"Apakah Anda buta atau sengaja ingin mempermalukan aku di depan umum, Pak? lihatlah aku ini sudah jauh berada di pinggir, justru seharusnya aku yang berkata apakah ini jalan nenek moyangmu sampai kamu harus memaki orang yang jelas-jelas sudah dipinggiran seperti ini!" Balasku tak mau kalah.Enak saja dia menyalahkan aku, apa matanya buta sampai tak bisa melihat jika aku berada jauh dari jalur jalan raya itu? lelaki itu menatapku tajam, tapi aku tak gentar kutatap balik manik hitam itu untuk menjelaskan padanya jika aku bukanlah wanita yang bisa ia intimidasi seenaknya. Jika kemarin di tempat kerja aku hanya menunduk diam mendengar semua bentakannya, karena menghargai dia yang anak atasanku tapi tidak saat ini, diluar jam kerja aku adalah aku dan dia hanya seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali. Jangan harap aku diam saja saat aku diperlakukan seenak jidat nya."Sudah sana lewat saja, toh motorku tak menghalangi jalanmu, Tuan!" Sengaja ku tekankan kata tuan untuk menyindirnya.
"Kak Inggit?" Gumamku.Wanita itu menatap lekat padaku, tak ada sapa apapun malahan kakak iparku itu seolah tak mengenaliku sama sekali."Mbak ini uangnya," lelaki yang di susul kak Inggit memberikan selembar uang kertas berwarna merah padaku."Mas ayok cepat, nanti kita terlambat!" Kak Inggit menggamit lengan lelaki itu kemudian menariknya untuk keluar dari apotek."Eh tunggu Sayang, kembaliannya belum," seru lelaki itu, menghentikan langkah Kak inggit yang terlihat tergesa-gesa. "Sudah biarkan saja untuk dia kembaliannya, anggap saja amal."Kak inggit menunjukku dengan dagunya, tepukan dari Mbak Diah mengembalikan kesadaranku seketika. Aku bergegas keluar menghampiri wanita yang bergelar kakak iparku itu, rasa penasaran yang bergelayut dari siang seolah terus menghantui. Aku tidak rela jika sampai Abangku dipermainkan oleh istrinya sendiri, apakah mungkin Kak inggit bermain belakang dari Bang Gagas, sedangkan demi perasaan wanita itu Abangku sampai tak perduli dengan perasaan Ibu
"Abang ...!" Bang Gagas terlihat begitu marah, wajahnya sudah merah padam mungkin karena melihat wajah istrinya yang tampak bonyok dimana-mana, entah bagaimana wanita itu mendapatkan tambahan lebam diwajahnya, yang jelas itu bukan karena ulahku karena tadi aku hanya menamparnya dua kali dan itu tidak mungkin sampai membuat wajahnya separah itu."Jangan berpura-pura bodoh, Din! Kamu kan yang tadi membuat Mbakmu sampai babak belur seperti ini?" Sungut bang Gagas menudingkan jarinya di keningku."Memang aku menamparnya tadi, Bang, tapi tidak sampai—" Plak ..."Jangan pernah sekali lagi menyakiti istriku, apalagi sampai membuatnya babak belur seperti ini klau tidak ingin menyesal, Din!" Perih? panas? sakit? tentu saja! Tapi rasa sakit di pipi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit pada gumpalan merah di dada ini yang terluka sangat dalam, lebih sakit rasanya ketimbang mendapatkan tamparan dari kakak sendiri yang selama ini selalu berlaku sopan dan penuh kasih terhadap siapapu
"Dina ada yang mau bertemu, Din," panggil Mbak Diah ketika aku sedang mencatat barang yang masuk hari itu."Siapa, Mbak? apa Mbak pernah lihat orang ya?" sahutku dari dalam gudang."Ituloh, Din, lelaki yang beberapa bulan yang lalu pernah ribut denganmu."Tanpa bertanya lagi, kuhentikan gerakan tanganku yang tengah mencatat obat-obatan lalu bergegas keluar menemui lelaki yang Mbak Diah maksudkan tanpa bertanya lagi padanya."Ada apa Abang menemui ku, apa istrimu itu kembali mengadu yang bukan-bukan lagi tentangku, atau tentang ibu?" ketusku sambil berpura-pura menulis tanpa mau menatap manik coklat lelaki pengganti ayah yang sebenarnya sangat aku rindukan ini."Jangan kegeeran kamu, Din! Abang kesini hanya ingin mengundang ibu datang ke selamatan 4 bulan kehamilan Inggit, acaranya diadakan hari minggu aku harap ibu bisa datang satu hari sebelumnya, kamu juga boleh datang jika kamu mau."Bang Gagas memberikan sehelai kartu undangan yang bertuliskan tasyakur 4 bulanan anak pertama Inggi
"Waduh siapa ini yang sedang makan enak gratis, ngambil lauknya banyak banget lagi apa sedang memperbaiki gizi, Bu!"Ibu yang kulihat tengah menyantap makanannya menoleh ke arah asal suara yang baru saja menegurnya, ternyata itu mulut julidh Bu Arum Ibunya kak Inggit alias besan ibu sendiri.Ibu menyimpan sendok yang dipegangnya kemudian bergegas menghampiri besannya terlihat hendak bersalaman, sebagai adab sopan santun karena saat ini Ibu merasa hanya sebagai tamu dirumah anaknya sendiri.Sejenak Bu Arum memandang angkuhnya terlihat jijik menatap lengan Ibuku yang sudah menggantung hendak bersalaman dengannya, diambilnya sehelai tisu basah lalu bungkus kan ke jemari tangan yang hendak dipakainya bersalaman dengan Ibu.Setelah itu ia buru-buru membuang tisu yang bersentuhan langsung dengan lengan Ibu seolah Ibuku itu adalah kuman penyakit yang dapat menularkan virus padanya.Kuhampiri Bu Arum lalu mengulurkan tanganku padanya untuk bersalaman, namun sebelum dia menyambut uluran tangan
"kalian kalau sudah selesai berbenah baru boleh pulang, ya! Kalau mau bawa makanan sisa boleh, tapi jangan banyak-banyak seperlunya saja sisanya buat dibagikan nanti ke tetangga sekitar sini!" Bukan kata terima kasih, bukan kata tanya Ibu dan Dina sudah makan, atau sudah istirahat, tapi malah kata yang sangat menyebalkan keluar dari mulut pedas kakak iparku itu, tanpa menunggu jawaban kami dia kembali melengos pergi melenggang begitu saja seolah habis memerintahkan PRT nya saja. Benar-benar sangat teramat menyesal aku memberitahukan undangan Bang Gagas kepada Ibu, jika tahu akhirnya kami hanya dimanfaatkan tenaganya saja oleh mereka.Rasa sesak dalam dada belum bisa ku salurkan, rasanya malah semakin membuatku sulit bernafas seolah kekurangan oksigen dalam paru-paru. Ingin berteriak memaki mereka yang memperlakukan Ibuku seenaknya, tapi apalah daya Ibu pasti akan marah jika sampai aku membuat keributan di sini.Apa daya aku hanya bisa mengelus dada, menahan sekuat tenaga agar amarah
Sejak kejadian itu, tak pernah lagi kami berhubungan dengan Bang Gagas dan keluarga barunya, biarlah mereka bahagia dengan jalan yang dipilihnya.Kini kami hidup bertiga masih dirumah Aisyah, sebetulnya aku merasa tidak enak terus-terusan menumpang dirumahnya, karena kini aku sudah bisa menyewa kamar kost jika hanya untuk hidup berdua dengan Ibu dan membayar biaya kuliahku sendiri insyaAllah aku sudah sanggup, tapi Aisyah bersikeras jika sekarang kami adalah keluarganya dan tidak diperbolehkan pindah dari rumahnya kemanapun sampaikapanpun.Sekarang aku kerja paruh waktu di dua tempat, kegiatanku padat dari mulai bangun pagi hingga pulang malam hari, bagiku kini rumah hanyalah tempat persinggahan untuk sekedar merebahkan badan dari rasa lelah. "Jangan terlalu di forsir kerjanya, Din. Nanti malah drop, badanmu juga harus dirawat, diajak istirahat, diajak jalan-jalan sesekali, ini kok kamu tuh sibuknya melebihi pekerja kantoran." Seloroh Ibu yang tengah sibuk membuat kue pesanan tetangg
"Tunggu ! Ada apa ini, kenapa wanita ini kalian seret seenaknya, apakah kalian tidak tahu cara menghormati seorang wanita?" Bentak Pak Bimo anak bosku di apotek."Wanita ini maling, dia sudah mencuri ponsel milik ibu hamil itu, Pak!" Jawab salah satu laki-laki yang sedari tadi memegangi erat lenganku lalu menunjuk ke arah Kak Inggit."Benarkah? apakah ada buktinya kalau wanita ini seorang pencuri? apakah kalian melihat sendiri dia mencuri ponsel wanita itu? kenapa harus main hakim sendiri, kalian tidak tahu kah kalau negara kita ini negara hukum?!"Mereka semua mendadak terdiam membisu, tak ada lagi suara lantang yang mereka ucapkan seperti tadi, sebelum pak Bimo datang membelaku."Kenapa kalian semua diam, padahal tadi kudengar kalian begitu rusuh untuk menghakimi wanita ini. Dan Anda Nyonya, apakah benar ponsel ini, milik Anda?" Pak Bimo menunjukan ponsel yang kini berada ditangannya, dan orang-orang yang tadi terlihat garang padaku kini hanya bisa menatap apa yang Pak Bimo tunjuka