Karma Perselingkuhan
Bab 8
Bukti Kebohongan
Semua mata tertuju padaku. Tegang. Terdengar kasak-kusuk dari beberapa ibu-ibu yang berdiri tidak jauh di sebelah kiriku. Mereka tetangga mertuaku yang mungkin penasaran melihat banyak orang di sini.
Aku menatap tajam suami, mertua dan perempuan itu.
"Kamu, Mbak! Kamu yang nerima telponku kemarin pagi, kan?" Wajah perempuan yang aku tidak namanya itu, semakin pucat. Terlihat sekali kalau ia gugup. Beberapa kali, dia mengusap keringat yang bermunculan di wajah berhias make up tebal itu.
"Dan, kamu, Mas! Tadi pagi, kamu, nolak diajak video call, alasan sudah mau masuk kerja. Terus kamu ngirim foto sedang berada di toko. Kamu pikir, aku nggak tau, kalo kamu udah nggak kerja di sana lagi? Ingat, Mas! Di sana banyak yang kenal aku. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu! Apalagi setelah perselingkuhanmu dengan Nurma beberapa bulan lalu!"
Mas Ahmad terlihat kaget dengan kalimatku. "Dek, tapi, itu kan, udah berlalu! Kenapa kamu ungkit lagi?"
"Kamu sudah tahu jawabannya, kan? Aku memaafkanmu, dan tidak mengatakan pada orang tua kita, asal kamu berubah, nyatanya?"
Hening sesaat. Aku menghela napas kasar. Tidak! Aku tidak boleh menangis dan terlihat lemah.
"Asal kamu tau, ya, Mas. Sebenarnya, aku sudah tau, kalo kamu itu, pulang ke sini dari seminggu yang lalu! Dan, perempuan ini, kamu bawa serta! Karena itulah, kamu tidak menemui kami, anak dan istri sahmu. Ya, kan?"
Kasak-kusuk semakin ramai terdengar. Beberapa warga mulai menyalahkan suami dan mertuaku karena membawa orang asing ke rumah ini. Parahnya lagi, mereka berdua tidak melaporkan keberadaan perempuan itu pada pihak berwenang.
"Hei, jangan asal ngomong kamu! Punya bukti apa, kamu menuduh anakku begitu? Apa kamu sudah tidak punya sopan santun, hah?" teriak ibu mertua.
Aku tersenyum sinis. Lalu menyerahkan ponselku pada Pak Rt dan Pak Rw, menunjukkan semua bukti yang kupunya. Rekaman suara telepon dengan Bu Rani yang menerangkan Mas Ahmad sudah tidak bekerja. Rekaman suara saat aku menelepon Mas Ahmad, dan perempuan itu yang menerima. Waktu itu aku memang sempat shock dan bingung saat mendengar suara perempuan itu pertama kali. Hingga kemudian aku mendapatkan ide untuk merekam pembicaraan kami. Kemudian, rekaman suara saat aku menelepon pagi tadi.
Aku juga menunjukkan beberapa foto yang diambil oleh teman Kang Amin. Saat aku tahu, Mas Ahmad pulang bersama perempuan lain, aku memang marah. Namun, tetap mencoba berpikir jernih, mencoba meminta bantuan orang tuaku dan Kang Amin. Kemudian, Kang Amin meminta bantuan temannya yang orang sini, untuk mengawasi rumah ini, secara diam-diam. Hasilnya, aku menerima beberapa foto yang memperlihatkan keberadaan perempuan itu bersama Mas Ahmad.
Sekali lagi, aku menatap Mas Ahmad, perempuan itu, dan ibu mertua. Mereka terlihat gugup.
"Sekarang, pikir aja pakai logika, Pak Rt, Pak Rw. Saya menelepon Mas Ahmad jam setengah enam. Dan yang menerima seorang perempuan. Ngapain perempuan pagi-pagi udah ada di kamar orang? Kita semua, manusia dewasa. Tidak perlu dijelaskan juga sudah tau, kok, apa yang terjadi. Kalau cuma sekedar bertamu, tidak sopan sekali dong, masuk ke kamar dan mengangkat telepon orang. Kecuali memang mereka sudah sangat dekat, iya, kan?"
Beberapa orang terdengar mengiyakan pendapatku. "Kalau memang cuma bertamu, kenapa tidak dilaporkan keberadaannya? Kita semua tahu kok, peraturannya bagaimana. 1x24 jam, tamu wajib lapor. Begitu, kan?"
"Begini, Mbak Fat, Mas Ahmad, Ibu Sri. Ini masalah keluarga, tidak baik kalau dibicarakan seperti ini. Menjadi tontonan banyak orang. Alangkah lebih baik, kalau kita berbicara di dalam. Yang berkepentingan saja. Yang lain, mohon kesediaannya, untuk meninggalkan tempat ini. Biar suasana tidak semakin panas, bagaimana?" usul Pak Rw yang sedari tadi diam saja.
Setelah dua kali diminta, akhirnya, para tetangga meninggalkan halaman rumah mertuaku. Tinggal tersisa aku, Zea, Kang Amin dan istrinya, Mas Ahmad, ibu mertuaku dan perempuan itu.
Kami semua masuk ke ruang tamu rumah mertuaku yang terbilang mewah untuk ukuranku. Aku duduk diapit Kang Amin dan istrinya yang masih menggendong Zea. Mas Ahmad duduk di depanku, terhalang meja. Pria yang dulu sangat kupuja itu, duduk diapit oleh ibunya dan perempuan itu. Sementara Pak Rt dan Pak Rt duduk di dekat pintu, dengan menggunakan kursi yang diambil dari teras. Suasana sangat tegang dan terasa panas. Untunglah Zea tidak menangis. Beberapa kali aku melihat Mas Ahmad diam-diam menatap Zea.
"Dari tadi, Pak Udin, nggak kelihatan. Lagi ke mana, ya, Bu?" Pak Rw menanyakan keberadaan ayah mertuaku.
"Oh, em, anu. Suami saya lagi ke rumah besan. Di sana sedang ada hajatan, jadi dia menemani cucu kami menginap di sana. Rencananya saya juga mau nyusul, Pak."
"Sejak kapan?" tanya Pak Rw lagi.
"Baru kemarin sore berangkatnya, Pak," jawab ibu mertuaku.
"Oh. Kalau begitu berarti, Pak Udin tahu, ada tamu di rumah ini?"
Ibu mertua dan Mas Ahmad diam.
"Maaf, Mbak, namanya siapa? Dan berasal dari mana?" tanya Pak Rw pada perempuan itu.
Perempuan itu mengangkat wajahnya yang sudah tidak sepucat tadi. "Saya Fitri, Pak. Dari kecamatan sebelah," jawabnya tenang.
"Ada kepentingan apa, Mbak Fitri di rumah ini?"
Perempuan yang mengaku bernama Fitri itu, tidak menjawab.
"Gini, Bu Sri, Mas Ahmad, dan Mbak Fitri. Benar kata Mbak Fat tadi. Tamu, 1x24 jam, itu wajib lapor. Apapun alasan keberadaan Mbak Fitri di sini. Apalagi menurut bukti yang diberikan Mbak Fatimah, Mbak Fitri ada di rumah ini, sejak beberapa hari lalu, betul?"
Mereka semua diam. Aku melirik ke arah Fitri. Sekilas memang terlihat cantik. Kulit putih mulus, tubuh sintal, hidung mancung, mata lebar, rambut panjang tergerai. Secara fisik, aku berbeda jauh dengannya. Kulitku sawo matang, walaupun tidak kusam. Penampilan juga sederhana. Hanya kulot panjang dipadu dengan atasan panjang pula. Kerudung walaupun tidak terlalu lebar, tapi menutupi dada dan melewati pundak.
"Maaf, Pak. Tadinya, Fitri ini tidak bermaksud menginap. Tapi, kakaknya tidak jadi menjemput, jadi saya minta dia menginap saja." Ibu mertua akhirnya angkat bicara. Sungguh aku sangat terkejut mendengar penuturannya. Entah bagaimana jalan pikiran ibu mertua. Jelas-jelas anak lelakinya masih memiliki istri, malah seolah sengaja didukung membawa perempuan lain.
"Apapun alasannya, tetap saja salah, Bu. Kan, peraturannya jelas. Apalagi, maaf ibu, kan, Bu Sri bukan warga baru di sini. Saya juga bukan tidak tahu, ada orang asing di rumah ini. Kemarin, warga sudah ada yang melaporkan bahwa Ahmad membawa perempuan pulang bersamanya. Tapi, karena ada pekerjaan lain, saya baru akan ke sini sore nanti."
"Oke saya yang salah! Saya memang sengaja meminta Fitri menginap di sini! Asal kalian tau, Ahmad dan Fitri ini, dulu hampir bertunangan. Tapi, Fitri merantau dulu ke luar negeri, dan Ahmad nggak sabar nunggu! Jadi, Ahmad nikah sama Fatimah, tanpa persetujuan saya! Lalu, sekarang Fitri pulang. Saya berharap dia masih mau jadi menantu saya! Dan, sepertinya dia tidak keberatan!"
Jeder!
Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Aku beristighfar berkali-kali. Memohon ampun pada Rabb-ku sekaligus meminta kekuatan, agar tetap sadar. Mendengar pengakuan ibu mertua, aku merasa jantung seolah lepas dari tempatnya.
Entah bagaimana jalan pikiran ibu mertua. Bukankah beliau seorang perempuan, sama sepertiku? Tapi, kenapa tega mengizinkan bahkan seolah mendukung anaknya untuk menyakitiku? Aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun sebenarnya ingin menjerit sekuat tenaga.
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend