Begitu melihat nama Pak Sukmawibowo di layar ponsel, Alma langsung mengambil ponselnya dan berjalan cepat menuju kamar. Suaranya terdengar lirih namun mantap, “Permisi.”Arhan refleks ingin menahan, tapi lidahnya kelu. Ia hanya mengikuti Alma dengan tatapan curiga, lalu melangkah perlahan mendekati pintu kamar yang hanya tertutup setengah.Dari balik celah pintu, Arhan menajamkan pendengaran. Suara Alma terdengar samar, penuh kehati-hatian.“… iya, Pak. Saya akan siapkan malam ini .…” “… besok pagi saya usahakan ….” " ... saya akan datang .…”Arhan menyipitkan mata, mencoba menyatukan potongan kalimat yang tidak utuh itu. Ia tahu Alma sedang menelepon seseorang yang cukup penting. Nada bicaranya begitu formal, tegas, dan sangat berbeda dari biasanya.‘Mau apa dia malam-malam begini?’ pikir Arhan.Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Arhan buru-buru mundur dan berpura-pura masuk ke dapur, mengambil gelas kosong dan mengisi air ke dalamnya. Saat itu juga, Alma membuka pintu kamar
Suasana di ruang tamu mendadak hening ketika Alma membuka pintu. Tiga pasang mata langsung tertuju padanya seperti penyidik yang tengah menunggu tersangka memasuki ruang interogasi. Sorot tajam dan penuh kecurigaan menyambut langkahnya, namun Alma tetap berjalan tenang. Ia meletakkan kunci mobil di atas meja kecil di sudut ruang, lalu menatap satu per satu wajah yang menantinya tanpa sedikit pun rasa gentar.“Tumben semuanya ngumpul begini,” ujarnya datar, melepas sepatunya dan duduk di salah satu kursi.Arhan berdiri dengan wajah tegang, Nadine bersedekap dengan mata menyipit, sementara Ferika duduk dengan dagu terangkat, ekspresi tak kalah tajamnya.Nadine langsung memberi kode dengan tatapan kepada Arhan. Seolah berkata, “Cepat, tanya sekarang juga!”Arhan menarik napas panjang, lalu maju satu langkah. “Alma, aku mau nanya satu hal. Soal mobil yang kamu beli .…”Alma menoleh, ekspresinya netral.“Uang untuk beli mobil itu … kamu pakai dari tabungan kita?” suara Arhan tegas serta t
“Jangan-jangan … Alma pakai uang tabungan itu," gumam Arhan tiba-tiba."Tabungan? Maksud Mas tabungan apa?" Nadine mendekat dengan ekspresi penasaran."Tabungan kami berdua. Sejak dulu memang dia yang pegang." Wajah Arhan tegang. Matanya menerawang tajam seolah sedang mengingat sesuatu yang penting."Jadi tabungan itu dari dulu dipegang Kak Alma?” Nadine terus menggali, suaranya mulai meninggi. “Berarti selama ini kita nggak pernah tahu dia pakai untuk apa aja, kan. Sekarang tiba-tiba dia beli mobil segitu mewahnya … masuk akal nggak sih?”Arhan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia memang mempercayakan pengelolaan uang sejak awal kepada Alma. Ia tak pernah mengecek, tak pernah meminta rincian. Selama ini, Alma selalu mengatur semuanya dengan rapi. Tapi hari ini, dengan kemunculan mobil itu, rasa percaya itu mendadak hilang.“Mas,” Nadine kini berdiri di depan Arhan, kedua tangannya bertolak pinggang. “Kalau memang benar Kak Alma pakai uang tabungan buat beli mobil itu, Mas
Deru mesin mobil berhenti perlahan di area parkir khusus dokter. Logo elegan di bagian depan kap mobil langsung menjadi perhatian. Bahkan sebelum Alma membuka pintu dan melangkah keluar, beberapa karyawan dan dokter yang kebetulan melintas sudah berhenti untuk menoleh."Astaga, itu mobil siapa?" bisik salah satu perawat pada temannya."Mobil baru kayaknya. Mewah banget," sahut temannya dengan mata berbinar.Alma keluar dari mobil barunya dengan langkah ringan. Tasnya tergantung santai di lengan, dan kacamata hitam yang tadi sempat ia kenakan menambah kesan elegan. Beberapa perawat yang lewat sempat melirik ke arah mobil tersebut, bahkan berbisik-bisik penuh kagum."Itu … dokter Alma, kan?" ujar seorang dokter muda yang tengah berjalan melewati lorong dekat area parkir.“Iya, Dokter Alma makin keren aja sekarang, ya?” timpal yang lain.“Iya, gila itu mobil barunya mewah banget. Harganya nggak main-main loh!”Alma pura-pura tidak mendengar. Tapi senyum kecilnya menyiratkan kepuasan. Buk
"Ada apa ini?" tanya pria itu, langkahnya melambat saat melihat situasi yang cukup tegang di tengah showroom. Matanya menyapu kerumunan yang mulai memperhatikan, sebagian penasaran, sebagian lagi menahan diri ingin berkomentar. Felix menoleh tenang ke arah pria bersetelan formal itu. “Sales kamu baru aja hampir bikin pelanggan jatuh,” ucapnya datar, namun tegas. Suaranya cukup dominan untuk didengar beberapa pegawai lain yang kini mulai mencuri pandang. Wajah pria yang ternyata adalah manger showroom itu langsung berubah dingin. Ia memanggil sales pria tersebut dengan tajam seolah tak bisa dibantah. “Kamu ikut saya sekarang.” Sales yang tadi arogan itu mendadak kehilangan kepercayaan dirinya. Ia menunduk, lalu mengikuti manajer itu menuju ruang belakang tanpa suara. Langkahnya berat, ekspresi wajahnya panik. Beberapa pegawai lain hanya saling bertukar pandang, tampak tidak terkejut—seolah perilaku seperti itu memang bukan yang pertama kalinya. Beberapa menit berlalu. Alma berdi
Felix membuka pintu mobil untuk Alma, lalu segera masuk ke kursi kemudi. Mobil sedan hitam miliknya meluncur mulus keluar dari area parkir rumah sakit, menyusuri jalanan kota yang mulai lengang siang itu. Matahari masih cukup terik, tapi suasana dalam mobil terasa sejuk, menenangkan bagi mereka berdua. “Jadi,” ujar Felix setelah beberapa menit hening, “tentang ucapan Arhan … dia benar-benar nyuruh kamu jaga jarak sama aku?” Alma melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali menatap jalanan yang terbentang di depan. Ia tampak tenang, tapi ada sedikit tarikan halus di sudut bibirnya yang menandakan kejengkelan tertahan. “Iya,” jawab Alma pelan. “Waktu itu kami makan malam bareng. Di tengah makan, dia tiba-tiba ngomong soal kamu. Katanya aku terlalu dekat.” Felix mendengus kecil sambil menggeleng. “Lucu juga. Dia yang duluan dekat dengan wanita lain, tapi sekarang malah cemburu.” Alma tersenyum tipis, “Dia bilang mau memperbaiki hubungan kami. Tapi kenyataannya, semua yang dia lakukan bel