Bagaimana jika mantan kekasihmu datang di hari pernikahan, bukan untuk memberi selamat, melainkan menagih janji yang pernah kamu ucapkan padanya? Itulah yang dihadapi Khalisa. Pada hari bahagia, saat ia resmi menjadi seorang istri, masa lalunya datang untuk menagih janji yang pernah terucap. Sebelum bulan madu dimulai, Khalisa harus menepati janji itu, atau ia akan kehilangan orang yang dicintainya. Ia harus rela memberikan malam pertamanya kepada sang mantan. Dari sinilah hubungan terlarang itu bermula, hubungan yang seharusnya tidak pernah mereka jalani. Hingga akhirnya, dua garis biru mengubah segalanya.
View MoreKhalisa
────୨ৎ──── જ⁀➴ Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah detik-detik yang paling dinanti. Malam ketika dua jiwa yang saling mencinta melebur dalam satu pelukan di atas ranjang, sama seperti aku dan Alzian saat ini. Di sudut kamar, ratusan amplop bertumpuk laksana gunung kecil, sementara kado-kado tertata rapi di atas meja. Namun, mataku tertambat pada satu kotak mungil yang enggak sengaja terjatuh, berhiaskan simbol hati yang kini retak terbuka. Jam tangan mewah itu terburai dari cangkangnya, lalu memantulkan cahaya lampu gantung yang berkilau di atas kepala kami. "Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku lirih, jari-jariku masih berdiam di tengkuknya. "Enggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?" "Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," jawabnya sambil melepas satu per satu bagian dari setelan hitam bergaya keraton. Blangkon yang tadi melekat rapi di kepalanya kini sudah tergeletak di samping ranjang. Kain batik yang membalut tubuh bagian bawahnya pun meluruh perlahan, menyisakan hanya sehelai Bokser yang membungkus tipis pinggangnya. "Memangnya, kenapa?" "Enggak, cu—cuma, ummmmmhh—" Kata-kataku tenggelam, dibungkam oleh bibir tipisnya yang menempel begitu tenang. Ada jejak cherry di sana. Masam, menggoda, dan menyisakan rasa yang enggak bisa kutolak. "Mas, kamu mau sekarang?" "Iya, dong, Sayang. Kan, ini malam pertama kita," bisiknya sambil mengurai satu per satu kancing kebaya putihku yang bermotif bunga. "Kalau enggak sekarang, terus, kapan lagi?" "Tapi, aku belum siap, loh, Mas." Aku sempat merengut, tapi sentuhan tangannya yang selembut beludru itu, perlahan membimbing bibirku membentuk senyum. "Sayang, nggak apa-apa, kok. Sakitnya itu cuma di awal, waktu tusukan pertama aja, percaya, deh!" bisiknya, mencoba menenangkanku. Tapi bukannya tenang, pikiranku malah ke mana-mana. "Kok kamu bisa tahu, sih, Mas? Kamu pernah ngelakuin ini sama siapa sebelum sama aku? Hah?" Aku mendorong dadanya spontan, membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Namun dia kembali mendekat, memelukku dengan ekspresi yang enggak bisa kujelaskan. "Enggak ada satu pun, kamu yang pertama, Khalisa." "Halah. Bohong!" seruku sambil mencoba melepaskan pelukannya, "Lepas, atau aku bakal teriak?" "I—iya. Okay ...." Begitu aku berhasil lepas, aku segera merapikan kebaya dan jilbabku. Rasanya akan jauh lebih baik kalau aku berada di depan, bersama saudara-saudara untuk menyambut para tamu undangan. Toh, sekarang masih jam delapan malam. Pasti masih ada saja tamu yang datang. Apalagi ini malam minggu. Aku hampir saja membuka pintu ketika namaku terdengar lantang dari belakang, "Khalisa!" Suara itu membuatku berhenti sejenak. Aku menoleh sedikit dan berkata, "Lebih baik kita nggak usah ngomong, sampai kamu benar-benar bisa membuktikannya, Mas!" "Khal—" "Sssttttt," potongku, sambil menggeleng pelan. Aku sudah enggak mau ambil pusing lagi. Mungkin baginya ini cuma hal sepele. Tapi buatku, ini bukan perkara kecil. Kenapa, sih, kebanyakan laki-laki berharap bisa mendapatkan istri yang belum pernah disentuh, alias 'masih suci/perawan'. Mereka berlomba-lomba untuk jadi yang pertama menyentuhnya. Tapi kenapa standar itu enggak bisa berlaku juga untuk perempuan? Untukku? Aku mengabaikannya. Begitu tanganku menyentuh gagang pintu dan mulai menariknya, tiba-tiba sebuah sentuhan ringan mendarat di bahuku, "Khalisa?" "Hiiiihhhh," desisku sambil menepis tangannya ke samping. "Kebayamu," ucapnya, ada getaran halus di suaranya. "Benerin dulu kebayamu kalau mau keluar." Aku berbalik, tatapan kami bertemu. Ada genangan yang menggantung di matanya. "Maksud kamu?" tanyaku pelan. Dia menunjuk ke arah dadaku. Baru kusadari, karena tarik-menarik tadi, posisi Bra-ku bergeser ke dalam. Kebaya putih bermotif bunga yang sedikit transparan ini membuat kismis mungilku tampak lebih jelas dari yang kukira. "Oh, maaf," timpalku sembari merapikan si mungil yang menyembul malu-malu. Saat aku kembali menatap lelaki ini, air matanya sudah jatuh, mengalir melewati leher dan dadanya, lalu menghilang di atas perutnya yang agak berisi. Ada yang ganjil saat pandanganku tertuju pada bokser hitamnya. Sebuah tonjolan tampak jelas, dan dari serat-serat kainnya, mengalir cairan berwarna putih pucat. Jujur, aku masih belum mengerti, apakah itu sisa air mata yang sempat lenyap tadi, atau ada cairan lain yang belum sepenuhnya kupahami. Aku mengernyit dan mengangkat alis. "Mas Alzian? Ka—kamu?" Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh di lantai, aku sempat menangkap lengannya. "Mas, kamu kenapa? Kamu sakit?" Wajahnya tampak pucat. Tangannya mencengkeram bokser dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Dia terbaring sambil menatap lampu gantung. "Enggak, aku enggak apa-apa," gumamnya. Tapi sorot matanya berkata lain. Jelas saja keningku berkerut dan berkata, "Wajahmu pucat, loh, Mas." Dia enggak menjawab. Tatapannya goyah, seperti sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan gerakan yang tampak dipaksakan, dia berdiri dan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Aku kuat, kok. Tuh, lihat, kan!" Aku masih berlutut di depannya, menatap dengan penuh tanda tanya. Tapi tiba-tiba, aroma aneh menyelinap ke hidungku. Refleks, aku langsung menutup hidung. Mataku membelalak, tertuju pada tonjolan di Boksernya yang basah, tampak aneh dan membuatku mual. "Mas..." pekikku sambil menggigit bibir, menahan tawa yang tiba-tiba saja muncul. "Kamu udah keluar secepat ini, hmm?" Wajah Alzian langsung berubah. Seolah aku baru saja menusukkan belati ke dadanya. Matanya berkedip cepat, napasnya tertahan, dan bibirnya sedikit terbuka. Seakan mencoba berkata-kata, tapi enggak ada satu pun yang keluar. Jadi aku cuma membatin dalam hati, "Aku yakin kalau Alzian keluar secepat ini, pasti dia laki-laki yang masih segel. Yey!" Sampai akhirnya, yang keluar dari mulutnya hanya satu kata, "Maaf." Aku mengangkat alis, "Maaf?" pura-pura galak dengan meninggikan nadaku satu oktaf. "Kamu bilang maaf? Iya!!?" Aku pun berdiri. Kini mata kami sejajar. Bibirnya tampak bergetar saat aku mengunci pandang ke arahnya. Dia bilang, "Aku sumpah, aku nggak tah—" "Ssst." Cepat, jari telunjukku memotong bibirnya. Matanya membelalak dan tubuhnya menegang. Saat aku mendekat, napasnya makin enggak beraturan. "Mas..." bisikku lembut, menahan tawa yang hampir enggak sengaja keluar. "Aku enggak marah." Raut bingung masih membayang di wajahnya. Jadi, aku menatapnya dengan tenang, "Kita baru aja menikah sembilan jam yang lalu, Mas. Kamu pikir aku bakal marah cuma karena hal kayak gini?" Dia masih terdiam, seperti enggak percaya sama apa yang baru saja dia dengar. Aku tersenyum tipis. Lalu perlahan mendekatkan bibirku ke telinganya, "Kalau kamu masih punya tenaga, kenapa nggak kamu coba lagi aja, Mas?" Dan sekarang .... Wajahnya jauh lebih pucat.Tujuh hari kemudian …ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩"… Ku tak tahu namanya patah hati. Perasaan ini tak terbukti. Sampai aku bertemu kamu. Dan kita saling memanggil kamu … Bohong, aku tahu kamu berbohong. Cinta dan setia hanyalah kata. Aku tidak baik-baik saja. Ku terluka di tempat yang sama …”Lagu Aruma/Raim Laode – Ekspektasi mengalun pelan dari sudut kamar. Ruangan ini memang tak pernah ramai. Hanya lampu meja yang selalu menyala temaram, menunggu pemiliknya menyalakan lampu utama. Ya, suamiku ... Aku selalu menyambutnya saat pulang. Tapi sekarang sudah pukul sebelas malam dan dia belum membuka pintu itu.Seperti biasa, angin malam berdesir lembut, mengetuk kaca balkon dengan pelan. Aku duduk di depan meja rias, menatap bayanganku di cermin."Benarkah ini aku?"Aku menarik napas perlahan. Tubuhku terasa asing. Tanganku meraba perut, sementara detak jantungku berpacu dengan cepat.Bagaimana kalau aku nanti benar-benar mengandung anak yang bukan darah daging suamiku?Papa sering menyetubuhiku se
Papa beranjak, melepaskan cacingnya yang sejak tadi bersarang di rahimku. Ia lalu mendekatkannya ke mulutku, tepat saat aku menguap karena masih mengantuk. Sebuah senyum mengembang di bibir mertuaku ketika ia merasakan sentuhan lembap dari ujung lidahku yang terulur, mengulas ujung cacingnya. Jujur saja, aku merasa jijik. Bau amis dan anyirnya sama sekali tak mencerminkan pria yang katanya berdarah bangsawan itu. Papa tampak menikmati sensasinya. Senyumnya melebar saat aku tersedak oleh cacingnya yang sempat menyentuh tenggorokan. “Hummmm ... Emmm-emmm ... Mmm-mmm.“ Kedua tangan Papa mencengkram kepalaku kemudian mendorongnya maju mundur. Mata Papa tampak sayu menatap ke bawah ketika kerongkonganku berkontraksi meremas-remas kepala cacingnya. Aku berontak, menarik kepala cacing Papa, dan tiba-tiba cairan aneh keluar dari mulutku. Ya ampun, sebanyak ini cairannya, sampai meledak di dalam mulutku? Tanganku terangkat, melindungi wajah dari semburan benih yang sesekali masih m
15 menit kemudian … “Ah??! Pa … Lepasin!!!" "Mmmmhhhh … Mmmhhhhh," balas Papa sambil menyumpal bibirku yang tengah berteriak-teriak antara takut dan marah. Semakin keras aku berteriak, semakin rakus Papa melumat bibirku hingga aku terengah, kehabisan napas, dan berhenti berteriak. Ciuman pagi ini, kenapa aku malah mendapatkannya dari orang yang salah. Papa menarik kedua cup bra-ku ke bawah. Sepasang bukit kembar yang putih dan padat pun tersembul. Dihiasi kismis berwarna cokelat kemerahan yang mulai mengeras. “Pa ... Udah cukup!" desisku. Papa sibuk meremasi dadaku dan aku hanya menggeliat menerima sentuhan dari mertua yang tersenyum mesum sambil terus memainkannya. “Oh-Ohhhhhh ... Nduk. Mmmmhhh.“ Tubuhku tiba-tiba tersentak ketika kepala Papa mendarat dan mencaplok kismis imutku yang sebelah kanan. Belum sempat aku mengendalikan diri, tiba-tiba lidah Papa yang kasar itu bergerak-gerak di atas kismisku. “Pa ... Ahhh ... Dosa besar Pa, Istighfar!” Suara rintihan kecil m
Khalisa ────୨ৎ────જ⁀➴ 📞 "Serius, ini Heksa?" jeritku di depan cermin. Daniar hanya mendesah di seberang telepon. "Gila ...." "Kamu dulu nggak kayak gitu juga, kan?" "Enggak, lah! Emang aku sepolos itu, ya?" "Terus, kenapa kamu kaget?" "Enggak tuh, biasa aja." "Yakin?" Aku terdiam, lalu melangkah ke balkon. Biasanya, jam segini aku memperhatikan punggung Alzian yang sedang masuk ke mobil. Tapi kali ini sudah hari kedua sejak dia pamit ke Kalimantan. "Daniar, kamu bilang dia unggah foto lagi. Coba screenshoot, kirim ke aku sekarang!" "Tapi janji dulu, jangan lompat dari balkon, ya!" pekiknya. Aku menengok ke bawah. Ya, cukup tinggi kalau mau lompat dari lantai tiga. "Iya ...." Satu pesan masuk. Aku langsung melempar ponsel ke ranjang. Napasku sesak, antara ingin menangis, marah, dan malu sendiri karena bereaksi berlebihan. Langkahku ragu saat kembali mengambil ponsel itu. Layarnya masih menyala, menampilkan tangkapan layar dari Daniar. Foto itu jelas menu
"Aku nggak bisa biarin nama Akademi kamu tercoreng gara-gara aku, Fenya!" seruku, menatap punggungnya yang hanya berjarak beberapa langkah. Dia diam, bahunya sedikit naik turun menahan napas. Jadi aku lanjutkan, "Kata Papamu, resikonya bakal nggak bisa dicegah kalau kita nggak nikah."Dia berhenti. "Terus apa gunanya, Heksa? Kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa? Pernikahan kita cuma kamu anggap pelarian, gitu?""Enggak gitu. Aku cuma … cuma belum siap aja untuk hal yang itu." Aku maju selangkah, ragu-ragu menyentuh lengannya. "Fenya, nggak usah lakuin ini lagi, ya? Aku nggak mau kamu celaka."Dia berbalik dengan sorot mata yang menyala. Dia enggak pandai menangis, cuma menekuk alisnya, sambil bilang, "Aku bakal lakuin apa pun yang aku mau. Dan kamu nggak berhak ngelarang!""Aku berhak!" bantahku, suaraku pecah. "Aku nggak mau calon istriku kenapa-kenapa!""Dan aku nggak mau punya suami yang nggak punya perasaan apa-apa!" balasnya, tak kalah keras."Dan aku juga nggak mau istriku cu
Aku melangkah menembus pintu aluminium yang dibiarkan terbuka. Bau karat dan oli menyambutku. Di lorong, terdengar suara logam jatuh. Instingku menyala. Perlahan, kurogoh pisau dari balik jaket.“Fenya?” bisikku.Tak ada jawaban. Tapi di ujung sana, aku melihatnya, terbaring enggak sadarkan diri, kedua tangan terikat pada pipa besi. Wajahnya bengkak, bibir pecah, darah menodai pipi dan kausnya.“Fenya!” Aku berlutut, mencoba menyadarkannya. Napasnya masih ada, lemah, tapi cukup memberiku harapan.Lalu suara itu terdengar, “Lama banget, sih!”Aku menoleh cepat.Biron muncul dari kegelapan, menggenggam linggis. Matanya merah, wajahnya gelap, seperti dirasuki setan.“Ha ha ha. Aku tahu kamu bakal datang, Bre,” gumamnya. “Kamu, kan, emang suka jadi pahlawan kesiangan?”Aku berdiri. Tubuhku tegak, meski pikiranku meledak. “Nggak harus kayak gini, Biron. Kita bisa obrolin baik-baik, kan. Kamu bisa—”“Aku udah bilang!” teriaknya sambil melangkah mendekatiku. “Bertahun-tahun, Bre! Tapi kamu m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments