Bagaimana kalau mantan kekasihmu datang di hari pernikahanmu, bukan untuk memberi selamat, melainkan untuk menagih janji yang pernah kamu ucapkan kepadanya? Itulah yang dihadapi Khalisa. Pada hari bahagianya, pria di masa lalu datang untuk menagih janji yang pernah dia berikan. Ia harus rela memberikan malam pertamanya kepada sang mantan kekasih. Karena kalau tidak, ia akan kehilangan orang-orang yang dicintainya. Dari sinilah hubungan terlarang itu bermula, hubungan yang seharusnya tidak pernah mereka jalani di belakang pernikahan yang sesungguhnya. *** ig: dityarxx
View More୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴
“Sayang, itu hadiah dari siapa?” tanyaku pelan, dengan tangan yang tetap melingkar di tengkuknya. Mataku tertuju pada bingkisan di atas meja, di mana terlihat foto Alzian dengan seorang perempuan. “Oh, itu kiriman dari saudaraku,” jawabnya santai sambil melepas satu per satu setelan hitam baju adat pernikahan, menyisakan sehelai celana dalam di pinggangnya. “Memangnya kenapa?” "Enggak, cu—cuma, ummmmmhh—" Kata-kataku tenggelam, dibungkam oleh bibir tipisnya yang menempel begitu tenang di bibirku. Ada jejak cherry di sana. Masam, manis, lembut, dan menyisakan rasa yang sulit buat kutolak. "Kamu mau sekarang?" "Iya, dong, Sayang. Ini, kan, malam pertama kita," bisiknya sambil mengurai satu per satu kancing kebayaku yang bertemakan bunga melati, sedikit transparan. "Kalau enggak sekarang, terus, kapan lagi?" "Tapi, aku belum siap!" Aku sempat merengut, tapi sentuhan tangannya yang selembut beludru itu, perlahan membimbing bibirku untuk tersenyum. "Sayang, nggak apa-apa, kok. Sakitnya itu cuma di awal-awal aja, percaya, deh!" bisiknya, mencoba menenangkanku. Tapi bukannya tenang, pikiranku malah ke mana-mana. "Kok kamu bisa paham bener kayaknya? Kamu pernah ngelakuin ini sama siapa sebelum sama aku? Hah, jujur!" Aku mendorong dadanya spontan, membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Namun dia kembali mendekat, memelukku dengan panik. "Enggak ada, sumpah, kamu yang pertama!" "Halah ... Bohong!" seruku sambil berusaha melepaskan pelukannya, "Lepas, atau aku bakal teriak?" "I—iya ... Okay!" Begitu aku berhasil lepas, segera kurapikan kebaya dan jilbabku. Rasanya akan jauh lebih baik kalau aku berada di depan, bersama saudara-saudara yang lain untuk menyambut para tamu undangan. Toh, sekarang masih jam delapan malam. Pasti masih ada saja tamu yang datang. Apalagi ini malam minggu. Aku nyaris saja membuka pintu kamar, tapi tiba-tiba namaku terdengar lantang dari belakang, "Khalisa!" Suara itu membuatku berhenti. "Lebih baik kita nggak usah ngomong, sampai kamu benar-benar bisa jujur semuanya sama aku, Alzian!" "Khal—" "Sssttttt," potongku, sambil menggeleng pelan. Aku enggak mau ambil pusing lagi. Mungkin baginya ini cuma hal sepele. Tapi buatku, ini bukan perkara kecil. Kenapa, sih, kebanyakan laki-laki di dunia ini berharap mendapatkan istri yang belum pernah disentuh, alias 'masih suci/perawan'. Bahkan mereka selalu berlomba-lomba untuk jadi yang pertama menyentuhnya. Tapi kenapa standar itu enggak bisa berlaku juga untuk perempuan, untukku? Aku mengabaikannya. Begitu tanganku menyentuh gagang pintu dan mulai menariknya, tiba-tiba sebuah sentuhan ringan mendarat di bahuku, "Khalisa?" "Hiiiihhhh," desisku sambil menepis tangannya ke samping. "Kebayamu," ucapnya, ada getaran halus di suaranya. "Benerin dulu kebayamu kalau mau keluar!" Aku berbalik, tatapan kami bertemu. Ada genangan yang menggantung di matanya. "Maksudmu?" tanyaku pelan. Dia menunjuk ke arah dadaku. Baru kusadari, karena kejadian tarik-menarik tadi, posisi Bra-ku bergeser ke dalam. Kebaya putih yang sedikit transparan ini pun membuat kismis mungilku tampak lebih jelas dari yang kukira. "Oh, maaf," timpalku sembari merapikan si mungil yang menyembul malu-malu. Saat aku kembali menatap lelaki ini, air matanya sudah jatuh, mengalir melewati leher dan dada, lalu menghilang di atas perutnya. Ada yang ganjil saat pandanganku tertuju pada bokser hitam itu. Sebuah tonjolan keras tampak jelas, dan dari serat-serat kainnya, mengalir cairan berwarna putih pucat. Jujur, aku masih belum mengerti, apakah itu sisa air mata yang sempat lenyap tadi, atau ada cairan lain yang belum kupahami. Aku mengernyit dan mengangkat alis. "Alzian? Ka—kamu?" Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh di lantai, aku sempat menangkap lengannya. "Kamu sakit?" Wajahnya tampak pucat. Tangannya mencengkeram bokser. Dia terbaring sambil menatap lampu gantung. "Enggak, aku enggak apa-apa," gumamnya. Tapi sorot matanya berkata lain. "Wajahmu pucat." Dia enggak menjawab. Tatapannya goyah. Lalu, dengan gerakan yang tampak dipaksakan, dia berdiri dan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Aku kuat, kok. Tuh, lihat, kan!" Aku masih berlutut di depannya, menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tapi tiba-tiba, aroma aneh menyelinap ke hidungku. Refleks, aku menutup hidung dengan kedua tangan. Mataku membelalak, tertuju pada tonjolan di boksernya yang basah, tampak aneh dan membuatku mual. "Alzian?" pekikku sambil menggigit bibir, menahan tawa yang tiba-tiba saja muncul. "Kamu udah keluar secepat ini, hmm?" Wajah Alzian langsung berubah. Matanya berkedip cepat, napasnya tertahan, dan bibirnya sedikit terbuka. Sampai akhirnya yang keluar dari mulutnya hanya satu kata, "Maaf." Aku mengangkat alis, "Maaf?" berpura-pura galak dengan meninggikan nadaku. "Kamu bilang maaf? Iya!!?" Aku pun berdiri. Kini mata kami sejajar. Bibirnya tampak bergetar saat aku mengunci pandang ke arahnya. "Aku sumpah, aku nggak tah—" "Ssst." Cepat, jari telunjukku memotong bibirnya. Matanya melebar dan tubuhnya menegang. Saat aku mendekat, napasnya makin enggak beraturan. "Alzian ...." bisikku lembut, menahan tawa. "Aku enggak marah, kok." Raut bingung masih terpampang di wajahnya. Jadi, aku menatapnya dengan tenang, "Kita baru aja menikah sembilan jam yang lalu. Terus kamu pikir aku bakal marah cuma karena hal kayak gini?" Dia masih terdiam, seperti enggak percaya sama apa yang baru saja dia dengar. Aku tersenyum, lalu perlahan menaruh bibirku di telinganya, "Kalau kamu memang beneran cowok, harusnya kamu nggak boleh nyerah gitu aja, Sayang!" Dan sekarang ... Wajahnya jauh lebih pucat.୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴Kupikir rumah ini bakal kosong waktu aku parkir mobilku. Tapi ternyata, jalan masuknya penuh dengan mobil Pick-upSial.Sempat terpikir buat mutar balik dan kabur, tapi Papa sudah berdiri di sana, melambai, sepertinya dia sudah menunggu.Aku parkir di posisi strategis, biar gampang kabur kalau sewaktu-waktu ingin pergi.“Alzian, gimana kabarnya?” tanya Papa, menunduk sedikit dari atas balkon.“Ngapain sih, kalian di sini?”“Mama bilang rumah kamu jorok banget. Jadi dia mutusin hari ini buat bersih-bersih.”Aku langsung ingin balik ke mobil. Terakhir kali ‘bersih-bersih’ kayak gini, bikin aku jadi lebih depresi. Mama memang nggak bakal berhenti sebelum semua debu dan sarang laba-laba hilang. Entah kenapa dia sebegitu ambisiusnya. Toh, kami semua di sini, jomblo. Siapa juga yang peduli?Tiba-tiba Harry, adik tiriku yang baru sebelas tahun muncul sambil memainkan bolanya.“Eh, Ry!” seruku sambil nyolong bolanya.“Apa, Alzian?”“Hari ini ada latihan bola nggak?”“Besok
Aku kira kami bakal langsung tinggal bareng. Tapi, ya ... dia benar juga.Donna datang membawa Sufle dan meletakkannya di depan dia. "Jalapeno bikinin spesial buat kamu,” katanya, lalu berjalan pergi.“Sampaiin makasih ke Jalapeno ya,” jawab Alzian.Rambut poni Donna bergoyang-goyang saat ia berjalan. Ia berhenti di meja lain dan bertanya ke orang-orang apakah mereka menikmati sarapan.“Kamu emang hobi banget, ya, bikin dia kesal,” celetukku.Dia menyuap makanannya dan hanya mengangguk.Kami makan sambil diam, menatap ke arah teluk. Untungnya, Alzian makannya secepat kilat.Donna enggak menagihkan apa pun, dan Alzian langsung mengambil tasku begitu kami keluar. Ia meletakkannya di bagasi belakang.Begitu mobil melaju keluar dari parkiran, perutku tersenyum. Aku berharap, saat benar-benar sampai di rumah tempat kami dulu pernah menjadi suami istri, akan ada sesuatu yang muncul dari kepalaku.Aku sempat menebak kalau rumah kami ada di dekat tempat kerjanya, tapi begitu dia mengambil jal
୨ৎ K H A L I S A જ⁀➴ Sabtu pagi .... Aku baru saja selesai membereskan koper dan langsung membawanya turun ke resepsionis. Di balik meja ada Donna. Dia menyeringai saat melihatku. “Udah siap pulang?” Aku mengangguk. “Iya sih, tapi jangan sampai Alzian dengar.” Dia mengernyit. “Dia telat. Barusan dapat telepon mendadak, harus balik ke kerjaannya. Kamu mau sarapan dulu?” Ia langsung berjalan meninggalkan meja resepsionis. Donna masih dengan rambut merah dan tubuh berisinya seperti yang kuingat. Senyumnya yang usil belum muncul, tapi feeling-ku sih, dia masih sama saja seperti dulu. “Oh. Dia nggak ngubungin aku.” Donna memiringkan kepala. “Serius? Kan, dia punya nomor kamu?” “Punya, kok.” Dia menepuk punggungku. “Kamu tahu sendiri Alzian gimana. Mungkin dia cuma mau mastiin aku yang ngurusin kamu." “Yah, iya juga sih .…” Tapi jujur saja, kita berdua tahu itu cuma alasan doang. Dua hari lalu, waktu dia mengajakku ke tempat dia melamar, aku merasa itu amat menyakitinya. Dia bahk
"Kayaknya emang nggak pernah berubah," gumamku."Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!""Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu," kataku, lebih ke diri sendiri sebenarnya."Aku, sih nggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri."Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruh dia jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikeliling
୨ৎ A L Z I A N જ⁀➴"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Khalisa saat kami berdiri di samping mobilku.Melihat dia nongkrong bareng Danny di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Danny itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau mikir dia sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.“Minum gak bakal nyelesaiin apa-apa!”Matanya merah, jelas banget habis nangis di depan Danny. Dan itu bikin aku makin kesal.“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”“Ke mana?”Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk.“Nanti juga kamu tahu.”“Gimana aku bisa percaya kalau kamu gak bakal buang aku dar
Aku mempercepat jalanku. Bukan mau sok atau apa, tapi memang lagi malas saja meladeni mereka. Semakin cepat aku berjalan, semakin keras juga mereka memanggil namaku.Begitu sampai di alun-alun, aku melihat beberapa turis sedang duduk santai. Lumayan, buat alihkan perhatian dari mereka.“Eh, Khalisa!!!” Suara Danny, kakak tiri Alzian, memanggil. Dia melambaikan tangan sambil membuka pintu Bar. Begitu melihat kerumunan di belakangku, dia buru-buru membuka pintu lebih lebar. “Kamu kan ada janji sama aku, inget?”Aku menoleh cepat ke belakang lalu langsung menyelonong masuk ke dalam bar. Cewek-cewek itu hampir sampai di pintu saat aku sudah bersembunyi di balik tiang kayu besar di tengah restoran. Aku menarik napas dalam-dalam.“Ya ampun. Kita tuh manggilin Khalisa, tahu!” seru Fannah.“Eh, mungkin kuping dia ikutan amnesia,” kata Danny sambil menyeringai.Salah satu cewek di belakangnya tertawa.“Danny! Garing banget sih, k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments