dapatkan dari suaminya. Nuri ikut tersenyum sambil menggeleng. "Tanggung, Mas. Gak papa saya tungguin saja sampai kamu boleh pulang ke rumah." Nuri memasukkan pakaian kotor suaminya ke dalam tas jinjing yang akan diambil oleh Udin untuk dibawa langsung ke laundry. "Ya sudah, baiknya kamu saja. Berarti kamu libur kursus?" tanya Dika lagi. Pria itu lebih banyak bicara dan bertanya sejak Nuri dengan penuh sabar mengurus serta merawatnya di rumah sakit. "Iya, gak papa. Ujian baru selesai dan anggap saja ini bakti saya sebelum status kita sudah tidak suami istri lagi." Dika mengangguk pelan. "Saya harap, setelah kita bercerai nanti, kita masih tetap bisa silatirahim." Kali ini, Nuri yang mengangguk. "Saya minta maaf ya, Nuri," kata Dika lagi dengan