Karma Perselingkuhan
Bab 7
Terbongkarnya Rahasia
Aku mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa sesak. Mencoba berpikir positif tentang suamiku. Memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin, perempuan itu saudaranya yang kebetulan menginap di rumah mertuaku. Mungkin, Mas Ahmad sedang ke kamar mandi dan perempuan itu berinisiatif menerima panggilan telepon dariku.
"Halo, ini siapa?" tanya pemilik suara di seberang sana, menyeret ingatanku bahwa aku belum menjawab pertanyaannya.
Dengan suara bergetar, aku balik bertanya, "Mas Ahmadnya ada?"
"Lagi ke kamar mandi. Maaf ini siapa?"
Aku menghela napas mendengar pertanyaan perempuan itu. Apa nomorku tak diberi nama oleh Mas Ahmad sehingga perempuan itu menanyakan siapa aku?
"Saya istrinya, kamu siapa? Lancang banget ngangkat telpon orang!"
Hening untuk beberapa saat, hingga samar terdengar suara laki-laki bertanya, "siapa?"
"Halo," sapa laki-laki di seberang telepon. Itu suara Mas Ahmad.
Tiba-tiba aku merasa seluruh persendian lemas.
"Kamu di mana, Mas? Dan, siapa perempuan itu?" teriakku setelah berusaha mengumpulkan keberanian untuk membentaknya.
"Oh, kamu, Dek. Aku di Jakarta. Lagi siap-siap kerja pagi. Itu tadi teman kerja yang baru. Tadi, pas mau ke kamar mandi aku titip hape. Takut ada yang menelpon, minta tolong angkatin."
Aku memejamkan mata, berusaha untuk tetap sadar. "Kerja di mana?"
"Ya di toko Pak Burhanlah. Di mana lagi?"
Aku menarik napas dan membuangnya kasar. Mencoba berpikir mencari cara agar Mas Ahmad mengakui kebohongannya.
"Oh, kirain pindah kerja. Ya sudah, aku cuma khawatir karena akhir-akhir ini kamu susah dihubungi." Aku berusaha berpura-pura tidak tahu menahu tentang dia.
"Iya, Dek. Aku sibuk. Ya sudah, aku kerja dulu. Assalamualaikum." Mas Ahmad mengakhiri percakapan denganku.
Aku menghirup udara sebanyak mungkin, lalu membuangnya kasar. Begitu terus sampai berkali-kali. Berharap sesak ini sedikit berkurang. Aku harus mencari cara, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Andai memiliki banyak uang, tentu sudah kusewa detektif untuk menyelidiki masalah ini.
***
Ragu-ragu, aku melangkah memasuki teras rumah orang tua Mas Ahmad. Kupeluk erat Zea yang tertidur pulas dalam gendongan. Setelah berkali-kali meyakinkan orang tuaku, akhirnya mereka mengizinkan aku pergi ke rumah ini. Aku tidak sendiri, ada Kang Amin dan istrinya yang diam-diam datang bersamaku. Tetangga yang sudah seperti saudara sendiri itu, kuminta melakukan hal lain. Untuk berjaga-jaga.
Sengaja aku berjalan kaki ke sini, agar tidak menimbulkan suara yang bisa saja memancing kecurigaan penghuni rumah.
"Assalamualaikum." Kuketuk pintu kayu berwarna coklat di depanku. Tak ada sahutan. Padahal tadi samar-samar aku mendengar suara orang ngobrol. Aku tak menyerah. Dengan tangan gemetar, pintu kuketuk lebih kencang, diiringi suara salam yang kencang pula.
Akhirnya terdengar suara sahutan salam dari dalam, kemudian pintu dibuka. Tampak ibu mertua berdiri di depanku. Wanita yang masih terlihat sehat di usianya yang melewati lima puluh itu, menatapku dengan pandangan sinis.
"Dasar nggak tau sopan santun! Nggak bisa pelan-pelan mengetuk pintunya? Kamu pikir saya tuli, hah?" cerocos ibu mertua tanpa basa-basi. Boro-boro menyuruh masuk.
"Maaf, Bu."
"Mau apa kamu ke sini?" tanya ibu mertua dengan nada sinis.
"Saya mau nginep, Bu. Kan, kata Ibu, kalo saya mau Zea dekat sama keluarga bapaknya, harus sering ke sini," jawabku pura-pura polos, sambil berusaha menahan emosi.
Kulihat, wajah ibu mertua mendadak berubah menjadi sedikit tegang. "Oh. Tapi, kenapa nggak nelpon dulu?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan ibu mertua, terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman. Refleks, aku menoleh. Terlihat dua buah sepeda motor yang berhenti. Yang membuat dadaku serasa akan meledak, Mas Ahmad turun dari salah satu sepeda motor itu. Sedangkan dari sepeda motor satunya, terlihat seorang perempuan turun juga. Tangan mereka tampak menjinjing beberapa kantong kresek berlabel minimarket terkenal.
Mereka berdua tampak terkejut melihat kehadiranku dan Zea. Terutama Mas Ahmad. Dia bahkan diam saja di tempatnya berdiri.
"Baru pulang kerja, Mas? Cepat juga, ya, dari Jakarta ke sini, cuma empat jam. Naik ojek pula. Bukannya tadi pagi, kamu ngirim foto lagi kerja, ya?"
"Dek, ka … kamu di sini?"
Aku tersenyum sinis, "kenapa? Nggak boleh aku datang ke rumah mertua sendiri? Yang nggak boleh itu, mengunjungi dan menginap di rumah mertua orang, ya, kan, Mbak?"
Wajah perempuan bersama Mas Ahmad terlihat pucat mendengar kalimatku.
"Ibu, apa karena ada perempuan itu, jadi ibu tidak menyuruhku masuk? Memangnya, dia siapa, Bu? Jangan bilang, itu selingkuhan Mas Ahmad yang sengaja dilindungi oleh keluarga ini."
Wajah ibu mertua terlihat pucat. Wanita yang wajahnya mirip suamiku itu terlihat gugup. Apalagi saat Kang Amin dan istrinya, datang bersama ketua RT serta ketua RW di lingkungan rumah mertuaku. Tetangga kiri kanan juga mulai keluar, mungkin mereka penasaran dengan apa yang terjadi.
"Ada apa ini?" tanya Pak Dedi, ketua RT, yang kebetulan mengenalku.
Ibu mertua, Mas Ahmad, dan wanita itu terdiam. Mungkin tidak menyangka aku datang membawa orang lain.
Mas Ahmad berjalan ke arahku. "Kamu ini, kebiasaan loh. Nggak nanya dulu langsung manggil orang banyak! Bisa nggak kamu nanya dulu baik-baik?"
"Kenapa, Mas? Takut?" aku bertanya balik. Mas Ahmad terlihat mulai emosi. Sedangkan perempuan itu hanya diam berdiri di samping suamiku.
"Ibu, bisa jelaskan, siapa perempuan ini, dan kenapa bisa tinggal di rumah ini?" Wajah ibu mertua terlihat semakin tegang dan gugup.
Semua yang hadir di halaman rumah mertuaku terlihat bingung. Aku menyerahkan Zea pada istrinya Kang Amin.
"Saya mohon maaf, Pak Rt, Pak Rw. Karena sudah mengganggu ketenangan lingkungan di sini. Maksud kedatangan saya ke sini adalah, untuk melaporkan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh suami dan mertua saya. Kenapa saya bilang ini semena-mena? Coba, tanya sama suami dan mertua saya, siapa perempuan ini? Kenapa dia ada di rumah ini?"
Pak Rt dan Pak Rw menanyai suami dan mertuaku tentang perempuan itu.
"Di-dia, tamu kami, Pak. Maaf, belum sempat lapor, karena, tadinya nggak niat menginap," jawab ibu mertuaku. Entah ke mana ayah mertua. Sejak tadi tidak terlihat batang hidungnya.
"Tamu? Tapi tidur bareng anak laki-laki ibu, iya?" tanyaku sinis.
"Jaga omongan kamu, Fatimah! Jangan sok tau! Mereka baru datang kemarin sore!" bentak ibu mertua. Sementara suamiku dan perempuan itu hanya diam, dan terlihat gelisah.
Aku tersenyum sinis. "Yakin, Bu?"
"Kamu pikir ibu ini tukang bohong apa?"
Aku tertawa melihat kemarahan ibu mertua. "Ibu, ibu ini sudah tua. Mbok ya, tobat, gitu."
"Maksud kamu apa?" Ibu mertua menaikkan volume suaranya.
"Bu, anak laki-laki ibu, pagi tadi, mengaku masih berada di Jakarta, loh. Dan dia mengirimkan foto bahwa dirinya sedang bekerja. Padahal, saya tahu, dia sudah dipecat dari dua minggu lalu."
Semua yang hadir di tempat ini tampak terkejut mendengar penuturanku. Itu, baru sedikit yang aku buka. Entah bagaimana reaksi mereka saat semua bukti yang kupunya dikeluarkan.
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend